JAKARTA – Sosok Rano Karno alias Bang Doel di Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada Jakarta 2024 mengubah peta politik. Kehadiran Anies Baswedan, Joko Widodo (Jokowi), Presiden Prabowo Subianto, hingga Rizieq Shihab hanya sebagai penguat dalam pemilihan Gubernur Jakarta pada 27 November.
Pilkada Jakarta menghadirkan tiga pasangan calon untuk dipilih, yaitu Ridwan Kamil-Suswono, Dharma Pongrekun-Kun Wardana, dan Pramono Anung-Rano Karno.
Namun di pertengahan jalan nama-nama seperti eks Gubernur Jakarta Anies Baswedan, mantan Presiden Jokowi, dan Presiden Prabowo Subianto ikut meramaikan kontestasi Pilkada Jakarta.
Bahkan pentolan Front Persaudaraan Islam (FPI) – sebelumnya bernama Front Pembela Islam – juga turun gunung. Jika Anies menyatakan dukungannya kepada pasangan nomor urut tiga Pramono dan Rano, Jokowi dan Prabowo all out untuk Ridwan Kamil-Suswono alias RIDO.
Peran Penting Si Doel
Analis Komunikasi Politik sekaligus pendiri Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) Hendri Satrio menuturkan tokoh Pilkada Jakarta 2024 yang sesungguhnya bukanlah Pramono Anung, Ridwan Kamil, Dharma Pongrekun, maupun Suswono, melainkan Rano Karno.
Meski di awal kehadiran elektabilitas Pramono-Rano Karno tertinggal dari RIDO, pelan tapi pasti pasangan yang diusung PDI Perjuangan itu berhasil menempel ketat, bahkan di beberapa lembaga survei mengungguli Ridwan Kamil-Suswono.
Terkait hal ini, Hendro Satrio menyebut Rano Karno memiliki peran penting dalam mengatrol elektabilitas paslon nomor urut tiga tersebut.
Dibandingkan calon lainnya, nama Rano Karno sudah lebih dulu dikenal masyarakat karena ia merupakan aktor film sejak dulu. Namanya makin melambung ketika memerankan tokoh Si Doel dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan di era 1990-an.
Tokoh Si Doel di sinetron tersebut digambarkan sebagai sosok yang baik hati, anak Betawi asli, menjaga budaya Betawi, dan ‘sangat Jakarta’. Sampai sekarang, kesan tersebut masih sangat melekat dalam diri Rano Karno, bahkan aka nada penambahan nama Si Doel dalam kertas suara nanti.
“Jadi saat kemunculan Rano Karno sangat mengubah peta politik. Orang sangat mengenal RK, orang harus mengenal Pram juga. Tapi Rano Karno sudah dikenal,” ucap pria yang akrab dipanggil Hensat ini
“Walaupun warga Jakarta terkenal rasional, popularitas Rano Karno menjadi nilai plus bagi dia untuk bisa unggul dibandingkan calon-calon lain,” imbuhnya.
Menyoal kehadiran Anies, Prabowo, Jokowi, bahkan Habib Rizieq dalam memberi dukungan di pentas Pilkada 2024, menurut Hensat tidak lebih sebagai penguat.
“Karena sebelumnya masyarakat sudah terlanjur kepincut dengan Si Doel ini,” katanya.
Berdasarkan survei terkini, elektabilitas Pramono Anung-Rano Karno saling berkejaran dengan Ridwan Kamil-Suswono. Pasangan yang disebutkan pertama unggul di tiga survei yang dilakukan Indopolling, Polmark, hingga Indikator. Masing-masing lembaga survei tersebut mencatat elektabilitas Pramono-Si Doel adalah 48,4 persen, 40,3 persen, dan 42,9 persen.
Ketat di Elektabilitas
Meski demikian, keunggulan Pramono tidak terlampau jauh dibandingkan RIDO dengan elektabilitas 38,4 persen dan 34,8 persen di Indopolling dan Polmark. Sedangkan Indikator Politik menyebut RIDO hanya kalah tipis dengan elektabilitas 39,2 persen.
Meski unggul dalam berbagai survei, Hensat tidak menganggap ini sebagai sebuah jaminan bahwa pasangan Pramono-Si Doel bakal dengan mudah memenangkan Pilkada Jakarta 2024. Ia bahkan menganalogikan pertarungan Pilkada seperti laga sepak bola, di mana apa pun bisa terjadi.
“Dalam Pilkada seperti sepak bola, bola itu bundar. Suara bisa dilihat sebagai sesuatu yang bisa berubah apalagi elektabilitas mereka jaraknya kecil,” ujarnya.
Melihat persaingan yang cukup ketat antara pasangan Pramono - Si Doel dan RK – Suswono, bukan tidak mungkin Pilkada Jakarta berlangsung dua putaran. Andai itu terjadi, Hensat memprediksi kemenangan akan menjadi milik RIDO.
Menurut dia, ada fenomea unik di Pilkada Jakarta, yaitu pasangan calon yang memiliki elektabilitas tinggi berdasarkan survei malah akan menelan kekalahan. Selama ini, berdasarkan pengamatannya, belum pernah ada calon yang memiliki survei elektabilitas tertinggi bisa memenangkan Pilkada Jakarta.
"Dulu Fauzi Bowo pas 2012 itu surveinya tinggi, kalah sama Jokowi. Ahok juga sama, 2017 memiliki survei tinggi, tumbang oleh Anies, jadi menurut saya biasanya yang surveinya tinggi justru kalah di Pilkada Jakarta," Hensat menjelaskan.
BACA JUGA:
Ia juga lebih menekankan kuat tidaknya basis akar rumput partai pengusung sebagai salah satu faktor kemenangan paslon di Pilkada Jakarta. Hal ini terbuka sejak Pilkada Jakarta digelar langsung pada 2007, karena hanya satu kali paslon yang didukung banyak parpol memenangkan kompetisi. Hal tersebut terjadi ketika Fauzi Bowo mengalahkan Adang Daradjatun dari PKS di tahun 2007.
"Sisanya? Jokowi menang karena akar rumput PDI Perjuangan di 2012, namun Anies Baswedan di 2017 juga bermodalkan akar rumput PKS-Gerindra berhasil mengalahkan Basuki Tjahja Purnama yang diusung PDI Perjuangan, Golkar, Hanura, dan Nasdem," tandasnya.