JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) merilis standar hidup layak di Indonesia pada 2024 menjadi Rp1,02 juta per kapita per bulan. Angka ini menurut sejumlah ekonom standar hidup layak yang dikeluarkan BPS sangat rancu dan paradoksal.
Angka Rp12,34 juta per tahun atau setara Rp1,02 juta per bulan yang disebut BPS sebagai standar hidup layak di Indonesia tahun ini menuai kontroversi. Bagi sebagian orang, angka ini jauh dara kata hidup layak. Angkanya bahkan lebih rendah dari Upah Minimum Regional (UMR) terendah, yaitu di Kabupaten Banjarnegara sebesar Rp2.038.005.
Peneliti Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Achmad Hanif Imaduddin mengatakan standa hidup layak dari BPS sangat rancu dan paradoksional.
“Konsumsi ini bisa saja rendah karena masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk membeli barang lebih mahal, memiliki pendapatan yang terbatas, dan lebih berhati-hati dalam menggunakan uangnya,” jelas Achmad.
Terus Meningkat di Lima Tahun Terakhir
BPS menghitung standar hidup layak menggunakan rata-rata pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan dengan paritas daya beli atau purchasing power parity. Penghitungan ini berbeda dengan yang digunakan oleh United Nations Development Programme (UNDP), yang menggunakan Produk Nasional Bruto (PNB) riil yang disesuaikan.
BPS mencatat nilai standar hidup layak tahun ini meningkat Rp 442 ribu atau 3,71 persen dibanding pada 2023 yang sebesar Rp 11,89 juta per tahun.
"Ini lebih tinggi dibanding rata-rata pertumbuhan 2020-2023 yang sebesar 2,61 persen," demikian pernyataan yang dikutip dari laporan pelaksana tugas (plt) Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers.
Menurut BPS, standar hidup layak terus meningkat pada periode 2020-2024. Pada 2020, standar hidup layak adalah Rp11,01 juta per tahun, kemudian naik menjadi Rp11,15 juta pada 2021. Pada 2022, angka tersebut kembali naik menjadi Rp11,47 juta dan Rp11,89 pada 2023. Dengan demikian kenaikan standar hidup layak pada 2024 merupakan yang tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Dalam laporan yang sama menunjukkan Jakarta merupakan wilayah dengan pengeluaraan riil per kapita tertinggi pada 2024, yaitu sebesar Rp19,95 juta per tahun atau sekitar Rp1,66 juta per bulan. Sedangkan posisi terendah adalah Papua Pegunungan yang pengeluarannya sebesar Rp5,7 per tahun atau Rp475 ribu per bulan.
Standar hidup layak merupakan salah satu dari tiga komponen pertumbuhan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) selain umur harapan hidup saat lahir dan pengetahuan. Berdasarkan catatan BPS, IPM Indonesia tahun ini ada di level 75,02, naik 0,63 poin atau 0,85 persen dibandingkan 2023 yang sebesar 74,39.
Kendati demikian, standar hidup layak yang dikeluarkan BPS menimbulkan perdebatan banyak kalangan. Duit Rp1 juta-an dinilai jauh dari mencerminkan biaya hidup yang sebenarnya, terutama di kota-kota besar. Dengan uang segitu, berarti daya beli masyarakat sangat rentan dan banyak yang bergantung pada bantuan sosial untuk bisa bertahan hidup.
BACA JUGA:
Contohnya biaya sewa kontrakan petak di pinggiran kota besar setidaknya Rp500 ribu per bulan, belum termasuk biaya listrik dan air. Itu artinya setengah dari standar hidup layak habis hanya untuk tempat tinggal.
Sisa Rp500 ribu hampir pasti tidak mencukupi untuk kebutuhan makan sebulan. Kebutuhan transportasi, kesehatan, dan kebutuhan tak terduga lainnya belum dihitung.
Rancu dan Paradoksal
Penggunaan indikator pengeluaran riil dalam menghitung standar hidup layak disoroti sejumlah pengamat. Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda, menjelaskan pengeluaran riil masyarakat adalah pengeluaran yang bisa dicapai, terlepas pengeluaran riil tersebut layak atau tidak. Sedangkan standar hidup layak adalah standar pengeluaran yang ideal. Namun nyatanya hitungan pengeluaran dalam standar hidup layak jauh di bawah pengeluaran riil masyarakat.
Menurut Huda, standar hidup ideal atau layak ini semestinya dihitung dengan beberapa komponen pembentuknya, antara lain kebutuhan pendidikan yang ideal untuk membantu murid menyerap ilmu dengan baik, kebutuhan akses kesehatan yang baik, hingga kebutuhan makanan yang sesuai dengan kebutuhan gizi minimal.
"Jadi standar hidup layak yang dikeluarkan oleh BPS mislead dan tidak sesuai dengan kondisi riil masyarakat," ujar Huda kepada VOI.
Selain itu, menurutnya pengeluaran riil juga seharusnya dihitung dengan memasukkan unsur kenaikan harga atau inflasi. Dengan prediksi inflasi sebesar 2,5 persen, ia memproyeksikan kenaikan pengeluaran masyarakat hanya sekitar 1,21 persen.
Merujuk pada hitungan tersebut, Huda berpendapat kenaikan pengeluaran riil masyarakat sangat rendah. Apalagi untuk bisa menabung atau berbelanja demi kebutuhan yang lebih baik.
"Pendapatan masyarakat Indonesia juga hanya naik 1,8 persen, masih jauh dari kata layak," ucapnya.
Sementara itu, peneliti CELIOS Achmad Hanif Imaduddin mengkritik metode penghitungan dan penetapan standar hidup BPS. Standar hidup layak yang dihitung dari biaya konsumsi rumah tangga justru dianggap rancu dan paradoksal.
“Padahal, konsumsi ini bisa saja rendah karena masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk membeli barang lebih mahal, memiliki pendapatan yang terbatas, dan lebih berhati-hati dalam menggunakan uangnya,” jelas dia.
Dengan angka ini besar kemungkinan mereka tidak hidup dalam kondisi layak, melainkan hidup dalam keterbatasan. Jika disebut layak, pertanyaannya daerah mana di Indonesia yang masyarakatnya hidup sejahtera hanya dengan modal Rp1 jutaan per bulan.
Hidup layak kan berarti tinggal di rumah yang memadai, mengonsumsi makanan bergizi, dan mengenakan pakaian yang layak.