Bagikan:

JAKARTA - Peringatan hari kemerdekaan ke-75 tahun Indonesia, tahun ini harus dilakukan di tengah kondisi yang tidak biasa. Pandemi COVID-19 belum surut menyerang dunia, termasuk Indonesia sejak awal tahun lalu. Penanganan pandemi menjadi kunci pemulihan ekonomi nasional.

Ekonom senior Institute for Development Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini mengatakan, kebijakan yang diambil pemerintah gagal dalam mengendalikan pandemi. Dia menilai, Indonesia saat ini belum merdeka dari pandemi.

"Refleksi terhadap kebijakan pemerintah utamanya pandemi memperlihatkan bahwa kita belum merdeka dari pandemi, yang menyerang rakyat dan bangsa ini. Refleksi kemerdekaan pada saat ini dengan perenungan lepas dan lebih mendalam menunjukkan bahwa pemerintah telah gagal mengendalikan pandemi," katanya, dalam keterangan tertulis yang diterima VOI, Senin, 17 Agustus.

Didik mengatakan, gagalnya pengendalian pandemi ini karena kebijakan yang diambil sejak awal lemah dan tidak menunjukkan niat dan implementasi yang kuat mengatasi COVID-19. Alih-alih menekan penyebaran virus, kebijakan pemerintah justru hanya membuat zona merah makin banyak di Indonesia.

Lebih lanjut, Didik mengatakan, kasus penyebaran dan masyarakat yang terjangkit COVID-19 terus meningkat dari waktu ke waktu sebagai pertanda kegagalan kebijakan mengatasi masalah pokok ini.

"Sejak awal pemerintah memberikan signal kebijakan membingungkan dan kacau sehingga disiplin dan barisan rakyat lengah. Akhirnya kebijakan mengatasi pandemi gagal, nasi sudah menjadi bubur, seperti terlihat perbandingan kasus harian yang terjangkit COVID-19 di Indonesia," tuturnya.

Kebijakan Penanganan COVID-19 Sangat Buruk

Didik mengatakan, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah salah langkah dan tidak efektif. Sebab, sejak awal fokus pemerintah justru tertuju pada sektor perekonomian, padahal sektor kesehatan adalah masalah utamanya.

"Indonesia adalah negara yang terbelakang dalam hal kebijakan pandemi ini, terbukti dari hasil kebijakan yang nihil, kasus harian terus meningkat. Justru pemerintah yang menjadi pemicu peningkatan grafik kasus harian tersebut karena mengabaikan kontrol, kebijakan PSBB lemah, anggaran kesehatan tidak memadai, test COVID-19 sejak awal sedikit, prioritas di lapangan lebih pada ekonomi," ucapnya.

Bahkan, kata Didik, negara tetangga di ASEAN seperti Malaysia, Thailand, Vietnam dan banyak negara lainnya sudah mampu mengendalikan masalah pokok COVID-19 ini.

"Kebijakan mengatasi Pandemi di Indonesia dibandingkan dengan Negara Negara tersebut terlihat sangat buruk, seperti pada grafik di bawah ini," jelasnya.

Pemerintah Tak Akui Kegagalan Penanganan COVID-19

Menurut Didik, dengan penambahan kasus positif baru per hari yang tinggi, pemerintah enggan introspeksi diri. Alih-alih mengakui kegagalan penanganan COVID-19, pemerintah justru tidak ada perasaan bersalah dan naif.

"Kebijakan tidak berubah, tetap seperti biasanya sehingga tidak ada tanda-tanda kasus harian COVID-19 akan menurun. Dengan kegagalan yang kasat mata dalam kebijakan mengatasi pandemi ini, maka pemerintah selayaknya meminta maaf kepada rakyat Indonesia," tuturnya.

Didik menilai, pemerintah terus menerus berkata kebijakan yang diambil sudah pada jalur yang benar dan kondisinya lebih baik daripada negara lain.

"Pidato kenegaraan presiden tidak memperhatikan aspek kegagalan ini dan masih menganggap kebijakan pemerintah berada pada jalur yang benar (on the right track), sudah dianggap efektif berhasil, lebih hebat pertumbuhannya dibandingkan Singapura, Vietnam dan lainnya," katanya.

Abaikan Kesehatan Pentingkan Ekonomi

Didik mengatakan, pemerintah terlalu mementingkan perekonomian. Hal ini terbukti dengan dana pemulihan ekonomi yang melebihi dana kesehatan. Padahal permasalahan ekonomi yang timbul saat ini adalah dampak dari kesehatan.

"Sumber masalah pokok dari ekonomi tidak bisa dikendalikan karena pemerintah mengabaikan kebijakan kendali pandemi COVID-19 ini. Dengan keyakinan, pandemi akan beres dengan sendirinya, maka kebijakan pemerintah lebih memilih mendorong ekonomi dengan kucuran dana yang jauh melebihi anggaran kesehatan," katanya.

Strategi kebijakan ini, kata Didik, seperti mengisi ember bocor karena masalah dasar kebocorannya justru tidak diatasi dengan baik. "Pilihan kebijakan ini terjadi karena pengaruh bisikan yang tidak bertganggung jawab dengan mengabaikan pilihan kebijakan yang rasional," tuturnya.

Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi yang Tak Rasional

Didik mengatakan, pemerintah terlalu optimis dalam memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di tahun depan. Angka prediksi sebesar pertumbuhan ekonomi 5,5 persen, dinilai Didik tak rasional.

"Pemerintah memprediksikan pertumbuhan ekonomi tahun depan bahkan bias mencapai 5,5 persen. Angka patokan ini diambil dari mimpi yang tidak rasional karena tidak mungkin dicapai dengan kondisi ember bocor seperti sekarang ini," katanya.

Menurut Didik, kasus COVID-19 di Indonesia sama seperti yang dialami Filipina dan kasusnya belum kunjung surut. Di tengah krisis akibat pandemi, kata Didik, kebijakan yang diambil pemerintah justru memperlihatkan ketidakpastian.

"Kebijakan yang tidak sistematis, serabutan seperti ini memperlihatkan ketidakpastian, kapan kasus COVID-19 di Indonesia akan melandai," jelasnya.

Limpahkan Beban Penanganan COVID-19 pada Daerah

Kata Didik, sejak awal pemerintah pusat menyerahkan kebijakan dan implementasi pengendalian COVID-19, PSBB atau pelonggaran PSBB lebih banyak diserahkan kepada pemerintah daerah.

"Pemerintah pusat hanya memberi atau tidak memberi persetujuan PSBB kepada pemerintah daerah. Padahal, pemerintah daerah mempunyai sumber daya dan dana yang sangat terbatas," tuturnya.

Didik mengatakan, anggaran DAU dan DAK pada umumnya 80-90 persen habis untuk rutin. Dana ini, secara sembrono bahkan oleh Satgas diakui juga sebagai dana dalam rangka COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

"Peranan pemerintah pusat yang kecil di lapangan adalah sumber kegagalan dalam kebijakan mengatasi pandemi COVID-19 ini, seperti terlihatg pada kasus harian terjangkit COVID-19 yang terus meningkat," katanya.