Bagikan:

JAKARTA - Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan upah minimum Indonesia terlalu tinggi sampai-sampai pengusaha susah memenuhinya. Benarkah yang dikatakan Ida? Jika upah kita tergolong tinggi, kenapa masih banyak orang miskin? Kita dalami hubungan sebab-akibat antara besaran upah dan kemiskinan.

Ida menjelaskan metode yang digunakan pemerintah dalam menentukan upah minimum: Kaitz Indeks. Kaitz Indeks adalah metode internasional untuk mengukur tinggi rendahnya upah minimum di sebuah wilayah dengan membandingkan besaran upah minimum berlaku dengan median upah.

Menurut Ida besaran upah minimum di hampir seluruh wilayah Indonesia saat ini telah melebihi median upah. Bahkan menurutnya Indonesia adalah satu-satunya negara dengan Kaitz Indeks lebih dari 1, di mana menurut Ida angka ideal Kaitz Indeks berkisar 0,4 hingga 0,6 persen.

"Kondisi upah minimum yang terlalu tinggi ini menyebabkan sebagian besar pengusaha kita tidak mampu menjangkaunya dan akan berdampak negatif terhadap implementasi di lapangan," paparnya dalam konferensi pers virtual, Selasa, 16 November.

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah (Sumber: Dokumentasi Kemenaker)

Hitung-hitungan oleh pemerintah akhirnya menetapkan kenaikan upah minimum rata-rata di angka 1,09 persen pada tahun 2022. Angka ini jauh dari tuntutan kenaikan upah yang diusulkan KSPI, yang berkisar antara tujuh sampai sepuluh persen.

Presiden KSPI Said Iqbal menyebut ini bukti keberpihakan pemerintah pada kepentingan pengusaha dan pemodal, alih-alih pekerja. Kebijakan-kebijakan proteksi yang dijalankan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), menurut Iqbal jauh dari hajat pekerja.

Iqbal juga menyebut pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) sebagai rezim upah murah mirip Orde Baru. Bahkan lebih kejam. "Ini seperti mengembalikan rezim upah murah, jauh lebih buruk dari zaman Soeharto di era Orde Baru."

"Soeharto aja enggak melakukan ini di Orde Baru. Jahat sekali para menteri (Jokowi). Para menteri Soeharto saja tidak melakukan ini," kata Iqbal dalam konferensi pers secara virtual, Selasa, 16 November.

Kemiskinan, ketimpangan, dan upah

Maret 2019 lalu, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) merilis laporan hasil capaian kerja mereka. Dalam laporan itu terungkap bahwa kemiskinan dapat ditekan sejak 2015, dari 11,2 persen di Maret 2015 jadi 9,41 persen pada Maret 2019.

Tapi di balik itu ada masalah yang tetap gawat. Survei TNP2K menunjukkan satu persen orang kaya di Indonesia menguasai 50 persen aset nasional. Dengan kata lain ada konsentrasi aset nasional pada sebagian kecil kelompok terkaya di Indonesia. Masalah serius soal ketimpangan.

"Itu berarti sisanya 90 persen penduduk memerebutkan 30 persen sisanya. Itu yang perlu dikoreksi," kata Sekretaris Eksekutif TNP2K Bambang Widianto dalam pemaparan di kantor Wakil Presiden, Jakarta.

Indonesia, kata Bambang menempati posisi empat sebagai negara dengan ketimbangan tertinggi di bawah Rusia, India, dan Thailand. Dasar dari ketimpangan itu, menurut Bambang adalah akses terhadap kebutuhan dasar.

Maka yang harus dilakukan ke depan adalah memperbaiki sekolah, sanitasi, kesehatan, listrik, hingga air bersih. Setelahnya pemerintah juga wajib membenahi persoalan lapangan kerja. Aspek itu penting selain memancing investasi dan membangun infrastruktur.

Ilustrasi foto (Irfan Meidianto/VOI)

Di permukaan, terlihat bahwa dunia usaha membutuhkan dukungan demi terciptanya lapangan kerja, yang ujung-ujungnya jadi manfaat buat masyarakat. Tapi apakah menekan upah pekerja jadi solusi yang tepat? Jawabannya, tidak juga.

Ada beberapa penjelasan kenapa narasi yang dibangun Kemenaker di balik penetapan upah minimum 2022 layak dikritik. Pertama, soal keberatan yang dialami pengusaha dan pemodal. Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira memandang narasi ini tak masuk akal.

Kita ingat, pada 2021 lalu tak ada kenaikan upah. Lalu, Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) yang disebut Bhima hadiah untuk pengusaha dan pemodal. "Sekarang berbagai stimulus pekerja dicabut, termasuk bantuan subsidi upah. Bagaimana bisa keberatan?"

Lalu soal kekhawatiran bahwa dunia usaha tak mampu menampung pekerja dengan upah tinggi. Ini pun keliru. Bhima mengangkat teori yang dikemukakan David Card, pemenang Nobel Ekonomi tahun 2021 yang menemukan bahwa kenaikan upah minimum tak menyebabkan kesempatan kerja menurun.

"Bahkan sebaliknya. (Kenaikan upah) justru membuka lapangan kerja baru. Artinya, pengusaha sebenarnya diuntungkan dengan kenaikan upah minimum karena agregat demand-nya naik," kata Bhima.

Narasi lain yang juga keliru adalah bahwa ini merupakan jalan mengatasi ketimpangan standarisasi upah antarwilayah. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda membenarkan adanya ketimpangan standarisasi upah di beberapa wilayah Indonesia. Tapi menekan kenaikan upah ke kisaran yang minim adalah cara keliru.

"Contohnya saja kalo kita membandingkan UMR Jateng dengan Jakarta, yang bedanya hampir dua kali lipat. Jadi kalau jadi pemerintah untuk mengurangi ketimpangan, masa dikurangin yang atas? Kan tidak. Harusnya ditambah yang bawah agar kesejahteraannya bisa relatif mirip. Jadi jangan kebalik mikirnya," katanya kepada VOI, Rabu, 17 November.

Upah sebagai jaring sosial

Ilustrasi foto (Irfan Meidianto/VOI)

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengungkap persoalan yang membuat para pekerja gerah dengan kenaikan upah minimum yang betul-betul minim ini adalah karena pemerintah tidak memberikan jaminan sosial yang mencukupi. Bhima menjelaskan, di Indonesia, rasio jaminan sosial terhadap PDB hanya 2,1 persen.

"Jauh lebih rendah dibanding negara ASEAN lainnya. Bahkan dengan Timor Leste saja kalah ... Di Jerman baru diterapkan upah minimum tahun 2015 karena rasio jaminan sosialnya sudah tinggi mencapai 25 persen sebelum pandemi," tutur Bhima.

Pada dasarnya, upah minimum adalah konsep jaring pengaman sosial, khususnya untuk orang-orang yang baru masuk ke pasar tenaga kerja. Nah, ketika jaring pengamannya terlalu kecil dan kenaikannya berada di bawah inflasi, maka kemampuan orang-orang untuk lepas dari garis kemiskinan lewat ikhtiar kerja jadi sulit.

"Apalagi satu pekerja harus menanggung empat anggota keluarga. Upahnya cuma Rp1.7 juta di Jogja. Sementara garis kemiskinan empat orang adalah Rp1,9 juta. Maka upah minimumnya kan kecil sebenarnya enggak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin," kata Bhima.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda menjelaskan, upah minimum dibentuk berdasarkan biaya hidup harian di sebuah wilayah. Maka, ketika kemudian terjadi standarisasi upah minimum yang ternyata ketinggian, hal itu merupakan dampak dari tingginya biaya kebutuhan hidup.

"Biaya hidup yang sudah naik susah diturunkan. Makanya ya upah minimum tinggi sangat wajar di beberapa daerah yang memiliki standar biaya hidup yang tinggi pula. Jadi ketika upah minimum tinggi namun kebutuhan juga tinggi, ya enggak heran masih banyak orang miskin," tutur Nailul Huda.

Jadi, terbayang kan penyimpangan-penyimpangan logika dalam kebijakan ini? Ida barangkali lupa, beberapa orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bukan untuk memperkaya diri.

*Baca Informasi lain soal SOSIAL atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada dan Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya