Sudah Benar Laporan Kritik Greenpeace kepada Jokowi Dicabut: Sudahi Politik Cari Muka yang Merusak Demokrasi
Aksi damai Greenpeace (Foto: greenpeace.org)

Bagikan:

JAKARTA - Ketua Cyber Indonesia Husin Shahab mencabut laporannya kepada Ketua Greenpeace Leonard Simanjuntak dan Kiki Taufik yang mengkritik pidato Presiden Joko Widodo di KTT COP 26, Glasgow. Pencabutan laporan ini terjadi setelah ramai diperbincangkan banyak pihak. Pertanyaannya, mengapa laporan yang malah bisa membuat pemerintah terkesan anti-kritik ini masih kerap terjadi?

Pencabutan laporan itu diumumkan pihak Polda Metro Jaya 15 November tadi. "Baru saja saya terima dari pelapor dan setelah diskusi akhirnya laporan polisi yang dibuat dicabut," ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Tubagus Ade Hidayat.

Ada beberapa alasan mengapa laporan itu dicabut. Salah satunya lantaran pihak pelapor tak ingin persoalan tersebut dipolitisir beberapa pihak. "Alasannya salah satunya tentang beliau tidak mau ini dipolitisir ini dianggap bentuk pemerintah anti kritik."

Meski perkara sudah dicabut, Tubagus menjelaskan masalah ini bakal diselesaikan dengan jalur lain. "Nanti dibahas dikasi melalui mimbar akademis," kata Tubagus.

Sekadar informasi, pelaporan ini berawal ketika Husin Shahab merasa dirugikan atas pernyataan Greenpeace Indonesia yang mengkritik pidato Presiden Jokowi soal deforestasi di KTT COP 26, Glasgow. Greenpeace dianggap telah membuat berita bohong yang menimbulkan keonaran dan perbuatan menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan.

Presiden Joko Widodo (Foto: Sekretariat Kabinet RI)

Gagal paham

Sebelumnya, Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak sempat mengaku gagal paham atas laporan Ketua Cyber Indonesia Husin Shahab. Kata Leonard dalam sebuah negara demokrasi, perbedaan pendapat adalah niscaya.

"Perdebatan seperti itu biasa dan harus terjadi pada demokrasi yang sehat... bukan melaporkan ke polisi jika pandangan berbeda. Jadi ini yang melapor gagal paham," kata Leonard kepada Suara.

Padahal menurut Leonard kritik Greenpeace ke pemerintah khususnya ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tentang kondisi lingkungan Indonesia disambut dengan debat yang sehat. Ia mengatakan petinggi KLHK sudah membuka pintu untuk berdebat, tinggal mencari waktu saja.

Lantas, kalau KLHK saja terbuka dengan diskusi, Leonard mempertanyakan kepentingan pelapor yang mengadukan Greenpeace ke polisi dengan UU ITE. "Kalau demokrasi kita tidak memberikan ruang ini dan dikriminalisasi terus menerus, mau ke mana kita?" ujar Leonard.

Pihak Greenpeace sendiri memastikan kritik dan analisisnya terhadap pidato Presiden Jokowi di KTT tentang perubahan iklim COP 26 di Glasgow bukan tanpa data. "Yang kami sampaikan bukan kebohongan, kami menyampaikan berdasarkan data yang valid, data KLHK sendiri."

Aksi damai Greenpeace (Foto: greenpeace.org)

Merusak demokrasi

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komaruddin menilai, bisa jadi laporan yang dibuat Ketua Cyber Indonesia ini hanya untuk mencari perhatian presiden.

"Itu mungkin saja terjadi. Bisa saja ingin cari muka ke presiden," kata Ujang kepada VOI.

Selain itu, menurut Ujang, pelaporan ini juga merupakan bentuk pembungkaman kepada pengkritik. Tujuannya, supaya Greenpeace kapok dan tak lagi berani mengkritik presiden.

"Bisa saja motif politiknya agar Greenpeace kapok dan tak berani mengkritik presiden lagi. Itu fenomena pembungkaman bagi para pengkritik," ujar Ujang.

Kalau hal ini terus terjadi menurut Ujang bukan tidak mungkin iklim demokrasi di Indonesia semakin rusak, tak bermartabat, dan hanya berpihak pada orang yang berkuasa. "Karena kebebasan berpendapat sengaja dibungkam melalui cara-cara pelaporan itu."

Peristiwa pihak yang dilaporkan ke polisi lantaran mengkritik pemerintah memang kerap terjadi. Mereka menimpa siapa saja. Bukan cuma aktivis dan mahasiswa tapi jurnalis yang sudah punya nama. Salah satunya adalah Jurnalis Najwa Shihab.

Sekitar Oktober tahun lalu, Relawan Jokowi Bersatu melaporkan Najwa Shihab karena mewawancarai 'bangku kosong' yang seolah-olah Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Menurut Ketua Umum Relawan Jokowi Bersatu,  Silvia Devi Soembarto yang dikutip Detik, aksi tersebut merupakan tindakan cyber bullying.

Silvia juga mengatakan pihaknya tergerak untuk melaporkan Nana, sapaan Najwa Shihab, karena Menteri Kesehatan saat itu, Terawan, adalah representasi Presiden Joko Widodo. "Cyber bullying karena narasumber tidak hadir kemudian diwawancarai dan dijadikan parodi. Parodi itu suatu tindakan yang tidak boleh dilakukan kepada pejabat negara, khususnya menteri," kata Silvia

Selain Najwa, jurnalis lain yang pernah dilaporkan ke polisi lantaran melontarkan kritik adalah Dandhy Laksono. Pada 2017, Dandhy pernah dilaporkan Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) karena tulisan yang diunggah ke akun Facebook. Tulisan itu dianggap menghina Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

*Baca Informasi lain tentang POLITIK atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya