JAKARTA – Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka meminta Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti menghapus kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi. Tapi banyak pihak meminta permintaan ini dikaji dulu sebelum benar-benar dihapus.
Pemintaan Wapres Gibran ini didorong oleh pengalamannya sewaktu masih menjabat sebagai Wali Kota Solo pada perode 2021-2024. Saat itu, putra sulung mantan Presiden Joko Widodo ini mengaku menerima banyak keluhan di hampir setiap tahun ajaran terkait sistem zonasi.
Ia bahkan pernah menyurati Nadiem Makarim, yang kala itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek). Gibran mengeluhkan hal-hal yang terkait pendidikan yang ada di wilayah Solo, termasuk soal zonasi, ujian nasional, program Merdeka Belajar, hingga masalah pengawas sekolah. Tapi wapres kelahiran 37 tahun lalu itu mengaku tidak mendapat respons dari Mendikbudristek Nadiem.
Masalah Berulang Setiap Tahun
Niatan Wapres Gibran Rakabuming Raka meminta Mendikdasmen Abdul Mu’ti menghapus PPDB dengan sistem zonasi sebagai salah satu komitmen pemerintah menyambut Indonesia Emas 2045. Kata Gibran, butuh sumber daya manusia (SDM) unggul melalui perbaikan sistem pendidikan, dan salah satu cara mewujudkan misi tersebut menghapus kebijakan PPDB sistem zonasi.
Sejak resmi diberlakukan pada 2017, kebijakan PPDB sistem zonasi kerap menimbulkan persoalan. Padahal Mendikbud saat itu, Muhadjir Effendy, menyatakan sistem ini bertujuan mendekatkan siswa ke sekolah terdekat untuk mengurangi biaya transportasi serta meratakan populasi siswa dan tenaga pengajar.
Tapi pada pelaksanaannya malah menimbulkan berbagai persoalan, terutama terkait ketidakseimbangan kuota penerimaan dengan jumlah calon siswa. Hal ini umum terjadi di berbagai daerah, seperti Jakarta.
Di hampir setiap tahunnya laporan soal berbagai kecurangan demi bisa diterima di sekolah negeri mengemuka, seperti praktik manipulasi data sampai gratifikasi. Hal ini, menurut Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengancam jutaan anak Indonesia tidak sekolah karena gagal lolos di PPDB sekolah negeri.
Lelah dengan karut marut PPDB, akhirnya seruan supaya sistem zonasi dihapuskan digaungkan para orangtua. Makanya ketika Wapres Gibran meminta Mendikdasmen Abdul Mu’ti menghapus sistem zonasi seperti angin segar buat sebagian orang tua. Apalagi saat dilantik beberapa waktu lalu, Abdul Mu’ti juga sempat menyinggung bakal mengevaluasi beberapa kebijakan, seperti Kurikulum Merdeka, PPDB sistem zonasi, dan lainnya.
Tapi di mata sejumlah pengamat, PPDB sistem zonasi sebenarnya bertujuan positif. Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji menyebut sistem zonasi pada dasarnya adalah sebuah kemajuan dibandingkan mengembalikan UN sebagai syarat lulus dan masuk ke sekolah jenjang berikutnya. Alasannya, dengan sistem zonasi semua anak memiliki hak untuk sekolah.
“Kalau dengan UN, hanya anak-anak yang berprestasi yang menjadi prioritas, sedangkan yang nilainya buruk kesannya nanti dulu (untuk bisa sekolah). Padahal PPDB dengan sistem zonasi adalah sebuah kemajuan,” ucap Ubaid saat berbincang dengan VOI beberapa waktu lalu.
Penghapusan PPDB Jangan Tergesa-gesa
Sementara itu, Perhimpunan Pendidikan dan Guru atau P2G tidak menutup mata terhadap berbagai masalah yang sama dalam pelaksanaan PPDB, yaitu tidak meratanya sebaran sekolah negeri di wilayah Indonesia, pelaksanaan PPDB di daerah tak didasarkan pada analisis demografis siswa.
Selain itu, PPDB sistem zonasi menjadi kerap bermasalah lantaran tak didasarkan analisis geografis akses dari rumah ke sekolah, manipulasi kartu keluarga demi sekolah favorit, adanya praktik pungli dan intervensi agar diterima di sekolah tertentu, dan belum terciptanya pemerataan kualitas sekolah secara nasional seperti tujuan semula zonasi.
Namun demikian, pernyataan Wapres Gibran yang akan menghapus PPDB sistem zonasi kesannya tergesa-gesa dan reaksioner. Terkait ini, P2G berharap jangan sampai pemerintah pusat asal menghapus saja, jangan tergesa-gesa begitu tanpa ada kajian akademik yang objektif dan tanpa melibatkan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
BACA JUGA:
“Jangan sampai keputusan mendadak menghapus sistem PPDB Zonasi ini berdampak kontraproduktif kepada siswa dan sistem pendidikan secara umum, yaitu makin tingginya angka putus sekolah, menciptakan kastaisasi sekolah kembali, biaya pendidikan di sekolah swasta makin mahal, dan anak-anak dari keluarga miskin makin tertinggal jauh di belakang,” kata Kornas P2G, Satriwan Salim dalam keterangan yang diterima VOI.
P2G mengajak Mendikdasmen untuk melibatkan partisipasi publik semua unsur pemangku kepentingan pendidikan. Sehingga tidak asal memutuskan apalagi dilakukan tergesa-gesa. Sejauh ini, P2G tidak melihat Mendikdasmen Abdul Mu’ti sudah melakukan kajian dan pelibatan publik dalam diskusi yang mengundang semua unsur pemangku kepentingan pendidikan seperti: organisasi pendidikan, organisasi guru, akademisi, kampus LPTK, dan orang tua murid.
“P2G berharap Kemdikdasmen membuat grand design skema PPDB yang lebih berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berpihak pada seluruh anak Indonesia,” imbuhnya.
Memang, PPDB sistem zonasi perlu evaluasi dan kajian mendalam. Butuh perbaikan di sejumlah aspek supaya tujuan pemerataan pendidikan melalui sistem ini terpenuhi.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebenarnya sudah dijelaskan bahwa pendidikan adalah hak semua anak Indonesia dan pemerintah wajib menyediakan pendidikan. Untuk itu, menghapus PPDB sistem zonasi bisa saja menimbulkan masalah baru, salah satunya adalah pemenuhan hak-hak anak dalam mendapatkan pendidikan.