Mogok adalah Senjata Buruh
Ilustrasi foto (Sumber: Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Buruh berencana mogok pada 6-8 Desember mendatang. Gerakan berskala nasional ini dilakukan sebagai wujud protes atas keputusan pemerintah yang hanya menaikkan upah minimum 2022 sebesar 1,09 persen. Kita kerap mendengar aksi mogok buruh. Tapi tahukah dampak besar yang mungkin timbul dari mogok buruh? Bukan alasan toh buruh menjadikan mogok semacam senjata utama menghadapi banyak persoalan ketenagakerjaan.

"Prinsipnya mogok nasional ini adalah setop produksi 6, 7, 8 Desember 2021," tutur Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal dalam konferensi pers daring, Jumat, 19 November.

Rencana mogok nasional ini akan dilakukan di 30 provinsi dan 150 kabupaten/kota dan diikuti 60 federasi serikat buruh dan lima konfederasi serikat buruh. Estimasi, akan ada jutaan buruh yang terlibat dalam aksi mogok nasional yang rencananya dimulai pukul 08.00 hingga 18.00 di masing-masing zona waktu.

Menurut rencana aksi mogok ini juga akan disertai unjuk rasa di lingkungan pabrik tempat buruh bekerja. Said Iqbal menjelaskan dasar hukum yang digunakan buruh adalah "UU Nomor 9 Tahun 1998 (tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum)."

"Kami tidak menggunakan mogok kerja, kami mogok nasional. Bukan mogok kerja. Karena menggunakan UU 9/1998, lokasi mogok nasional atau unjuk rasa nasional ini adalah yang di pabrik setop produksi dan keluar dari pabrik," tambahnya.

Aksi protes ini akan membawa dua tuntutan. Pertama agar pemerintah menaikkan upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK) setidaknya 7 hingga 10 persen.

Demo buruh (Sumber: Antara)

Tuntutan kedua adalah agar Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan. Aksi ini, kata Said Iqbal juga akan didukung kelompok tani dan nelayan.

"Setop produksi. Keluar dari ruang produksi menuju lingkungan pabrik," Said Iqbal.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) merespons ancaman mogok para buruh ini. Direktur Apindo Research Institute, P. Agung Pambudhi menilai mogok nasional yang direncanakan para buruh tidak sesuai dengan ketentuan pasal 140 UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Agung menjelaskan, dalam aturan itu, aksi mogok hanya diperbolehkan ketika terjadi kegagalan dalam perundingan antara pemberi kerja dan pekerja. Agung menilai tak ada perundingan yang gagal antara dua pihak ini.

Kedua, Agung mengungkap isi pasal 6 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang menjelaskan mogok kerja harus dilakukan dengan mengirim surat pemberitahuan kepada pihak kepolisian dan dinas Ketenagakerjaan dalam kurun waktu tujuh hari sebelum pelaksanaan. Jika tidak dilakukan, aksi mogok itu bisa dianggap mangkir.

Ketika dikategorikan mangkir, pengusaha berhak melakukan pemanggilan kepada pekerja untuk bekerja kembali. Namun jika dalam waktu tujuh hari dilakukan dua kali pemanggilan dan panggilan itu tidak dipenuhi, maka pekerja dianggap mengundurkan diri.

"Kalau pekerja tersebut tidak memenuhi panggilan maka bisa dianggap mengundurkan diri, ini normanya," kata Agung.

Mogok sebagai senjata buruh

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda menjelaskan dampak dari mogoknya buruh sangat besar. Ini bisa dilihat dari skala terkecil di sisi perusahaan hingga skala nasional.

Mogoknya buruh akan mengurangi produktivitas perusahaan. Produksi akan terhambat. Hal itu akan memengaruhi konteks nasional.

"Ini akan mengganggu kinerja output, value chain juga terganggu. Sektor manufaktur itu keterkaitannya tinggi. Jadi jika industri manufaktur mogok, sektor lain akan terganggu juga," tutur Huda, kepada VOI, Selasa, 30 November.

Ilustrasi foto (Sumber: Antara)

Hal-hal semacam ini yang menunjukkan betapa pentingnya peran buruh bagi perekonomian nasional. Dan wajar jika mogok jadi senjata utama buruh menghadapi persoanal-persoanal ketenagakerjaan.

Meski begitu Huda menyebut ancaman buruh seharusnya direspons dengan kooperatif oleh perusahaan. Selain ada hak buruh untuk menyampaikan aspirasinya, kepentingan buruh sejatinya juga kepentingan perusahaan.

"Nah harusnya perusahaan juga mendorong memberikan kenaikan yang pas juga. Toh ya uangnya akan kembali ke produsen dalam bentuk pembelian barang oleh sektor rumah tangga (buruh)," kata Huda.

"Secara teori ekonomi sebenarnya selama industri kita berbentuk oligopsoni (hanya segelintir pembeli jasa tenaga kerja), maka ketika ada kenaikan upah minimum, masih ada kenaikan permintaan tenaga kerja."

"Perusahaan juga butuh tenaga kerja untuk produksi. Jadi kalau saya sih lihatnya itu cuma akal-akalan pengusaha saja untuk menekan cost labor. Yang pasti fungsi produksi kan kapital dan labor. Jika mau tambah produksi harus tambah juga inputnya (kapital dan labor)."

Ilustrasi foto (Sumber: Antara)

Dalam hitungan Huda, upah buruh masih sangat mungkin dinaikkan, setidaknya minimal 8 persen. Ini tak bisa dilepaskan dari konteks UU Cipta Kerja yang bermasalah. Dalam aturan lama, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 78, diatur formulasi menentukan upah minimum adalah dengan mempertimbangkan indikator pertumbuhan ekonomi plus ekspektasi inflasi.

"Pakai teori itu sih mas. Jadi ketika memang kenaikan itu masih di bawah upah equilibrium, dan pasti di bawah equilibrium karena posisi tawar buruh lemah, upah masih bisa naik. Makanya ketika upah cuman naik 1.09 persen saya rasa kok kecil banget."

"Katanya tahun depan 5 persen plus inflasi 3 sampai 3.5 persen. Harusnya bisa naik minimal 8 persen. Makanya ya wajar kalo buruh mogok. Ya itu sebagai bentuk protes terhadap penetepan kenaikan upah yang minimal banget. Di Banten bahkan cuman 40ribu. Di daerah mana gitu cuma ribuan doang. Padahal harga barang sangat volatile sekali dan pemerintah gagal membendung kenaikan harga barang yang membuat masyarakat menjerit."

*Baca Informasi lain soal KELAS PEKERJA atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya