Bagikan:

JAKARTA - Indonesia catat 1.007 kematian harian COVID-19 pada Minggu, 11 Juli. Angka itu jadi rekor kematian tertinggi nomor dua di dunia. Akibat kesalahan penanganan COVID-19 oleh pemerintah makin nampak. Selain maaf dari Jokowi, kegagalan penanganan pandemi ini juga mendesak DPR yang lebih melek: awas dan evaluatif.

Hari sebelumnya, Sabtu, 10 Juli, Indonesia masih jadi negara nomor tiga paling banyak catatkan kasus kematian dengan 826 jiwa. Hari itu India masih menempati posisi nomor dua dengan 899 kematian. Posisi puncak masih ditempati Brasil dengan korban meninggal 1.172 jiwa.

Selain kematian harian yang salip India, data Satgas COVID-19 pada Minggu juga menunjukkan kasus harian COVID-19 bertambah jadi 36.197. Dengan begitu, total ada 2.527.203 kasus COVID-19. Sementara total kematian mencapai 65.457. Data itu juga menunjukkan 32.615 kasus sembuh harian.

Kasus COVID-19 di Indonesia memang kembali di tahap gawat sejak beberapa waktu belakangan. Sejak pekan lalu, 3 Juli, pemerintah menetapkan kebijakan PPKM Darurat sebagai upaya menangani pandemi setelah berbulan-bulan menjalani kebijakan bermasalah.

Desakan permintaan maaf

Seiring memburuknya situasi pandemi di Indonesia, tuntutan agar pemerintah meminta maaf atas kegagalan menangani pandemi menguat. Tapi hingga kemarin, belum juga terdengar permintaan maaf, baik dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) atau pejabat lain yang terkait.

Dalam kemunculan terbarunya, Jokowi menyampaikan duka cita untuk kematian para pasien COVID-19. Jokowi juga meminta segala pihak mendoakan para korban meninggal serta mereka yang tengah dalam pengobatan agar lekas pulih. 

"Dalam kesempatan ini atas nama pribadi dan pemerintah serta negara saya menyampaikan duka cita yang mendalam pada semua korban pandemi yang telah mendahui kita," kata Jokowi saat acara #PRAYFROMHOME yang disiarkan secara langsung melalui YouTube Sekretariat Presiden, Minggu, 11 Juli.

Insiator platfrom Lapor Covid-19, Irma Hidayana, salah satu yang bersuara menuntut permintaan maaf pemerintah. Ia mengatakan pemerintah seharusnya meminta maaf karena lonjakan kasus penularan dan kematian yang meningkat. Bukan apa-apa. Kondisi ini sudah diprediksi oleh pakar.

“Sudah sering kita dengar para ahli menyampaikan masukan-masukannya terhadap situasi pandemi yang terjadi selama rentang waktu 1,5 tahun," kata Irma dalam diskusi daring LP3ES, 5 Juli.

"Kami merasa bahwa apa yang terjadi di lapangan saat ini belum merefleksikan masukan, kritikan, tawaran kontribusi yang kami suarakan itu didengar dan diakomodasi serta diimplementasikan."

"Jadi mohon situasi yang sudah gawat darurat dan carut-marut ini diakui, minta maaf dan memberikan bantuan konkret."

Apa kegagalan pemerintah?

Irma Hidayana benar. Dalam ilmu epidemiologi pertumbuhan kasus selalu bisa diprediksi. Meski mustahil akurat sepenuhnya, ada pemodelan yang bisa jadi acuan strategi. Dan persoalan yang kita lihat hari ini adalah bukti penanganan pandemi yang tak terskema dalam grand design terang dan terukur.

Pemerintah dianggap abai menerapkan kebijakan yang seharusnya berbasis sains dan berorientasi kesehatan. Salah satu tanda paling awal kegagalan pemerintah mengantisipasi adalah krisis oksigen dan kolapsnya fasilitas kesehatan kala lonjakan kasus terjadi.

"Secara keilmuan ya bisa diprediksi. Estimasi kasar tapi ya. Tapi akan tetap membantu dengan range yang relatif enggak jauh lah. Itu bisa jadi landasan strategi untuk mengantisipasi. Kan prediksi-prediksi dan skenario terburuk itu untuk meningkatkan respons supaya tidak terjadi. Jadi mitigasi respons," ungkap epidemiolog Griffith University Dicky Budiman kepada VOI.

Banyak yang menganggap ledakan kasus hari ini sebagai dampak dari pergerakan manusia di musim Lebaran. Mungkin saja. Versi lain menyebut varian baru COVID-19 Delta jadi biang kerok ledakan kasus. Bisa jadi. Tapi ada masalah lain yang lebih gawat.

Salah satu titik penyekatan PPKM Darurat (Sumber: Antara)

Ledakan kasus hari ini bisa jadi lebih luas sebagai akumulasi dari kesalahan-kesalahan penanganan pandemi oleh pemerintah selama satu tahun. "Saya pernah memprediksi di awal tahun bahwa dalam enam bulan pertama 2021 ini kita akan mengalami masa yang sangat kritis," kata Dicky.

"Karena kritis tiga bulan pertama itu adalah respons untuk mencegah. Karena gelombang ini kan akan meningkat menuju puncak. Dan itu adalah akumulasi satu tahun. Jadi bisa diprediksi titik jenuhnya akan tercapai di Juni-Juli. Itu ancer-ancernya," tambahnya.

Kita perlu kembali ke April 2020 untuk mendalami logika pemodelan Dicky. Saat itu World Health Organization (WHO) menetapkan situasi pandemi COVID-19 Indonesia telah mencapai level community transmission. Itu adalah sirine paling buruk dalam perlawanan terhadap pandemi.

Dalam level community transmission, otoritas --negara, kota atau negara bagian-- idealnya menetapkan lockdown total. Fiji, Brisbane, hingga Gaza menerapkan lockdown total ketika mereka menyentuh level itu. Indonesia, apa yang dilakukan pemerintah?

Ada yang kendur dari sisi kebijakan pemerintah. Dicky menyinggung tiga strategi dasar penanganan pandemi --3T (testing, tracing, treatment), vaksinasi, dan pembatasan mobilitas-- yang tak berjalan baik. Itu terlihat dari pemodelan menunjukkan panjangnya gelombang COVID-19 di Indonesia. 

"Lalu respons pemerintahnya makin bagus, kuat, puncaknya itu cepat tercapai, cepat landai. Yang bagus begitu. Jadi kalau ada satu negara gelombangnya panjang, lama, itu berarti enggak berhasil intervensinya."

"Indonesia kan dalam level community transmition sudah sejak April 2020 sampai sekarang. Artinya kan banyak kasus infeksi dan klaster ini enggak terdeteksi sehingga terus berkembang, beranak pinak si kasus ini."

Tuntutan maaf dari Jokowi dan DPR yang lebih evaluatif

Presiden Jokowi (Instagram/@jokowi)

Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Aisah Putri Budiarti menjelaskan ada konsekuensi politis yang harus ditanggung pemerintah dari permintaan maaf. Yang paling sederhana, meminta maaf berarti mengakui kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan.

"Menurut saya kalau mereka kemudian melakukan permintaan maaf ya menunjukkan memang ada kekeliruan terkait penanganan COVID," tutur Aisah Putri alias Puput kepada VOI, Senin, 12 Juli.

"Rumah sakit, tenaga medis. Satgas COVID mungkin sudah berusaha maksimal. Tapi kan kebijakannya lambat yang kemudian jadi koreksi bersama," tambah Puput.

Memang, permintaan maaf penting. Tapi jika ada hal lain yang lebih konkret adalah mendorong penguatan evaluasi. Fungsi parlemen harus dikuatkan. Di luar konteks komposisi politis oposisi dan koalisi, situasi yang kian gawat ini harus disikapi dengan kesadaran krisis.

Jika Jokowi mengatakan semua harus berkolaborasi, hal itu harus dimulai dari para pejabat, baik eksekutif maupun legislatif. Semua harus menyingkirkan kepentingan politik praktis untuk menyelesaikan persoalan bersama. Pemerintah harus terus diawasi. Kerja-kerja mereka wajib dievaluasi.

Selama ini Puput memandang kritisme hanya datang dari kelompok masyarakat sipil. Peran mereka penting sebagai pemberi masukan. Tapi fungsi evaluasi dan pengawasan yang formal tetap ada di tangan parlemen. "Parlemen punya fungsi melakukan pengawasan kerja eksekutif," Puput.

"Nah di situ sebenarnya celah untuk mengevaluasi. Dan sebagai perwakilan publik partai politik sebenarnya punya peran untuk melihat sejauh mana sih kerja para pejabat di eksekutif itu efektif untuk mengatasi problem-problem di ruang publik," tambah dia.

*Baca Informasi lain soal COVID-19 atau baca tulisan menarik lain dari Diah Ayu Wardani dan Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya