JAKARTA – Keputusan Presiden Prabowo Subianto menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) menjadi 6,5 persen pada 2025 dipandang skeptis oleh sejumlah kalangan. Pemerintah berharap kebijakan ini bisa meningkatkan daya beli, namun menurut pengamat ini lebih dianggap kepada pertimbangan politik.
Presiden Prabowo mengumumkan kenaikan UMP pada Jumat (29/11/2024). Mantan Menteri Pertahanan ini mengatakan kenaikan rata-rata upah minimum nasional sebesar 6,5 persen tahun depan berdasarkan hasil keputusan melalui rapat terbatas bersama serikat buruh dan menteri-menterinya.
Dituturkan Prabowo kenaikan ini sedikit lebih tinggi dari usulan Menteri Ketenagakerjaan Yassierli, yang sebelumnya merekomendasikan kenaikan sebesar enam persen.
Meningkatkan daya beli pekerja sambal tetap menjaga daya saing usaha menjadi tujuan Presiden Prabowo menetapkan kenaikan UMP 6,5 persen tahun depan.
Namun demikian, kenaikan ini dipandang percuma oleh sebagian kalangan, mengingat banyak hal yang dibebankan kepada buruh tahun depan, termasuk kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Tidak Menutupi Beban Pekerja
Kenaikan UMP 2025 sebesar 6,5 persen artinya hampir dua kali lipat dibandingkan tahun ini yang hanya sebesar 3,6 persen. Kenaikan UMP ini merupakan titik tengah dari desakan buruh yang meminta kenaikan 8 persen sampai 19 persen, sedangkan pengusaha meminta kenaikan maksimal 3,5 persen.
Bukan tanpa alasan para pengusaha meminta kenaikan maksimal di angka tersebut. Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia Bob Azam menegaskan kenaikan upah yang di atas hitungan mereka bisa menyebabkan efek domino.
Jika kenaikan upah rata-rata minimum nasional mencapai 6,5 persen, para pebisnis khawatir dengan ancaman pengurangan tenaga kerja alias PHK. Ini karena industri padat karya sangat sensitif terhadap upah.
"Upah itu memakan porsi yang lebih besar di industri padat karya, upah naik 50 persen maka pengeluaran bisa lebih tinggi lagi," ujarnya.
UMP Jakarta pada 2024 adalah sebesar Rp.5.067.381 dan akan naik menjadi Rp5.396.760 tahun depan jika dihitung sesuai ketentuan yang dibilang Prabowo.
Namun demikian, kenaikan UMP ini disebut tidak bisa menutupi sejumlah kebijakan baru yang membebani kelas pekerja. Baru-baru ini warga sedang meributkan kenaikan PPN menjadi 12 persen tahun depan.
Belum lagi soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan, wacana perubahan subsidi KRL berbasis NIK, serta pembatasan subsidi BBM. Belum lagi isu soal iuran tabungan perumahan rakyat atau Tapera yang sempat menghebohkan beberapa waktu sebelumnya.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda menyebut kenaikan UMP sebesar 6,5 persen tahun depan masih belum bisa ‘menutupi’ potensi penurunan daya beli akibat naiknya PPN per Januari tahun depan. Kenaikan PPN, kata Huda memiliki dampak yang sangat tinggi terhadap permintaan sehingga meski UMP naik 6,5 persen, namun upah riil sangat minim naiknya.
“Kerugian ke konsumsi rumah tangga dan PDB sangat tinggi,” kata Huda kepada VOI.
Kenaikan upah riil yang minim disebabkan oleh inflasi volatile food yang akan mencapai lima sampai enam persen tahun depan. Padahal untuk kelas menengah ke bawah, konsumsi paling banyak adalah volatile food.
Mengutip laman Bank Indonesia, inflasi volatile food adalah inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun komoditas pangan internasional.
Karena itulah, menurut Huda kenaikan UMP 6,5 persen masih lebih rendah dari yang seharusnya didapatkan buruh. Menurut perhitungannya, kenaikan UMP seharusnya berada di kisaran 8-10 persen karena memperhitungkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi ke depan.
Penuh Pertimbangan Politik
Senada dengan Huda, Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira juga ragu kenaikan UMP bisa menstimulus daya beli masyarakat yang anjlok belakangan ini.
Bhima malah mempertanyakan formulasi yang digunakan Presiden Prabowo dalam menentukan besaran kenaikan upah rata-rata nasional 6,5 persen. Karena PP 51/2023 sudah tidak berlaku menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi UU Cipta Kerja terkait ketenagakerjaan baru-baru ini.
Tapi jika pemerintah merujuk pada PP 78/2015 tentang pengupahan, maka kenaikan upah minimum 2025 seharusnya 6,79 persen.
"Jadi keputusan upah naik 6,5% ini sepertinya lebih kepada pertimbangan politik, bukan pertimbangan berdasarkan formulasi yang rasional. Malah kayak negosiasi. Supaya buruh senang dan pengusaha juga bisa menoleransi," ujar Bhima.
Bhima menjelaskan, fungsi upah minimum sebenarnya tidak sebatas memberikan perlindungan bagi para pekerja, namun menjadi stimulus perekonomian.
Sayangnya konsep ini belum pernah digunakan pemerintah sebagai strategi mendorong konsumsi rumah tangga dan perputaran ekonomi domestik.
BACA JUGA:
Selama ini, menurut Bhima, pemerintah seringkali hanya menggunakan kacamata pengusaha dalam membuat kebijakan pengupahan, dengan menganggap upah murah akan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan dan menarik investasi baru.
Padahal faktanya tidak demikian. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, upah murah nyatanya tidak serta merta mendongkrak kenaikan serapan tenaga kerja.
Bhima pun memberi contoh pada 2014 ketika setiap Rp1 triliun investasi yang masuk menciptkan penyerapan 3.313 orang tenaga kerja. Sedangkan pada 2023, setiap Rp1 triliun realisasi investasi yang masuk, hanya mampu menyerap 1.283 tenaga kerja.
"Ini menunjukkan korelasi yang tidak lurus antara upah rendah dengan investasi yang masuk," ujar Bhima.
Karena itu pemerintah seharusnya mengubah cara pandang “yang ketinggalan” itu. Dengan menaikkan upah minimum lebih tinggi, maka rumah tangga akan mendapatkan pendapatan lebih tinggi, dan pada akhirnya akan dibelanjakan lebih banyak ke pelaku usaha domestik.