Bagikan:

JAKARTA – Publik melihat kesadaran masyarakat untuk berolahraga mengalami peningkatan sejak pandemi COVID-19 menerjang. Namun menurut data tidak demikian. Perubahan tren olahraga yang terlihat lebih eksklusif, memunculkan anggapan olahraga hanya bisa dilakukan untuk orang berada.

Saat pandemi menghantam Indonesia mulai Maret 2020, pemerintah membelakukan kebijakan pembatasan aktivitas untuk meminimalisir penyebaran COVID-19. Namun di saat yang sama, olahraga juga tetap perlu dilakukan sebagai salah satu upaya menjaga kebugaran, di samping menerapkan protokol kesehatan seperti menjaga jarak, memakai masker, dan sebagainya.

Olahraga seperti joging, lari, bersepeda akhirnya seolah hidup kembali menjadi tren. Bahkan sampai sekarang olahraga tersebut masih menjadi favorit banyak orang, sampai kemudian muncul anggapan bahwa olahraga adalah kegiatan eklusif dengan biaya tinggi, yang menyebabkan kalangan tertentu kesulitan mengaksesnya.

Di sisi lain, laporan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) menunjukkan kebugaran fisik generasi muda Indonesia masih rendah. Apakah ini ada kaitannya dengan tren olahraga bersifat eksklusif?

Tren Belanja Perlengkapan Olahraga

Label bahwa olahraga bisa dilakukan siapa saja, dari kalangan mana pun, belakangan memudar. Ini terjadi karena dalam beberapa tahun terakhir, aktivitas olahraga butuh 'biaya tambahan'. Yang jadi masalahnya, biaya ekstra ini bukan lagi untuk menunjang kenyamanan berolahraga, tapi lebih ke mendongkrak prestise, dan perasaan agar bisa masuk ke sebuah komunitas. 

Contoh yang paling mudah ditemukan adalah kebutuhan menenteng botol minum kekinian, atau bahasa kerennya tumbler, yang harganya dibanderol mulai dari Rp500 ribuan sampai Rp1 juta. Belum lagi smartwatch dari berbagai merek yang memaksa orang merogoh kocek sampai jutaan.

Itu belum termasuk sepatu, yang disebut-sebut paling nyaman untuk joging atau lari dan pakaian olahraga. Belum lagi merogoh kocek untuk membayar biaya kelas kalau olahraga yang diikuti butuh coach terlatih seperti pounfit, pilates, yoga, atau bahkan iuran bulanan untuk member gym bulanan.

Lembaga survei Jakpat melakukan jajak pendapat pada 16 sampai 23 Januari 2024 terhadap responden yang berpartisipasi aktif dalam ajang olahraga di enam bulan terakhir.

Sekelompok orang melakukan olahraga bersepeda di sekitaran Stadion Gelora Bung Karno. (Istimewa)

Hasilnya, 41 persen mengalokasikan anggaran khusus untuk mengikuti event olahraga. Anggaran ini dikeluarkan untuk transportasi dan akomodasi, terutama jika acara digelar di luar kota. Selain itu, mereka juga punya anggaran sendiri untuk baju, aksesori, hingga cendera mata dari festival olahraga yang diikuti.

Jika ditelisik lebih lanjut, survei tersebut menyebut generasi Y atau milenial lebih tertarik membeli pernak-pernik ketimbang generasi Z (Gen Z). Laporan yang sama mengungkap, 43 persen milenial menyiapkan biaya untuk membeli merchandise.

Sementara itu, dari laporan Indeks Pembangunan Olahraga (IPO) 2023 yang dilakukan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) terungkap sebagian besar barang yang dibeli masyarakat terkait olahraga yakni berupa sepatu (43,1 persen), kemudian menyusul pakaian olahraga (30,4 persen) dan peralatan olahraga (12,1 persen). Di samping itu, ada juga yang mengaku turut membeli suplemen, aksesori, dan cendera mata.

Olahraga karena Ikut-ikutan

Meski tren olahraga dalam beberapa tahun kelihatannya meningkat, namun menurut data tidak demikian. Hal ini terlihat dalam laporan IPO atau yang sebelumnya lebih dikenal dengan penyebutan Sport Development Index (SDI) justru mengungkap hal memprihatinkan.

Laporan ini menunjukkan masih minimnya persentase pemuda usia 16-30 tahun yang memiliki kebugaran jasmani dengan kategori "baik".

Pengukuran yang dilakukan terhadap 3.820 remaja usia 16-30 tahun yang tersebar di 34 Provinsi tahun 2023 menunjukkan bahwa mereka yang memiliki kebugaran jasmani kategori baik atau lebih hanya sebesar 5,04 persen. Sementara itu, remaja yang memiliki kebugaran jasmani kategori kurang dan kurang sekali sebesar 83,55 persen.

IPO juga menunjukkan tingkat partisipasi olahraga yang terus menurun, yaitu hanya 28,4 persen di tahun 2022. Capaian tersebut lebih rendah dibandingkan dengan capaian tahun sebelumnya sebesar 28,6 persen dan sebesar 42,20 pada tahun 2006.

Kondisi serupa terjadi pada aspek kebugaran jasmani masyarakat, karena tingkat partisipasi olahraga berkorelasi erat dengan tingkat kebugaran jasmani. Sejak pengukuran SDI nasional dimulai pada 2004, indeks kebugaran jasmani mengalami penurunan.

Suasana senam bersama yang difasilitasi Puskesmas Kurun di halaman kantor Kecamatan Kurun, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Jumat (2/2/2024). (ANTARA/Chandra)

Laporan SDI 2004 menyebutkan bahwa indeks kebugaran jasmani sebesar 0,540, dan menurun menjadi 0,352 pada 2005. Laporan yang sama menunjukkan kondisi serupa. Pada 2021 indeks kebugaran jasmani sebesar 0,203 dan pada tahun 2022 turun menjadi 0,185.

Data-data tersebut di atas seolah membenarkan anggapan banyak orang bahwa olahraga sekarang ini menjadi hal yang eksklusif. Tidak lagi semua orang memiliki kesempatan untuk berolahraga.

Dosen Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Olahraga Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Prof Dr Bambang Purwanto bahkan menilai tak sedikit orang yang berolahraga karena ada unsur FOMO atau fear of missing out. Sederhananya, berolahraga hanya karena ikut-ikutan

“Jadi, bukan olahraga inklusif yang bertujuan untuk meningkatkan kebugaran tapi olahraga yang kaitannya juga dengan prestise, dengan segmental, dengan kelompok tertentu,” ujarnya.

Ia menganggap ada kaitannya antara indeks angka partisipasi olahraga masyarakat yang rendah dengan perubahan tren olahraga yang tadinya inklusif menjadi eksklusif.

Jika melihat ke belakang, kata Prof Bambang, olahraga bisa dilakukan oleh siapa pun saat sebelum era COVID-19. Olahraga bukanlah hal yang segmented karena jika demikian, pada akhirnya yang melakukan olahraga hanya kalangan tertentu alias orang yang punya. Baik itu punya kualifikasi, punya duit, punya alat, dan punya akses.

“Kalau yang enggak punya, enggak bisa melakukan,” pungkasnya