Bagikan:

JAKARTA - Kasus pembunuhan ayah dan nenek di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, menggemparkan publik. Dalam kasus yang melibatkan anak-anak, psikolog klinis Reza Indagiri Amriel menyebut ada lima hal yang perlu diperhatikan penyidik.

Warga di Perumahan Bona Indah, Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan, tiba-tiba digegerkan dengan penangkapan remaja berinisial MAS oleh polisi. Anak laki-laki 14 tahun ini membunuh ayahnya, APW dan neneknya, RM, di rumahnya sekitar pukul 01.00 WIB. Selain itu, AMS juga menyerang ibunya namun berhasil diselamatkan.

Sampai tulisan ini diturunkan, belum diketahui apa motif anak tersebut membunuh ayah dan nenek, serta melukai ibunya sendiri. Tapi Kasat Reskrim Polres Metro Jaksel AKBP Gogo Galesung menjelaskan, dari pemeriksaan sementara pelaku mengaku mendapat “bisikan” yang “meresahkan”.

Polisi mengevakuasi jenazah APW dan RM di Perumahan Bona Indah, Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan, Sabtu (30/11/2024). (ANTARA/HO-Dokumentasi Pribadi)

“Dia merasa dia tidak bisa tidur, terus ada hal-hal yang membisiki dia, meresahkan dia, seperti itu," ujar Gogo.

“Kita masih dalami, kita belum bisa ambil kesimpulan,” lanjutnya.

Pengaruh Pola Asuh Keluarga dan Lingkungan

Sudah kesekian kalinya anak berkasus dengan hukum terjadi di Indonesia. Terkait kasus yang menimpa MAS, ia dikenal pendiam oleh tetangga di sekitar. Karena itu, kasus pembunuhan ini mengejutkan berbagai pihak.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Dian Sasmita nenegaskan, tidak semua anak tumbuh dan memiliki respons sesuai harapan orang dewasa. Menurut Dian, pertumbuhan anak-anak sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari pola asuh keluarga dan lingkungan sekitar.

"Pengasuhan keluarga dan lingkungan pendidikan memiliki kontribusi besar terhadap kehidupan anak. Karena sebagian besar waktu mereka dihabiskan di dua lingkungan tersebut," kata Komisioner KPAI, Dian Sasmita dalam keterangannya.

Dian menambahkan pentingnya meningkatkan kesadaran pengasuhan yang baik dan penuh kasih sayang di masyarakat. Lingkungan pendidikan yang bebas kekerasan dan mendukung pengembangan karakter anak.

"Ini tugas kita bersama untuk menciptakan lingkungan anak yang lebih baik," ucapnya.

Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel menekankan pentingnya berhati-hati dalam memberikan akses anak-anak ke gawai atau media sosial. (Unsplash)

Sementara itu, psikolog forensik Reza Indragiri Amriel menegaskan adanya perbedaan cara pandang terhadap pelaku dewasa dan anak-anak. Berbeda dengan pelaku dewasa, pelaku anak-anak di Indonesia dilindungi oleh Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang dibentuk untuk melindungi dan menjaga secara khusus harkat dan martabat anak yang masih memiliki masa depan.

Untuk itu, munculnya perilaku jahat pada anak-anak, termasuk yang dilakukan MAS baru-baru ini, Reza menyoroti setidaknya lima hal yang perlu ditelaah. Tidak hanya dari pola asuh, tapi juga bagaimana si pelaku bersosialisasi baik di kehidupan nyata maupun di dunia maya.

Pertama, kata Reza, perlu dicari tahu apakah ada kemungkinan anak ini memiliki kondisi mental yang khusus sekaligus adakah kemungkinan yang bersangkutan menyalahgunakan zat-zat terlarang, entah itu narkotika, psikotropika, atau zat aditif lainnya.

Yang kedua perlu mencari tahu fantasi kekerasan pada pelaku juga perlu diperhatikan.

“Bicara soal fantasi kekerasan, berarti relevan untuk mengidentifikasi apa saja yang dia baca, situs apa yang dia kunjungi, film atau tayangan seperti apa dia saksikan, mimpi-mimpinya seperti apa,” kata Reza kepada VOI.

“Ini akan membantu kita memahami bagaimana anak ini mengekspresikan atau membangun fantasi tentang kekerasan,” imbuhnya.

Kontrol Akses Gawai kepada Anak

Hal ketiga yang harus diteliti menurut Reza adalah menganalisis pola pengekspresian amarah, apakah berbeda dengan anak-anak lainnya atau tidak. Selanjutnya, untuk menghadapi kasus semacam ini diperlukan juga pengecekan stabilitas si pelaku di lingkungan pendidikan.

“Apakah bermasalah dengan pelajaran di sekolah, pernah di-DO, pernah tidak naik kelas, dan lain-lainnya,” ucap Reza.

Yang tak kalah penting adalah menganalisis relasi sosial, baik dengan teman sebaya, teman sekolah, tetangga, atau relasi dengan keluarga termasuk orangtua.

Seusai menelaah kelima hal yang telah disebutkan, kemungkinan akan mendapat kesimpulan faktor apa yang paling dominan yang melatarbelakangi perilaku “nakal” pada anak.

Mengacu hasil studi, ada dua hal yang menjadi faktor dominan yaitu relasi dengan keluarga atau orangtua dan relasi pertemanan. Terkait relasi pertemanan, menurut Reza perlu juga ditelisik bagaimana relasinya di media sosial, termasuk di grup WhatsApp, pertemanan Facebook atau media sosial lainnya.

Anggota KPAI Dian Sasmita. (ANTARA/Anita Permata Dewi)

“Inilah relasi sosial yang perlu dikaji dalam situasi kontemporer seperti sekarang,” katanya.

“Konsekuensinya, kita harus ekstra hati-hati dalam memberikan akses anak-anak ke gawai atau media sosial. Kalau pun tidak mungkin memberikan larangan, perlu kontrol atau kendali yang diperketat,” Reza mengimbuhkan.

Ia pun mencotohkan bagaimana kebijakan di Australia yang memperketat penggunaan media sosia. Reza menegaskan, negara tersebut hanya mengizinkan anak usia 16 tahun ke atas mengakses media sosial.

Apakah Indonesia perlu meniru kebijakan negara tersebut? Ini adalah hal yang patut didisksusikan kata Reza, karena di era sekarang ini sangat masuk akal menaruh kewaspadaan terhadap kemungkinan bahaya gawai dan media sosial.

“Boleh jadi sumber informasi yang salah, informasi tentang kekerasan, informasi tentang proses adaptasi yang keliru, datangnya dari internet, dari media sosial. Ini yang perlu coba kita bentengi agar tidak terlalu mendisrupsi kehidupan anak-anak,” ujar Reza memungkasi.