Bagikan:

JAKARTA - Kasus pencabulan belasan anak oleh seorang pensiunan BUMN yang menjadi guru ngaji seperti menampar muka banyak orang. Sebab kasus serupa baru saja terjadi enam hari sebelumnya. Klaster kekerasan seksual oleh oknum pemuka agama terus bermunculan. Mengapa bisa terjadi?

Kasus seorang guru mengaji pensiunan perusahaan BUMN yang diduga menyodomi 14 muridnya yang masih di bawah umur, ramai di ruang publik. "Anak yang disodomi ada yang 9 tahun hingga 11 tahun, dari pengakuan korban juga ada belasan anak yang ia sodomi," kata Kasatreskrim Polresta Padang Kompol Rico Fernanda 21 November kemarin, dikutip CNNIndonesia.   

Terendusnya kasus ini bermula dari salah seorang orang tua korban yang mengetahui perbuatan pelaku. Sebelum kabar ini sampai ke polisi, orang tua itu melaporkannya ke Ketua RT setempat. Penyelidikan sementara menduga jumlah korban mencapai 14 orang. Namun sejauh ini baru tiga korban yang melapor polisi.

Menurut polisi, modus pelaku adalah mengimingi korban dengan meminjamkan smartphone, membeli makanan, hingga mengajak korban jalan-jalan. Terduga pelaku, kata polisi, merupakan pensiunan perusahaan BUMN sejak Oktober 2021. Ia kemudian dikenal sebagai guru mengaji anak-anak.

Kasus ini terjadi sekitar enam hari setelah Polres Tulungagung, Jawa Timur, mengumumkan oknum guru mengaji berinisial NK dituduh mencabuli beberapa murid perempuannya. Kelakuan bejat ini ia lakukan tatkala mengajarkan salat para muridnya.

"Kayak sujud atau ruku memang dia memegang bagian pantat untuk mengarahkan gerakan salat," kata Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Tulungagung Iptu Retno Pujiarsih 15 November. Menurutnya, terlapor mengaku menyentuh pantat dan paha korban.

Kekerasan atau pelecehan seksual yang dilakukan oknum pemuka agama jumlahnya sulit dibilang sedikit. Buktinya berita-berita pencabulan yang dilakukan oknum pemuka agama kerap bermunculan.

Ilustrasi (Sumber: Pixabay)

Klaster lain

Klaster oknum pemuka agama lain yang melakukan tindakan pelecehan seksual kepada anak dilakukan seorang kepala sekolah yang juga seorang pendeta Protestan di Medan. Dilansir Pikiran Rakyat pada April lalu, ada enam siswa perempuannya yang menuduh dirinya melakukan pelecehan seksual.

Ibu dari salah satu korban mengatakan putrinya yang berusia 13 tahun telah dibawa ke hotel sebanyak empat kali sejak usia sebelas tahun. Di situlah diduga oknum pemuka agama tersebut melancarkan aksi bejatnya.

"Putri saya mengatakan kepala sekolahnya memberi tahu staf lain bahwa ia akan melatih karate di luar halaman sekolah," ujar korban yang identitasnya dirahasiakan. "Ketika sampai di hotel, dia melepaskan pakauannya dan menutup matanya serta memaksanya melakukan seks oral."

Kasus serupa juga menimpa biarawan Katolik Bruder Angelo. Pada September 2019, Angelo dilaporkan ke polisi oleh para terduga korban pelecehan.

Namun, seperti dikutip Kompas, Angelo hanya ditahan selama tiga bulan di penjara. Musababnya polisi tak mampu melengkapi berkas pemeriksaan kasus dan melanjutkan kasus tersebut ke tingkat pengadilan.

Kabarnya Angelo sempat mendirikan panti asuhan dan yayasan bernama Fajar Cahaya Harapan yang tercatat di kementerian pada 14 April 2020. Publik pun mendesak Polres Metro Depok untuk membuka kembali kasus itu. Akhirnya pada 7 September 2020 tim kuasa hukum mendampingi pelapor untuk membuat laporan baru.

Ilustrasi (Sumber: Antara)

Predator seks meningkat

Menurut data Komisi Perlindungan Anak (KPAI) yang diterima VOI, sepanjang Januari-September 2021, setidaknya ada 5.206 aduan kasus terkait Pemenuhan Hak Anak dan Perlindungan Khusus Anak (PKA). Di dalam data PKA itulah KPAI mencatat jumlah kasus anak korban kejahatan seksual mencapai 672 kasus dan korban kekerasan fisik dan atau psikis sebanyak 955 kasus.

Secara khusus KPAI juga memasukkan kasus-kasus kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh oknum pemuka agama ke dalam data PKA. "Secara khusus kasus-kasus kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh oknum pemuka agama masuk dalam data perlindungan khusus anak," kata Komisioner KPAI, Jasra Putra kepada VOI.

Jasra bilang memang selama situasi pandemi ini kasus kekerasan anak terus meningkat. "Bahkan korbannya dengan jumlah yang cukup banyak, misalnya kita mendapatkan kasus di Kota Padang, kasus di Medan, dan termasuk kasus Bruther Angelo yang mencabuli anak asuh panti di Kota Depok."

Menurut Jasra ini menjadi tantangan bagi lembaga-lembaga pengasuh anak seperti pesantren, panti asuhan, dan lembaga-lembaga pengasuh anak lainnya agar lebih ramah anak serta berkomitmen kuat terhadap perlindungan anak. Sebab kalau tidak begitu, potensi kekerasan atau kejahatan seksual akan selalu menjadi momok.

Jasra menilai salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual adalah karena relasi kuasa. Tak ayal, bila kasus-kasus seperti ini bisa sangat lama terungkapnya lantaran sang korban begitu merasa terancam.

"Relasi kekuasaan yang luar biasa ini kadangkala dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan seksual anak dalam mengancam dan mengiming-imingi korban dalam melakukan tindak pidana kejahatan terhadap anak tersebut. Model dan modus kejahatan terhadap anak dalam berbagai lingkungan keagamaan acap kali butuh waktu yang lama diketahui. Karena korban berada dalam kondisi diancam," ujar Jasra.

Faktor penyebab lain terjadinya kasus seperti ini kata Jasra lantaran pola rekrutmen petugas atau guru agama yang tidak ketat di berbagai lembaga pendidikan agam atau lembaga pengasuhan. "Sehingga kita kesulitan mengetahui rekam jejaknya... Padahal ini penting mengingat perlindungan anak menjadi tanggung jawab mereka dalam hal pengasuhan dan termasuk menjadi peran-peran orang tua dalam menjaga keselamatan anak."

Kalau bicara sumber daya manusianya, mungkin bakal sukar dipercaya seorang pemuka agama, yang notabene lebih memahami mana yang hak dan batil, sampai hati melakukan tindakan bejat seperti itu. Tapi faktanya, asumsi itu tidak begitu valid. Mengapa demikian?

Faktor kriminalitas

Untuk menjawab pertanyaan itu,VOI bertanya pada Sosiolog yang banyak meneliti soal kriminalitas dari Universitas Gadjah Mada, Suprapto. Menurut dia, kriminalitas termasuk kejahatan seksual tak pada dasarnya tak mengenal struktur sosial.

"Jadi dari  lapisan paling atas sampai paling bawah itu tindak kriminal selalu ada. Potensi berbuat tanpa bertanggung jawab itu selalu ada," kata Suprapto.

Sigmun Freud, kata Suprapto, mengatakan manusia punya kecenderungan berbuat tak bertanggung jawab. "Namun perbuatan itu tidak selalu muncul ke permukaan."

Menurut Suprapto ada tiga hal yang menjadi rem supaya kecenderungan berbuat jahat itu tak muncul. Pertama adalah budaya, nilai-nilai sosial, dan norma sosial. 

Namun kalau rem atau kontrol sosial itu melemah, maka kejahatan sangat bisa muncul. Faktor pendorongnya karena ada niat dan kesempatan.

"Tetapi sensor atau kontrol sosial ini kadang kala melemah, sehingga munculah rumus N+KS=KJ. N itu niat, KS itu kesempatan, KJ itu kejahatan," jelas Suprapto.

Teori lain yang bisa menjelaskan mengapa seorang figur publik seperti pemuka agama bisa melakukan kejahatan, adalah karena adanya ilegal abuses of public power. Dengan kata lain, orang-orang yang punya kuasa --disebut juga sebagai relasi kuasa--  justru berkemungkinan untuk melakukan tindakan melawan hukum.

"Jadi tindakan kriminal yang dilakukan karena dia merasa memiliki power publik, yang dimungkinkan bahwa orang-orang bisa saja tidak percaya, bahwa orang ini yang menjadi figur publik, kok bisa berbuat seperti itu [melawan hukum]. Dengan harapan orang tidak akan percaya," jelas Suprapto. Lalu bagaimana peran agama?

Peran agama

Suprapto mengatakan nilai agama tetap menjadi benteng seseorang agar tak melakukan tindakan melawan hukum. Tapi pintar dari segi spiritual saja kata Suprapto tak cukup.

"Mungkin, kecerdasan intelektual IQnya bagus, kecerdasan spiritual SQnya bagus, karena sebagai tokoh agama. Tapi kecerdasan emosionaln EQnya, bisa jadi berada pada level 1. Artinya hanya memahami dirinya," kata Suprapto.

Padahal menurut Suprapto, kecerdasan level dua yakni mengendalikan diri sendiri itu hal yang penting. "Sehingga ketika muncul keinginan-keinginan untuk berbuat hal yang tidak bertanggung jawab, pelecehan atau kekerasan, itu dia tidak mampu mengendalikannya."

"Meskipun dia sebetulnya memiliki bekal nilai-nilai agama yang kuat. Tapi terpatahkan oleh kecerdasan emosionalnya itu tadi yang berada pada level rendah," pungkas Suprapto.

*Baca Informasi lain tentang PELECEHAN SEKSUAL baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya