Yang Legal Belum Tentu Baik: Menyoal Masuknya TKA China dan Aturan yang Melegalisasinya
Ilustrasi foto (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Sekitar 20 warga negara asing (WNA) asal China terpantau masuk Indonesia di tengah PPKM Darurat. Menko Marves Luhut Binsar menjelaskan perjalanan para WNA itu legal. Luhut benar soal legalitas. Tapi apa semua yang legal sudah pasti baik dan selaras dengan kepentingan masyarakat?

Luhut mengatakan pemerintah tak bisa melarang semua WNA masuk ke Indonesia. Luhut menunjuk negara lain, yang menurutnya juga melakukan hal sama. Tak ada yang aneh, kata Luhut seraya meminta orang lain tak asal bicara soal masalah ini.

"Sebenarnya enggak ada yang aneh. Kalau ada yang asal ngomong, enggak ngerti masalah, jangan terlalu cepat ngomong. Kita kan mesti memperlakukan sama dengan apa yang dunia lain lakukan, begitu. Kita harus lakukan begitu. Bernegara itu enggak bisa lo mau, gue enggak mau. Enggak bisa begitu," tutur Luhut dalam konferensi pers virtual, Selasa, 6 Juli.

Kata Luhut, skema perjalanan WNA itu telah diatur dalam Adendum SE Satgas Nomor 8 Tahun 2021. Dalam adendum itu pemerintah merinci aturan dan persyaratan perjalanan WNI dan WNA dari luar negeri ke Indonesia. Apa isi Adendum SE Satgas 8/2021 itu?

Luhut yang memimpin pelaksanaan PPKM Darurat juga menjelaskan para WNA masuk lewat skema Travel Corridor Arangement (TCA). TCA adalah skema di bawah payung bilateral yang memungkinkan perjalanan warga dari satu negara ke negara lain dalam situasi khusus, dalam konteks ini pandemi.

Tentang Adendum Satgas dan TCA

Ilustrasi foto (Sumber: Antara)

Dalam artikel BERNAS berjudul Kata Luhut Masuknya WNA China Legal Sesuai Adendum Satgas dan TCA, Apa Isi Aturan Itu? telah dijabarkan isi lengkap dari adendum yang dimaksud. Artikel itu juga menyinggung penjelasan singkat dan prinsip dasar TCA.

Pada dasarnya Adendum SE Satgas 8/2021 itu diterbitkan sebagai adaptasi kebijakan perjalanan luar negeri seiring meningkatnya sebaran virus corona varian baru --Alpha, Beta, Delta, dan Gamma-- di Tanah Air. Adendum ini ditandatangani pada Minggu, 4 Juli dan berlaku efektif per Selasa, 6 Juli.

Ketua Satgas Penanganan COVID-19 Ganip Warsito mengatakan Adendum Satgas 8/2021 adalah bukti respons cepat pemerintah memproteksi masyarakat dari imported case. Adendum ini memuat beberapa perubahan seiring berlakunya kebijakan PPKM Darurat.

Yang paling mendasar adalah penambahan masa karantina pelaku perjalanan internasional, dari 5x24 jam menjadi 8x24 jam. Dikutip dari situs web resmi Sekretariat Kabinet (Setkab), Adendum 8/2021 juga mewajibkan pelaku perjalanan membawa serta sertifikat vaksinasi.

Lalu, TCA adalah skema khusus yang mengatur perjalanan antar-warga negara via jalur diplomasi. TCA dirancang untuk keperluan esensial perjalanan bisnis. Indonesia sejauh ini sudah menyepakati TCA dengan empat negara, yakni Korea Selatan, Singapura, Uni Emirat Arab, dan China.

"Kalau TCA itu essential travel disebutnya. Mereka yang melakukan kunjungan bisnis, investasi, perdagangan, dan lain-lain disebutnya essential travel. Travel dengan diberikan semacam peraturan khusus," tutur Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah kepada VOI, Rabu, 7 Juli.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Fazasyah (Sumber: Wikimedia Commons)

Meski sudah disepakati, Teuku mengatakan belum ada aturan-aturan rinci dalam TCA yang diberlakukan. Saat ini Indonesia dan keempat negara masih saling mengamati perkembangan COVID-19 di masing-masing negara. "Memang belum ada pengaturan lebih lanjut."

"Tapi tentunya empat negara tersebut mengamati perkembangan COVID-19 di masing-masing negara dan mereka menerapkan pembatasan kunjungan kalau kita cermati. Namun esensinya TCA itu sendiri belum ditetapkan. Ada. Hanya saja pengaturannya menyesuaikan ketentuan-ketentuan dalam surat edaran."

"Ketentuan dalam surat edaran tentunya menjadi perhatian. Tetapi dengan adanya travel corridor, setidaknya ada pengaturan tersendiri bagaimana kita memfasilitasi kunjungan dalam arti untuk bisnis dan untuk investasi dan lain-lain. Itu coba dicarikan semacam untuk memberikan fasilitasi intinya."

Masih merujuk keterangan Teuku, pemerintah tak menetapkan batas waktu dalam kesepakatan TCA bersama empat negara di atas. Dengan kata lain, kita harus siap dengan kedatangan WNA lain di masa mendatang, termasuk di tengah pembatasan-pembatasan PPKM Darurat ini.

"Tidak ada, ya (batas waktu). Tapi ini dengan Singapura juga belum diberlakukan. Sudah sepakat tapi belum diberlakukan. Bisa dibayangkan ini seperti travel bubble, ya."

Legal tak tentu baik

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menyebut pemerintah melewatkan konteks etik dalam keputusan membuka pintu masuk negara bagi WNA. Legal, memang. Tapi belum tentu baik dan selaras dengan kepentingan masyarakat.

"Betul itu. (Kebijakan) bisa saja legal. Artinya sesuai tidak dengan kepentingan publik? Ini bisa dijelaskan bahwa pemerintah melewatkan hal-hal etik," tutur Trubus kepada VOI, Rabu, 7 Juli.

Kebijakan publik idealnya mengedepankan apa-apa yang menjadi kepentingan masyarakat. Dari situlah kemudian rancangan legalitas kebijakan disusun. Bukan sebaliknya: memaksa masyarakat memahami dan menerima kebijakan yang berlawanan dengan kepentingan publik.

"Kalau konteks hukum itu kan kita bicara benar salah. Nah kalau etik itu kita bicara baik atau tidak," tambah dia.

Memang, kebijakan publik tak boleh mendiskriminasi para WNA itu juga. Tapi ada situasi khusus di mana pemerintah perlu membuat prioritas-prioritas tertentu. Termasuk saat ini ketika kasus COVID-19 --termasuk oleh sejumlah varian baru, termasuk Delta-- sedang tinggi.

"Pemerintah harus melindungi masyarakat Indonesia dari kasus impor. Itu dulu. Potensi perburukan itu akan selalu ada," kata epidemiolog Griffith University kepada VOI, Rabu, 7 Juli.

"Kasus impor dengan varian Delta atau varian lain yang bisa memperberat situasi di dalam negeri. Ya, memang kalau tidak kritis memang tidak menuntut ditutup gitu, ya," tambah Dicky.

Dicky juga mengkritisi ketentuan dalam Adendum Satgas 8/2021 yang mengatur karantina hanya 8x24 jam. Itu jauh dari ideal. Jangankan delapan hari. 14 hari sebagaimana standar baku karantina COVID-19 yang jadi patokan dunia saja tak cukup dalam konteks kritis hari ini di Indonesia.

"Kemudian juga ketika kita menerapkan pintu masuk dibuka dengan kriteria yang diperketat, standarnya itu mau tidak mau bukan cuma 14 hari saja tapi 14 plus tujuh hari untuk yang positif PCR," tutur Dicky.

Dan sertifikasi vaksinasi yang juga sebagai syarat dalam Adendum Satgas 8/2021 menurut Dicky harus dibuat spesifik. Vaksinnya harus merek tertentu yang terbukti ampuh terhadap Delta dan varian-varian baru lain.

"Vaksinasinya harus tertentu, di antara lain mRNA, Johnson n Johnson atau Astrazeneca. Tapi kalau dengan yang vaksin lain harus 14 hari walaupun PCR-nya negatif plus kalau dia PCR-nya positif apalagi dengan varian Delta, harus 21 hari. Itu protokolnya," kata Dicky.

"Jangan sampai kita mengulang kesalahan sebelumnya yang hanya lima hari dan itu berlangsung berbulan-bulan yang akhirnya kita menerima akibatnya seperti saat ini," tambah dia.

Lebih lanjut, Dicky menjelaskan ada kombinasi empat strategi yang harus dilakukan untuk menangani perluasan sebaran COVID-19 di dalam negeri. Dan pembatasan jadi salah satunya.

"Harus perkuat 3T. Sesuai yang ada di PPKM itu kan standar saja 500 ribu per hari. Perkuat vaksinasi setidaknya 50 persen dari total populasi. Lalu pembatasan," tutur Dicky.

"Kalau bicara pembatasan itu tidak bisa hanya di dalam tapi juga pintu masuk negara. Jadi ini yang harus kita perbaiki sesuai dengan kondisi kita. Nanti ketika masa kritisnya berakhir kan bisa diatur lagi."

*Baca Informasi lain soal COVID-19 atau baca tulisan menarik lain dari Diah Ayu Wardani dan Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya