JAKARTA – Penggunaan antibiotik yang tidak tepat sasaran berpotensi menimbulkan sejumlah bahaya, bahkan sampai mengancam produktivitas masyarakat. Dalam dunia medis, Antimicrobial Resistance (AMR) atau resistensi antibiotik juga disebut sebagai pandemi senyap.
Antibiotik seringkali dianggap sebagai “obat ajaib” atau obat paling manjur dari segala obat. Itu terlihat dari tingginya minat terhadap antibiotik di kalangan masyarakat, karena apa pun penyakitnya dianggap tidak akan sembuh jika tak diberikan antibiotik.
Bahkan sejumlah dokter mengaku banyak pasien yang meminta langsung diresepkan antibiotik guna mempercepat penyembuhan. Padahal kenyataannya, antibiotik tidak bisa digunakan secara sembarangan. Tidak semua penyakit bisa sembuh dengan antibiotik.
Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan bahwa 22,1 persen masyarakat menggunakan antibiotik oral, seperti tablet dan sirup. Dari jumlah tersebut, 41 persen mendapatkannya secara mudah, bukan dari sarana pelayanan kesehatan penunjang resmi seperti apotek atau toko obat.
"Ada yang mendapatkan dari warung, juga mendapatkan dari tempat-tempat peredaran online dan atau tempat-tempat yang tidak sesuai dalam mendistribusikan antimikroba ini," kata Lucia Rizka Andalusia, Direktur Jenderal Keafarmasian dan Alat Kesehatan.
Ancaman Kematian Akibat AMR
Mengutip healthcare, antibiotik berasal dari kata Yunani yaitu ‘anti’ yang berarti melawan dan ‘bios’ yang berarti hidup. Antibiotik adalah obat yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri penyebab infeksi. Obat ini telah digunakan untuk melawan infeksi bakteri pada tumbuhan, hewan, dan manusia sejak 1930-an.
Perlu diingat bahwa antibiotik hanya melawan infeksi yang disebabkan bakteri, bukan untuk melawan infeksi yang disebabkan virus. Karena itu, sakit seperti flu, sakit tenggorokan, gondok, dan penyakit lainnya akibat virus tidak membutuhkan antibiotik. Jika antibiotik digunakan untuk mengobati infeksi virus justru bisa membahayakan tubuh. Sayangnya hal ini masih sering disalahartikan oleh masyarakat.
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menyebabkan resistensi, sehingga antibiotik tidak lagi mampu mematikan bakteri penyebab penyakit karena bakteri mengubah dirinya untuk bisa beradaptasi dengan sekitar sehingga kebal. Hal ini dalam kedokteran disebut Antimicrobial Resistance (AMR) atau resistensi antimikroba.
AMR merupakan kondisi ketika bakteri, virus, jamur, dan parasit tidak lagi merespon obat-obatan antimikroba. Kuman biang penyakit menjadi kebal atau resisten terhadap antibiotik, yang akhirnya menyebabkan pasien sulit sembuh di kemudian hari.
Masalah ini adalah salah satu ancaman kesehatan masyarakat yang serius, bahkan, organisasi kesehatan dunia WHO telah memperkirakan akan terjadi 10 juta kematian pada tahun 2050 karena peningkatan kasus AMR.
Saking seriusnya ancaman resistensi antibiotik, dunia kesehatan menggambarkan ini sebagai pandemi senyap. Masalah ini tidak hanya mengancam kesehatan individu, tapi juga berdampak besar pada produktivitas masyarakat.
BACA JUGA:
Ketua Departemen Hubungan Lembaga Pemerintah PB IDI, Brigjen TNI Purn. DR. Dr. Soroy Lardo, SpPD KPTI FINASIM, menegaskan bahwa jika tidak segera ditangani, dampaknya dapat meningkatkan angka kesakitan dan kematian akibat infeksi, serta mengganggu keseimbangan ekonomi dan sosial.
“Produktivitas komunitas akan terganggu jika infeksi yang diakibatkan oleh resistensi antibiotik tidak dapat dikendalikan. Global action plan harus menjadikan ini fokus utama dalam isu kesehatan masa kini dan masa depan,” ujar Dr. Soroy dalam media briefing yang diselenggarakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Kamis (28/11/2024).
Pandemi Senyap
Resistensi antimikroba telah menjadi silent pandemic atau pandemi senyap. Mirisnya, pandemi senyap itu membuat Indonesia masuk ke dalam lima negara dengan perkiraan peningkatan persentase konsumsi antimikroba tertinggi pada 2030.
AMR kini menjadi perhatian global, seperti yang tertuang dalam target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), di mana terdapat target untuk menurunkan prevalensi antimikroba. Di tingkat nasional, penanggulangan AMR dijabarkan dalam Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba 2020-2024.
Untuk menangani antibiotik, kata Dr. Soroy, perlu pendekatan holistik, salah satunya melalui strategi One Health. Pendekatan ini melibatkan kolaborasi antara manajemen institusi, pelestarian lingkungan, serta partisipasi aktif masyarakat.
Selain itu, penting juga pemanfaatan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) untuk menciptakan solusi berbasis data yang tepat sasaran.
“Edukasi publik, simulasi risiko dini, hingga program berbasis desa menjadi langkah utama dalam pencegahan. Penguatan sumber daya manusia dan pembangunan ekosistem kesehatan yang mendukung pengendalian resistensi antibiotik adalah kunci keberhasilan,” tegasnya.
Tak sampai di situ, organisasi profesi kesehatan memiliki peran strategis sebagai jembatan sinergi antara kebijakan pemerintah dan implementasi di lapangan. Sumber daya manusia (SDM) yang kompeten, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, menjadi faktor pendukung keberhasilan program itu.
Dengan upaya bersama, resistensi antibiotik bisa dikelola sehingga dampaknya terhadap masyarakat dapat diminimalkan, serta program pencegahan berbasis komunitas dan kerja sama lintas sektor menjadi kunci untuk menjaga stabilitas kesehatan masyarakat di masa depan.