JAKARTA - Otoritas telah mengumumkan potensi gelombang tiga COVID-19 pada penghujung tahun. Sejumlah pakar menyoroti strategi kebijakan yang perlu diambil. Situasi jadi tak mudah setelah terbongkarnya bisnis tes PCR yang dipegang beberapa pejabat negara. Padahal kebijakan pengendalian yang ideal membutuhkan kepercayaan publik.
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menjelaskan potensi ini dalam pertemuan dengan para pemimpin redaksi media massa secara virtual, Rabu, 10 November. Lonjakan kasus diprediksi kembali meledak pada akhir tahun.
Budi memaparkan data terbaru kasus positif COVID-19 di Indonesia yang mencapai 359 per Sabtu, 13 November. Selain kasus baru, dipaparkan pula angka kesembuhan sebanyak 451 dan jumlah kematian 16 orang pada hari yang sama.
Dalam pemaparannya, Budi juga menyinggung pola global, di mana gelombang tiga telah terjadi di sejumlah negara Eropa dan Asia. Padahal, ini hal yang penting dicatat, negara-negara tersebut memiliki cakupan vaksinasi yang tinggi.
"Jadi kita lihat, Jepang sempat naik gelombang ketiga, Singapura naik, Malaysia naik, yang di Eropa itu terjadi, di Amerika Serikat (AS), Israel dan UK," tutur Budi.
Lebih dari itu, Budi juga menyebut gelombang ketiga akan dipengaruhi oleh mutasi virus corona. Melihat yang terjadi di Eropa dan Asia, gelombang ketiga disebabkan mutasi varian delta (B.1.6.1.7.2).
"Untuk ilustrasi, ini kayak preman. Jadi kalau preman masuk ke suatu daerah, misalnya Tanah Abang, ada satu preman, tapi ada preman lain lebih kuat dari dia, kalah preman yang lama. Gitu, ya. Ini di virus ada kayak begitunya."
"Jadi memang preman delta ini relatif lebih dominan, lebih powerful, lebih kuat, dibandingkan preman-preman virus yang lain. Sehingga setiap dia masuk, naik."
Pernyataan Budi sejalan dengan yang dijelaskan Dicky Budiman, epidemiolog Griffith University, Australia. Ia menjelaskan beberapa indikator untuk melihat potensi ledakan kasus COVID-19. Pertama, angka capaian vaksinasi, sebagaimana dikatakan Budi.
Bicara potensi wabah, salah satu indikator utama yang bisa diukur adalah seberapa banyak kelompok masyarakat rawan, yakni mereka yang belum divaksinasi atau belum pernah terinfeksi. Makin besar jumlah masyarakat rawan, makin besar juga potensi kegawatannya.
"Kalau melihat fakta yang ada, misalnya di Singapura. Dia cakupan vaksinasinya 82 persen, yang lengkap. Artinya kurang lebih 18 persen yang belum divaksinasi lengkap itu. Nah, itu sudah lebih dari cukup membuat Singapura meledak kasusnya," tutur Dicky kepada VOI, Selasa, 16 November.
"Dalam konteks Indonesia, kita anggap saja misalnya 60 persen yang divaksinasi satu dosis itu memiliki imunitas ... Saya sih memprediksinya ambil saja yang 60 persen yang sudah vaksin sekali. Maka ada 40 persen tuh yang rawan. Yang belum memiliki imunitas. Dan itu sudah lebih dari cukup sebagai potensi bahan bakar untuk ledakan," tambah Dicky.
Selain itu, juga melihat fakta dan data global, penurunan antibodi atau imunitas manusia juga berpengaruh. Ini terjadi di Eropa. Lainnya, sebagaimana dijelaskan Budi adalah potensi mutasi virus. Menurut Dicky saat ini krisis varian Delta saja masih jauh dari selesai. Belum lagi potensi kemunculan varian baru.
"Setelah enam bulan ada penurunan imunitas pada sebagian orang. Ini berdampak ... Hal lain adalah krisis delta varian ini masih belum selesai. Belum lagi adanya potensi varian baru yang bisa memperburuk," kata Dicky.
Seruan pemerintah
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), yang juga Ketua Satgas Penanganan COVID-19 Letjen Ganip Warsito menjelaskan beberapa langkah yang akan disiapkan pemerintah untuk merespons potensi lonjakan kasus di akhir tahun: meningkatkan kapasitas tes COVID-19, mengejar capaian maksimal vaksinasi, dan memerketat lalu lintas manusia dari luar negeri.
Selain itu langkah-langkah lain yang melibatkan relasi antara pemerintah dan masyarakat juga disiapkan. Sebut saja sosialisasi yang akan digencarkan dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Soal pembatasan-pembatasan ini, Wakil Presiden Maruf Amin mengatakan pemerintah bakal menerapkan sejumlah kebijakan untuk mencegah terjadinya gelombang ketiga. Salah satu yang akan dilakukan adalah pembatasan saat libur Natal dan tahun baru (Nataru).
"Apalagi menjelang tahun baru ini di mana memang pergerakan dan mungkin ada beberapa pembatasan di sekitar Nataru itu untuk menghindari lonjakan seperti tahun-tahun yang lalu," kata Ma'ruf, Selasa, 16 November.
Penjelasan lebih detail dikemukakan Juru Bicara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Adita Irawati. Ia memaparkan, pembatasan akan diberlakukan dengan landasan aturan yang kini tengah dibahas bersama sejumlah kementerian lain terkait.
"Mungkin di sektor pariwisata ada pengetatan syarat. Kemudian juga kapasitas dibatasi karena kalau transportasi yang dibatasi akan terjadi antrean dan over capacity. Ini tidak kondusif untuk situasi pandemi," kata Adita dalam diskusi virtual, Rabu, 3 November.
Lebih lanjut Adita menjelaskan aturan pembatasan mobilitas masyarakat pada masa Nataru akan terintegrasi. Pemerintah telah menetapkan Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhajdir Effendy sebagai koordinator pencegahan lonjakan.
"Kami harapkan dalam waktu dekat pemerintah dapat menetapkan strategi apa dalam penanganan Nataru agar masyarakat bisa melakukan aktivitas dengan beberapa pembatasan dan di sisi lain tidak terjadi peningkatan kasus," kata Adita.
Kenapa kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahnya penting
Epidemiolog Griffith University, Australia, Dicky Budiman menyoroti dua kebijakan yang melibatkan langsung masyarakat: sosialisasi dan PPKM. Menurut Dicky dua kebijakan itu jadi bagian penting pengendalian COVID-19 pada gelombang dua di tengah tahun lalu. Dengan begitu, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah harus dipastikan.
"Apalagi bicara komitmen, konsistensi, koordinasi, kolaborasi, dan juga komunikasi. Itu akan berpengaruh pada kepercayaan publik, dunia internasional, dunia usaha kepada pemerintah," tutur Dicky, dihubungi VOI, Selasa, 16 November.
"Tanpa adanya kepercayaan, kita tidak bisa melakukan respons yang kuat. Kita lihat gelombang dua, masyarakat diperlihatkan situasi yang benar-benar chaos. Chaos itu. Dan di situ masyarakat betul-betul melihat pandemi ini nyata. Apalagi dengan kematian yang banyak."
"Bahkan jauh lebih banyak dari yang dilaporkan atau ditemukan. Itu efek psikologis yang membuat masyarakat dengan serta merta melakukan upaya proteksi. Manusia kan begitu, ya. Respons primitif muncul dengan dia banyak melihat kematian di mana-mana."
"Tapi saat itu saya tidak memiliki data yang dikaitkan dengan kepercayaan, ya. Yang jelas saat itu pemerintah mulai saya lihat melakukan dengan sangat kuat. Strategi-strategi yang berbasis sains. Bakan PPKM Darurat. Tegas. Dan di situlah pemerintah memperlihatkan pada publik berhasil mengendalikan. Di situ mulai terbangun kepercayaan, bahkan apresasi juga."
Kepercayaan itu harus dikembalikan sekarang. Situasi lebih menantang sekarang setelah terungkapnya keterlibatan sejumlah pejabat negara dalam bisnis COVID-19, terutama tes PCR. Analis kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menyoroti ini.
"Menurut saya ada penurunan akibat otoritas sendiri yang melakukan abuse of power," tutur Trubus, dihubungi VOI, Selasa, 16 November.
Dari sisi kebijakan publik, apapun yang dilakukan pemerintah ke depan akan lebih berat. Skeptisme publik tak bisa dihindari. Dampak terburuknya adalah praduga dan tuduhan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah adalah pemaksaan yang hanya menguntungkan elite.
"Itu yang menyebabkan publik melihat apa yang disampaikan otoritas atau elite ini hanya sebuah jargon politik yang sebenarnya di situ penuh dengan kepentingan. Bisa karena melanggengnkan kekuasaan, cuan, popularitas, jabatan. Macam-macam."
Padahal menurut Trubus, kebijakan publik yang ideal adalah yang mampu menciptakan kepatuhan dan loyalitas dari objek kebijakan itu sendiri. "Jadi ketika loyalitas itu bisa dibangun, itu kemudian trust muncul," Trubus.
Ilmu kebijakan publik menjelaskan ini dalam teori Relasi Negara dan Masyarakat. Keselarasan harus terbentuk. Apalagi dalam situasi pandemi, di mana setiap unsur berperan penting.
"Ketika masyarakat dan pemerintah bisa berkolaborasi, maka tingkat kepercayaan tinggi. Tapi ketika kolaborasinya minim, lalu salah satunya merasa kuat, ini bisa tidak jalan," tutur Trubus.
*Baca Informasi lain soal COVID-19 atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.