<i>Healing, Healing, Healing, Billing</i>
Jake Gyllenhaal memerankan Louis Bloom, wartawan televisi yang depresi dalam "Nightcrawler" (Sumber: IMDB)

Bagikan:

JAKARTA - Healing, healing, healing, billing. Tekanan hidup perkotaan makin tinggi. Tetap waras jadi kebutuhan. Kita mengenalnya dengan istilah healing. Sebagaimana hukum dalam alam ekonomi, di mana ada kebutuhan, di situ ada komodifikasi. Menarik.

Diskusi panjang soal healing menemukan titik serunya. Dalam sepekan, Twitter diramaikan oleh eksposur dua medium healing. Pertama, Breakroom. Eksposur Breakroom awalnya terjadi di TikTok. Akun @tassy.sy mengunggah video dua orang berbaju pelindung dan faceshiled

Dalam video itu keduanya berdiri di sebuah ruangan khusus. Mereka menghancurkan sejumlah barang, mulai dari botol kaca hingga tabung televisi. Dikutip dari Hai Online, Manajer Breakroom Sisca Febriana menjelaskan Breakroom sengaja dibuat untuk medium self healing.

Breakroom yang berada di Jalan Muara Karang Barat Nomor 41 RT/1 RW 8, Peluit Penjaringan, Jakarta Utara itu sudah berjalan sejak 2019. Ide mendirikan Breakroom muncul melalui riset perilaku masyarakat Jakarta yang tingkat stresnya cenderung tinggi.

"Seperti yang kita ketahui, penduduk Jakarta lebih khususnya ya, yang jumlahnya lebih dari sepuluh juta orang dengan mayoritas para pekerja, ditambah dengan macetnya jalan di sini mengakibatkan tekanan batin atau beban mental dan tingkat emosi lebih tinggi," kata Sisca.

Selama mengelola Breakroom, Sisca mengamati kondisi itu dengan matanya. Ia melihat begitu banyak cara orang meluapkan emosi. Beberapa berteriak. Lainnya melempar, membanting, dan menghantam barang-barang yang disediakan.

"Nah, di sini kita sediakan untuk pelampiasan lebih privat tentunya tanpa melukai orang lain. Bisa pukul-pukul barang sekuat tenaga sambil mengeluarkan amarah juga. Mau nangis sekenceng-kencengnya boleh banget," tambah Sisca.

Selain Breakroom, bisnis lain yang jadi perbincangan adalah Kokuo Massage & Reflexology. Eksposur Kokuo disambut ramai setelah akun Twitter @xdyrara mengunggah video layanan Kokuo. "Apakah ini puncak self healing ala-ala warga Ibu Kota?" tulis @xdyrara di unggahannya,

Tingkat stres warga Jakarta

Ilustrasi foto (Irfan Meidianto/VOI)

Laporan terbaru The Least and Most Stressful Cities Index 2021 menempatkan Jakarta ke daftar sepuluh kota dengan tingkat stres paling tinggi. Ibu Kota menempati posisi sembilan terbawah, dengan skor 41,8 dari skala 0-100 poin.

Semakin rendah skor suatu kota, berarti tingkat stresnya makin tinggi. Skor itu didapat dengan sejumlah indikator.

Misalnya angka keselamatan dan keamanan yang mencapai 46,7 poin. Untuk stabilitas sosial dan politik, Jakarta berada di poin 44,7.

Indikator selanjutnya adalah kesetaraan gender dan minoritas di Ibu Kota, dengan masing-masing skornya 59,8 poin dan 34 poin. Penilaian juga menyoroti kepadadatan penduduk DKI Jakarta, yang dalam laporan itu tercatat hingga 4.733 jiwa per kilometer persegi.

Lainnya adalah tingkat kemacetan lalu lintas, yang diberi skor 41,5 poin. Skor terendah yang dicatat untuk Jakarta adalah polusi suara: 25,4 poin.

Kemacetan Jakarta (Irfan Meidianto/VOI)

The Least and Most Stressful Cities Index 2021 menempatkan salah satu kota besar di India, Mumbai sebagai kota dengan tingkat stres paling tinggi di dunia. Mumbai hanya memiliki skor akhir satu poin. Sedikit lebih baik daripada Mumbai adalah Lagos.

Kota di Nigeria itu mendapatkan skor 19,9 poin. Di Asia Tenggara, Filipina jadi kota dengan tingkat stres terparah, dengan skor sebesar 29,4 poin.

Dilansir Databoks, laporan The Least and Most Stressful Cities Index 2021 menganalisis seratus kota dunia. Kota-kota itu dikategorisasi ke dalam empat bagian: pemerintahan, kota, keuangan, dan kesehatan masyarakat. Empat kategori itu dibagi lagi ke dalam 16 faktor, mulai dari tata kelola, tekanan sosial, hingga dampak pandemi virus corona Covid-19.

Komodifikasi stres

Jake Gyllenhaal memerankan Louis Bloom, wartawan televisi yang depresi dalam "Nightcrawler" (Sumber: IMDB)

Komodifikasi stres bukan konsep baru. DNA industri pariwisata, salah satunya hadir untuk itu. Psikolog klinis yang juga penulis Psychodynamic Perspectives on Aging and Illnes, Dr. Tamara McClintock Greenberg menjelaskan kenapa berwisata baik untuk kesehatan mental.

Menurutnya tekanan dan tuntutan pekerjaan sehari-hari dapat mengalihkan penilaian kita terhadap hal yang benar-benar bermakna dan menarik. Maka mengistirahatkan diri dari keramaian dan hiruk pikuk keseharian jadi sangat penting untuk mengembalikan pikiran yang rileks.

Berwisata akan membuat kita bahagia dan membantu kita mengalihkan pikiran dari situasi yang memancing stres. Dalam tahap yang lebih mindfulness, berwisata juga "membantu kita merefleksikan tujuan dan minat pribadi kita.”

Analis bisnis dan pemasaran, Yuswohady, dalam outlook pariwisata 2020 lalu mengklasifikasi sektor pariwisata yang akan tumbuh di masa pandemi. Ia menyebutnya NEWA, akronim dari nature, eco, wellness, dan adventure.

Suasana di Bukit Simbar Semeru yang berada di atas awan dengan pemandangan Gunung Semeru nan eksotis (Sumber: Diskominfo Lumajang)

Ini sejalan dengan yang dilakukan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Kemenparekraf selama beberapa tahun belakangan membangun pilot-pilot kota dengan konsep wellness city. Beberapa kota dan daerah yang telah diolah adalah Yogyakarta, Bali, dan Toba.

"Saya juga sekarang membantu di Banyuwangi untuk mengembangkan potensi wisata wellness itu," kata Yuswohady, dihubungi VOI, Jumat, 26 November.

Meski begitu Yuswody melihat proyek ini tak cukup menjawab kebutuhan masyarakat untuk healing. Yang penting untuk ditumbuhkan sekarang adalah oasis-oasis untuk masyarakat melepaskan diri dari kepenatan rutinitas, yang artinya lokasi-lokasi itu harus terjangkau.

"Sebenarnya kalau wisata kan bisa sebulan sekali, setahun sekali. Tapi yang mengkhawatirkan tempat untuk oasisnya itu, yang dekat, yang di dalam kota."

Tempat-tempat seperti Breakroom dan Kokuo mengisi kekosongan itu. Seperti mal, kedai kopi, dan taman-taman kota. Breakroom hadir sebagai tujuan wisata yang bersifat wellness atau mindfulness.

Meski begitu Yuswohady melihat Breakroom dan Kokuo tak akan menjadi industri yang masif karena sifatnya yang tak mainstream bahkan esktrem. Ini berbeda dengan mal, kedai kopi, dan taman-taman kota, yang sifatnya lebih normal.

"Itu saya kira enggak akan bisa mass. Artinya itu mungkin ada tapi karena barangkali ini something yang baru. Ini tren sesaat saya kira. Tapi yang agak mainstream, yang enggak ekstrem. Itu saya kira enggak akan bisa mass, ya."

"Tapi di kota saya kira yang lebih mainstream, itu akan lebih banyak tumbuh taman kota. Di SCBD atau kawasan perkantoran, itu akan muncul oasis-oasis itu, yang akan memberikan pengalaman physical untuk mengimbangi pengalaman-pengalaman digital itu."

Iya. Menurut Yuswohady, dari segi bisnis, industri kini makin melirik kebutuhan-kebutuhan healing. Perubahan pola kehidupan masyarakat yang makin erat gadget dan tambah jauh dengan pengalaman fisik memberi ruang baru untuk pengembangan sektor bisnis mindfulness.

"Ini pengalaman digital akan jadi mainstream. Trigernya memang pandemi. Tapi setelah pandemi, orang akan semakin nyaman bekerja dalam pola ini. Itu akan jadi kenormalan baru. Jadi nanti kerjanya hybrid. Trennya akan ke situ."

"Otomatis, ketika dia waktunya akan banyak berhubungan dengan screen dan mengembara di alam digital, itulah yang saya kira menciptakan ketidakseimbangan antara pengalaman fisik dan digital. Nah itu yang mengganggu mindfulness kita kan. Jadi industrinya akan membesar."

*Baca Informasi lain soal BISNIS atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya