Aturan Baru Pengupahan, Peluang Kenaikan Gaji Bakal Hilang?
Ilustrasi. (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) Mirah Sumirat mengatakan pembaharuan sistem pengupahan nasional yang tercantum dalam aturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja sangat mungkin menghilangkan acuan kenaikan gaji setiap tahun.

Menurut dia, perhitungan aspek konsumsi rumah tangga yang dijadikan sebagai salah satu pertimbangan kenaikan upah bisa menjadi batu sandungan dalam peningkatan pendapatan pekerja tiap tahun. Sebab, jika suatu wilayah tergolong sebagai daerah berekonomi rendah, maka sudah bisa dipastikan tingkat konsumsi rumah tangganya pun ikut rendah.

“Kemungkinan besar iya (tidak naik upah setiap tahun). Kalau misalnya sebuah daerah bukan kawasan industri atau pusat pariwisata, dasar kenaikannya bagaimana? Kepala daerah setempat bisa memutuskan untuk tidak menaikkan upah,” ujarnya pada Selasa, 23 Februari seperti yang dilansir CNBC Indonesia.

Untuk diketahui, pada aturan turunan UU Cipta Kerja, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan, pengganti PP No 78 tahun 2015 disebutkan bahwa penetapan upah minimum berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan dengan variabel paritas daya beli.

Selain itu, dimasukan juga perhitungan tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah, sementara upah minimum kabupaten/kota meliputi pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi pada kabupaten/kota yang bersangkutan.

“Data pertumbuhan, ekonomi, inflasi, paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik," dikutip dari Pasal 25.

Ini berarti, nasib kenaikan upah pekerja tergantung dari laporan yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik (BPS), sebagai acuan utama kepala daerah dalam menentukan besaran angka tahun berikutnya.

Meski demikian, pemerintah masih tetap mengatur batas atas dan batas bawah Upah minimum pada wilayah yang bersangkutan. Ini tertuang dalam PP 36/2021.

Lebih lanjut, dalam beleid terbaru pasca omnibus law tersebut diterangkan pula aspek pertimbangan rata-rata konsumsi perkapita, rata-rata banyaknya anggota rumah tangga, dan rata-rata banyaknya anggota rumah tangga bekerja pada setiap rumah tangga.

Apabila upah minimum provinsi tahun berjalan lebih tinggi dari batas atas UMP, maka gubernur wajib menetapkan UMP tahun berikutnya sama dengan UMP tahun berjalan.

Perbedaannya dengan aturan lama yakni PP 78 tahun 2015 tentang pengupahan, ada kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

"Kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan standar kebutuhan seorang Pekerja/Buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik untuk kebutuhan 1 (satu) bulan," tulis pasal 43 ayat (2).

Sementara di PP terbaru, kebutuhan hidup layak (KHL) tidak disebut atau mendapat pertimbangan untuk menentukan upah minimum. Dalam penetapannya, gubernur yang bakal menentukan kenaikan upahnya.