Korut Hukum Mati Penyelundup Film Korsel tapi Juga Pernah Culik Sutradara Korsel untuk Majukan Perfilman Korut
Ilustrasi (Ilham/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Korea Utara (Korut) menjatuhkan sanksi pada seorang pria yang menyelundupkan dan menjual salinan series Squid Game. Sikap anti-Korsel pada produk audiovisual buatan Korsel dan Barat bukan tabir. Ini mengingatkan kita pada sederet catatan hubungan antara film, Korut, Korsel, serta Barat. Dan jika melihat sejarah, Korut sejatinya juga punya hasrat membesarkan film dalam negeri sendiri, sebagaimana banyak negara lain di dunia.

Sebelumnya, tujuh siswa sekolah menengah ditangkap pihak berwenang karena kedapatan menonton Squid Game. Series yang dipublikasikan Netflix telah memecahkan rekor internal perusahaan sebagai tayangan paling populer.

Dilansir Korea Boo, pria itu membawa salinan Squid Game ke Korut ketika kembali dari perjalanannya ke China. Ia kemudian menjual flashdrive berisi series tersebut. Sang penyelundup konon harus menghadapi regu tembak, yang digambarkan Korea Boo bernasib mirip seperti para kontestan Squid Game yang mati di ujung pucuk senapan tentara merah muda.

Flashdrive itu jatuh ke tangan salah satu dari tujuh siswa tangkapan aparat. Para siswa itu diganjar hukuman. Pun sejumlah orang dari pihak sekolah yang dianggap lalai. Radio Free Asia (RFA), outlet media berita AS yang berfokus pada berita Korea Utara melaporkan hukuman yang dijatuhkan pada setiap mereka berbeda-beda, mulai dari kerja paksa hingga pengasingan.

“Seorang siswa yang membeli sebuah drive menerima hukuman seumur hidup. Sementara enam orang lain penonton tayangan itu dijatuhi hukuman kerja paksa selama lima tahun. Para guru serta administrator sekolah telah dipecat dan menghadapi pengasingan untuk bekerja di tambang terpencil atau mengucilkan diri,” RFA melaporkan.

Korut antifilm Korsel dan Barat

Masyarakat Korut jelas ketinggalan. Squid Game adalah fenomena. Series karya sutradara, Hwang Dong-Hyuk ini banyak dipuji dan dinikmati. Squid Game mengangkat isu tentang kelas sosial dan refleksi dari kelamnya kapitalisme.

Korut, pada dasarnya memang anti terhadap film buatan Korsel dan Barat. Sebelum kasus Squid Game, sebagaimana diwartakan Daily NK, pada September delapan remaja yang diketuk hukuman penjara seumur hidup karena menonton series dan film Korse Selatan, The Spy Gone North dan Crash Landing On You.

The Spy Gone North berkisah tentang seorang mata-mata Korsel yang menyusup ke Korut pada 1990-an. Sementara, Crash Landing On You menceritakan kehidupan wanita Korsel yang terjebak di Korut karena kecelakaan paralayang.

Sebelumnya, pada Juni lalu Korut juga menghukum empat remaja dengan ganjaran kerja paksa selama sepuluh hingga 12 tahun karena kedapatan menonton series Korsel, The Penthouse. Kasus itu muncul tak lama setelah pemerintahan Kim Jong-un memperkenalkan undang-undang (UU) baru yang bertujuan membasmi segala jenis pengaruh asing.

Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un bersama sejumlah jenderal senior. (Sumber: Rodong Sinmun via nknews.org)

UU itu menghukum siapapun yang kedapatan menonton film, berpakaian, atau berkomunikasi cakap dengan bahasa gaul asing. Seorang warga Korut berusia sebelas tahun bernama Yoon Mi-so hampir dianggap pengkhianat karena menonton drama Korsel. Kepada BBC, ia menceritakan pengalaman traumatis menyaksikan kematian seorang pria untuk kasus yang sama.

"Saya memiliki ingatan yang kuat tentang pria yang ditutup matanya, saya masih bisa melihat air matanya mengalir. Itu traumatis bagi saya. Penutup matanya benar-benar basah oleh air matanya. Mereka menaruhnya di tiang dan mengikatnya, lalu menembaknya," tuturnya kepada BBC.

UU tersebut diketahui sebagai 'modifikasi' dari produk hukum senada yang telah berlaku sejak Desember 2020: UU Pemberantasan Pemikiran dan Budaya Reaksioner. UU tersebut juga memaksa partisipasi masyarakat agar melapor jika menemukan orang yang mengonsumsi produk propaganda Korsel dan Barat.

Penyelundupan epik The Interview dan dendam panjang Korut

Di sisi Korsel, paparan propaganda pun masif dilakukan dalam aksi nyata. Pada 2015, aktivis Korsel bernama Lee Min-bok mengirim ribuan keping DVD film The Interview ke wilayah Korut lewat balon udara.

Pengiriman copy-an film AS yang memparodikan Kim Jong-un dan kehidupan Korut itu dikirim dalam empat babak sepanjang Januari hingga April. Paket balon udara itu tak cuma berisi keping DVD tapi juga beberapa lembar dolar AS dan selebaran berisi pesan kritik untuk Kim Jong-un.

“Saya meluncurkan ribuan keping dan sekitar sejuta selebaran dekat bagian barat perbatasan,” kata Lee kepada CNN.

Lee adalah pembelot Korut. Ia menceritakan responsnya saat menonton The Interview. Meski parodi dan dibintangi Seth Rogen serta James Franco, The Interview tak membuatnya tertawa. Bagi Lee, The Interview bahkan teramat vulgar.

Namun ia berpikir, dengan meluncurkan film itu ke Korut, ia berharap dapat membuka mata warga Korut bahwa Kim Jong-un bukan Tuhan melainkan manusia biasa. Dendam Korut terhadap penyebaran film The Interview itu tak selesai untuk waktu panjang.

Salah satu adegan dalam film The Interview (Sumber: IMDB)

Pada Februari 2021, Departemen Kehakiman Amerika Serikat (AS) mendakwa tiga peretas Korut. Mereka disebut berkonspirasi dengan pemerintah Korut untuk mencuri cryptocurrency senilai 1,3 miliar dolar AS lebih. Salah satu tujuan mereka adalah membalas The Interview.

Ketiganya disebut bagian dari kelompok intelijen militer Korea Utara yang dikenal sebagai Reconnaissance General Bureau. Dikutip The New York Times, tiga peretas itu dilaporkan kabur dengan barang bukti serius yang mengindikasikan mereka sebagai bagian dari operasi yang lebih besar untuk menyalurkan uang diam-diam ke pemerintah Korut.

Korut memang tengah berjuang secara finansial akibat sanksi. “Cryptocurrency benar-benar mengubah cara sanksi dilakukan dan efektivitasnya,” kata Stephanie T. Kleine-Ahlbrandt, seorang peneliti di sebuah wadah pemikir bernama Henry L. Stimson Center.

Menurut pemerintah AS, ketiganya berhasil mencuri setidaknya 112 juta dolar AS, di mana 11,8 juta di antaranya mereka dapat dari sebuah perusahaan keuangan berbasis di New York yang tak disebut namanya. Para peretas juga menargetkan industri hiburan sebagai pembalasan atas film The Interview yang diproduksi Columbia Pictures.

Korut memang marah besar ketika The Interview akan diluncurkan. Pada 2014, seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri Korut menyampaikan pernyataan bahwa distribusi film tentang upaya pembunuhan Kim Jong-un adalah tindakan perang.

Korut ketika itu tidak merinci judul filmnya. Namun beberapa bulan setelah itu, tepatnya Oktober, The Interview dirilis. The Interview memiliki alur cerita yang persis sama dengan yang dimaksud pihak Korea Utara. Korea Utara bahkan saat itu menjanjikan "pembalasan tanpa ampun."

Juru bicara itu, yang dikutip KCNA, mengatakan, "Membuat dan merilis sebuah film dengan alur cerita yang dimaksudkan untuk melecehkan kepemimpinan tertinggi kami, merupakan tindakan terorisme dan perang yang terang-terangan dan jelas tak akan dibiarkan."

Duo komedian penggemar ganja, Seth dan James berperan sebagai pembawa acara dan produser dari sebuah talkshow. Keduanya diundang ke Korut untuk mewawancarai Kim Jong-un. Namun keduanya diminta Central Intelligence Agency (CIA) untuk membunuh Kim Jong-un.

Korut culik sutradara Korsel demi hasrat film nasional

Korut sejatinya juga memiliki hasrat pada film modern. Saking besarnya hasrat, Korut pernah terutlibat dalam penculikan sutradara Korea Selatan bernama Shin Sang-ok. Shin diculik untuk membantu Korut mengembangkan produksi film mereka.

Sebagaimana pernah dibahas dalam artikel TULISAN SERI berjudul Industri Film Korea Utara yang Dibangun dari Propaganda dan Penculikan Sutradara Korsel, sepanjang tahun 2000-an, Korut sempat rutin menggelar sebuah festival film bertajuk Udine Far Easet Film Festival.

Festival itu diisi dengan pemutaran film-film Korut. Beberapa judul yang diputar, di antaranya film rilisan 1987, A Broad Bellflower dan Myself in the Distant Future (1997). Kedua film itu sebagai propaganda agar warga Korut mengubah pola makan mereka.

Drama lain yang cukup terkenal dari Korut berjudul Hong Kil Dong, dibuat tahun 1986. Drama ini mirip kisah Robin Hood. Namun versi Korut. Tokoh utamanya bernama Hong, seorang bangsawan yang memulai penyerangan terhadap pemilik tanah rakus dan seorang penimbun beras.

Namun ketika ada sekelompok ninja dari Jepang yang menginvasi negara mereka, Hong berubah jadi nasionalis dan bekerja sama dengan musuh-musuhnya untuk memerangi invasi Jepang. Masih banyak judul film Korut lain yang turut mengundang perhatian banyak orang.

Misalnya, Ten Zan: The Ultimate Mission. Film ini hadir dalam genre aksi nan futuristik. Atau The Flower Girl, film yang ditulis langsung oleh Pemimpin Korut saat itu, Kim Jong-il. Adapun karya paling penting dalam sejarah film Korut adalah Pulgasari. Film ini bahkan disebut-sebut sebagai cetak biru film modern Korut. Pulgasari kerap disebut 'Godzilla-nya' Korea Utara.

Sementara, film Korea Utara pertama lahir pada 1494, hanya berjarak satu tahun setelah Republik Rakyat Demokratik Korea berdiri. Judul film tersebut adalah My Home Village yang disutradarai Kang Hong-sik. Film itu menceritakan keputusasaan tanah Korea yang miskin dan penuh eksploitasi besar-besaran oleh tuan tanah sampai akhir penjajahan Jepang (1910-1945).

Perhatian Kim Jong-il terhadap film dapat dilihat sejak pemerintahannya. Sepanjang masa pemerintahannya, Kim Jong-il memastikan industri film Korut tak kekurangan dana selama 1970-1980-an. Namun belakangan ia tidak puas dengan kualitas film yang dibuat bangsanya.

Saking berambisinya, Kim Jong-il memerintahkan penculikan seorang sutradara kaliber internasional asal Korsel, Shin Sang-ok pada 1978. Mantan istri Shin, akrtis Choi Eun-hee juga diculik. Selama penyekapan, mereka diperintahkan untuk membuat film pesanan rezim.

Shin Sang-ok (Sumber: Wikimedia Commons)

Penulis buku North Korean Cinema: A History (2012), Johannes Schonherr menjelaskan Shin adalah seorang sutradara sekaligus produser yang telah membuat 74 film selama 52 tahun masa keaktifannya. Shin, kata Schonherr merupakan sutradara bertaraf internasional yang telah berkolaborasi dengan sineas dari banyak negara, seperti AS, Hong Kong, Jepang, termasuk di negeri kelahirannya sendiri, Korea Selatan.

Keahlian Shin sangat memungkinkan untuk membuat film dengan nilai hiburan dan produksi yang baik di Korea Utara. "Shin dapat menggunakan formula kuno propaganda Korea Utara dan mengubahnya menjadi film yang hebat," kata Schonherr, dikutip BBC.

Berhasil, memang. Shin sukses mengubah kualitas perfilman Korea Utara. Film-film Korea Utara menjadi lebih baik di bawah naungannya. Salah satu film popular garapan Shin adalah Runaway, sebuah film aksi yang berakhir dengan ledakan kereta api. Selain Runaway, Pulgasari, sebuah film monster Korea Utara --sudah dijelaskan sebelumnya-- juga merupakan karya Shin.

Kendati diculik pada 1978, Shin baru memulai produksi filmnya dari 1983 sampai 1986. Dalam rentang waktu singkat tersebut, ia mengarahkan tujuh film dan mengawasi 13 produksi film lainnya.

*Baca Informasi lain soal KORUT atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian dan Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya