JAKARTA - Media sosial Twitter dihebohkan cerita netizen yang berjualan di e-commerce kemudian tiba-tiba ditagih pajak jutaan rupiah. Bahkan ia mengaku temannya ada juga yang ditagih pajak hingga Rp35 juta.
Kejadian itu dialami Karina Putri Dewi. Lewat akun Facebooknya Karina menceritakan dirinya harus membayar pajak sekian juta. Ia lantas mengimbau kepada para pedagang di e-commerce supaya lebih cermat dalam menghitung harga jual. Jangan sampai komponen pajak tak termasuk ke dalam harga jual.
"Sekadar info teman-teman bagi yang jualan di sh*p*e saya infokan mulai sekarang perhitungkan mengenai penerapan harga jual ya... Saya harus bayar pajak ke pratama sekian juta. Teman saya juga kena sekitar Rp35 juta," tulis Karina.
Unggahan Karina juga disertai "surat cinta" --sebutan surat penagihan pajak dari pemerintah. "Semoga bisa menjadi perhatian untuk lebih cerdas memperkirakan harga yang akan kita jual," ujarnya. Lantas bagaimana sebetulnya aturan pajak yang dikenakan kepada pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM)?
Pajak UMKM
Salah satu beleid yang mengatur pajak UMKM yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. PP ini merupakan pengganti PP Nomor 46 Tahun 2013. PP Nomor 23 Tahun 2018 menetapkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final menjadi 0,5 persen bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Pada dasarnya PP 23 Tahun 2018 mengatur pengenaan PPh Final Pasal 4 Ayat (2) bagi wajib pajak yang beromzet sampai dengan Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak. Sementara mereka yang dikenai tarif PPh Final 0,5 persen ada batas waktunya. Bagi wajib pajak orang pribadi batas waktunya 7 tahun, bagi wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer (CV), atau firma selama 4 tahun, lalu wajib pajak badan berbentuk perseroan terbatas selama 3 tahun. Setelah itu wajib pajak akan dikenai PPh Badan tarif normal yakni 22 persen atau 20 persen untuk tahun pajak 2022.
Sementara itu, peraturan perpajakan untuk pedagang di e-commerce sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce). Ketentuan baru yang ada di peraturan ini adalah pedagang atau penyedia jasa wajib memberitahukan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kepada platform marketplace.
Selanjutnya dalam peraturan ini diatur juga platform marketplace wajib melaporkan rekapitulasi transaksi perdagangan yang dilakukan oleh pedagang atau penyedia jasa melalui platform marketplace ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Namun pada akhir Maret 2019, seperti dikutip pajak.com, pemerintah mencabut dan menyatakan PMK 210/PMK.010/2018 tak berlaku. Alasannya seperti diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, aturan itu kerap disalahartikan bahwa pemerintah membebankan pajak baru bagi pelaku e-commerce.
Kesimpulannya, pajak yang dikenakan bagi pelaku UMKM baik yang berjualan online di e-commerce maupun offline adalah PPh Final sebesar 0,5 persen. Lalu bagaimana cara menghitungnya?
Katakanlah seorang pelaku UMKM memiliki omzet Rp15 juta sebulan. Jumlah itu kemudian tinggal dikalikan saja 0,5 persen yakni Rp75 ribu. Karena membayar pajak diakumulasikan dalam satu tahun maka setiap besaran PPh Finalnya berarti Rp900 ribu.
Lantas kalau berkaca dari kasus di atas, kemungkinan mengapa tagihan pajaknya sampai berjuta-juta bisa jadi ia menunggak bayar pajak selama beberapa tahun. Belum lagi apabila pelaku UMKM tak melaporkan laporan keuangannya, hal tersebut bisa dikenakan sanksi administrasi.
Seperti dikutip pajak.go.id, dalam PPh Final UMKM, tanggal pembayaran dianggap juga sebagai tanggal pelaporan surat pemberitahuan tahunan (SPT) Masa PPh Final. Lalu apabila pelaku UMKM terlambat membayar maka akan mendapat sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 persen per bulan (maksimal 24 bulan) dari nilai yang terlambat dibayar. Di samping itu wajib pajak juga akan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp100 ribu atas keterlambatan pelaporan SPT Masa PPh Final.
Itulah letak masalahnya. Oleh karena itu, tak heran bila pelaku UMKM wajib pajak yang tak melapor dan menyetorkan pajaknya maka bisa dikenai tagihan cukup besar jumlahnya.
Melihat kejadian yang dialami Karina, respon warganet beragam. Beberapa berharap agar pelayanan administrasi lainnya di Indonesia sama cepatnya ketika pemerintah menagih pajak.
Andai administrasi mudah
Memang, masih banyak orang yang merasa mengurus administrasi di Indonesia itu lama sekaligus ribet. Hal itu bahkan ditemukan sendiri oleh Kementerian Dalam Negeri belum lama ini.
Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh pernah mengirim tim yang menyamar ke sembilan kelurahan di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Hasilnya masih banyak Disdukcapil yang menambah-nambah segudang syarat mengurus dokumen kependudukan.
Menurut Zudan sebagaimana dikutip CNNIndonesia, terdapat tiga tim yang terjun langsung ke sembilan kelurahan di Jakarta, yakni kelurahan Gandaria Utara, Cipete Utara, Melawai di Jakarta Selatan. Kemudian di Kelurahan Bambu Apus, Setu, Cilangkap, Ciracas, Cibubur, dan Kelapa Dua Wetan di Jakarta Timur.
Tim tersebut lalu menanyakan soal syarat-syarat mengurus dokumen kependudukan mulai dari akta kelahiran, akta kematian, hingga lapor kepindahan ke Jakarta. Hasilnya, tim menemukan tambahan persyaratan hingga 23 jenis hanya untuk mengurus akta kematian.
"Itu terjadi di Kelurahan Cibubur dan Kelurahan Setu, Jakarta Timur dengan 18 jenis syarat tambahan untuk dokumen akta kematian," tutur Zudan. Kata Zudan, selain masih banyak syarat tambahan, tim juga melaporkan temuan ihwal penambahan persyaratan yang tidak sesuai regulasi. Ia mengatakan persyaratan itu berbeda-beda antar kelurahan.
"Sedangkan layanan yang sudah sesuai ketentuan, yaitu pengurusan KK dan KIA. Begitu pun penggunaan formulir permohonan sudah sesuai dengan regulasi, yang di penyamaran sebelumnya ditemukan formulir yang belum sesuai regulasi baru," ujarnya.
Temuan itu kemudian dikonfirmasi Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Dukcapil DKI Jakarta Budi Awaluddin. Ia mengatakan pihaknya telah mengevaluasi hasil sidak tersebut.
Kata Budi, masih dikutip CNNIndonesia, pihaknya akan memberikan sosialisasi dan pembinaan kepada seluruh pejabat hang melakukan pelayanan masyarakat, mulai dari tingkat provinsi hingga kelurahan. Sosialisasi ini terkait pedoman administrasi pelayanan kependudukan sesuai Perpres 96 tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil dan Permendagri RI 108 tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018.
*Baca Informasi lain tentang VIRAL baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.
BERNAS Lainnya
BACA JUGA: