Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyinggung masyarakat Indonesia yang ia sebut inlander karena 'kelewat tunduk pada bule'. Padahal beberapa hari lalu Pak Jokowi juga yang curhat sedih karena negara lain menghormati Indonesia, sementara masyarakat Indonesia sendiri mengerdilkan negaranya. Kenapa sikap kita terhadap negara harus diperbandingkan dengan pandangan negara lain? Selain tak relevan. Bukankah itu sifat inferioritas?

“Saya tidak ingin mental Inferior, mental inlander, mental terjajah ini masih ada, masih bercokol di dalam mentalitas bangsa kita,” kata Jokowi saat memberi sambutan dalam HUT kesepuluh Partai Nasdem.

“Ketemu bule saja kayak ketemu siapa, gitu. Sedih kita. Kita kadang-kadang terlalu mendongak kayak gini. Wong sama sama makan nasi juga,” tuturnya sambil bergesture.

Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Achmad Siswanto melihat ini sebagai pernyataan yang patut diapresiasi. Jokowi benar. Kita terlalu lama dikurung perasaan minder pada bangsa asing. Ya, walaupun tidak tiba-tiba. Ini adalah gejala sosial yang terbentuk sebagai warisan sejarah.

Presiden Joko Widodo (Instagram/@jokowi)

"Pernyataan Presiden ini patut kita apresiasi. Paling tidak ada upaya menyejajarkan pengalaman sejarah kita yang pernah dimaknai inlander oleh penjajah Belanda," kata Siswanto kepada VOI, Jumat, 12 November.

Dan mental inlander yang erat dengan sifat inferioritas ini adalah gejala yang dipelihara secara sadar dan terpelihara secara tak sadar. Jokowi mengajak kita melihat dalam kerangka berpikir orientalisme agar bangkit dari perasaan rendah itu.

"Saya rasa ini pernyataan ini ada kaitannya juga dengan kerangka berpikir orientalisme. Kenapa kondisi inlander ini lestari sampai hari ini."

"Dalam kerangka berpikir orientalisme itu bisa kita pahami ini kan dilestarikan. Bagaimana Barat menempatkan Timur. Apa yang baik dianggap Barat, harus dianggap baik oleh Timur. Itu kan kerangka berpikir orientalisme."

Warisan sejarah

Ilustrasi (Sumber: Wikimedia Commons)

Dalam perbincangan sehari-hari, kata pribumi bukanlah suatu istilah baru. Kata pribumi merasuk layaknya sebuah warisan kolonial rasis yang tetap lestari hingga hari ini. Sejarah mencatat kelahiran kata pribumi dari rahim penjajahan Belanda.

Kala itu kompeni membuat kasta yang berwujud klasifikasi rasial penduduk di Hindia-Belanda. Sekilas, bentukannya tak seperti sistem kasta yang ada di agama Hindu. Kompeni membaginya ke dalam tiga tingkatan sesuai dengan Undang-Undang Kolonial 1854.

Sebagaimana diungkap Sejarawan JJ Rizal, isi UU itu menetapkan warga negara Hindia-Belanda nomor satu adalah kalangan Europeanen atau orang-orang kulit putih Eropa. Warga negara nomor dua milik Kalangan Vreemde Oosterlingen –Timur Asing— yang meliputi orang China, Arab, India, maupun non Eropa lainnya. Dan warga negara nomor tiga adalah inlander. Pribumi sendiri, yang mana di dalamnya termasuk pula masyarakat lokal, terutama yang beragama Islam.

Sebagaimana dijelaskan dalam artikel MEMORI berjudul Asal-Usul Kata Pribumi dan Mentalitas Inlander, dijelaskan bahwa kamus Merriam-Webster mencatat kata inlander sebagai istilah yang telah digunakan sejak tahun 1610. Berdasarkan kamus, istilah inlander terdiri dalam dua unsur, yaitu inland dan imbuhan –er yang bermakna “orang yang tinggal di inland.”

Sedangkan inland sendiri diartikan sebagai suatu wilayah yang mungkin semacam dusun atau kampung. Maka jadi wajar Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun menyerap kata inlander sebagai sebutan ejekan bagi penduduk asli di Indonesia oleh orang Belanda pada masa penjajahan. Buktinya, dapat melirik ke zaman awal Belanda menaklukkan Jayakarta dan mengganti menjadi Batavia pada 1619.

“Gubernur Jenderal VOC (1619-1623 dan 1627-1629), Jan Pieterszoon Coen sangat menyenangi orang Cina, yang dinilai rajin, tidak kenal lelah, dan sangat terampil. Dan, ia menganggap rendah pribumi, yang dikatakannya malas, tak mudah diatur, dan tidak dapat dipercaya,” ungkap Alwi Shahab dalam buku Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe (2002).

Boleh jadi pendapat Coen terkait pribumi adalah yang paling dikenal. Namun jauh sebelum Coen, pandangan yang merendahkan orang Indonesia sudah dimulai pada dekade pertama abad ke-17. Bernard H.M Vlekke dalam buku Nusantara (1961) mengungkap seorang penjelajah Inggris bernama Edmund Scott banyak menulis pengamatannya pada penduduk lokal di Banten pada 1603-1665. Dalam catatannya, Scott menyamaratakan orang Indonesia malas-malas.

“Mereka semua miskin, karena mereka punya banyak budak yang bahkan lebih malas daripada tuan mereka, dan yang makan lebih cepat daripada pertumbuhan lada dan beras mereka."

Meski telah memahami sebutan inlander adalah ejekan, anehnya sebagian orang tetap menganggap bangsa Belanda dan Eropa sebagai bangsa yang berkelas dan hebat daripada bangsa Indonesia. Setali dengan itu, sebagian orang Indonesia turut beramai-ramai ingin bekerja seperti Belanda, sekolah seperti Belanda, dan berbahasa seperti Belanda.

Tak heran, muncul lah yang namanya mentalitas inlander. Mengutip Mustakim dalam tulisan berjudul Inlander (2019) di Majalah Tempo, dijelaskan mentalitas inlader ialah kalimat yang tepat dalam mendeskripsikan kondisi orang Indonesia yang terlalu mendewakan bangsa Belanda, sehingga mereka ingin mencoba mensejajarkan diri dengan hidup ala Eropa.

“Dari situlah tampaknya mulai muncul bibit-bibit inferioritas, muncul sikap rendah diri, atau muncul mentalitas inlander, kehilangan rasa percaya diri sebagai suatu bangsa yang bermartabat. Sikap tersebut kemudian merasuk dalam diri sebagian besar bangsa Indonesia sebagai bangsa jajahan. Sikap rendah diri semacam itu lalu terwarisi dari generasi ke generasi hingga saat ini.”

Sikap inferior Presiden Jokowi

Presiden Jokowi dan Presiden AS Joe Biden (Sumber: BPMI Setpres/Laily RE)

Sampai sini, semua benar-benar saja. Asupan semangat Presiden Jokowi bisa kita serap sebagai energi positif. Tapi, jika mengingat beberapa hari lalu, Jokowi baru saja menunjukkan inferioritasnya.

Ia mengaku sedih, ketika dunia internasional menghargai Indonesia, justru banyak masyarakat yang mengerdilkan negara. Pernyataan Jokowi membandingkan persepsi bangsa lain dengan pandangan masyarakat terhadap negaranya sendiri dianggap tak relevan.

Bangsa lain, bagaimanapun tidak mengalami proses realitas sosial yang terjadi. Sementara, masyarakat, sikap dan pandangannya terhadap negara tumbuh dari realitas sosial. Dan itu terjadi secara organik.

Selain tak relevan, Jokowi yang hari ini ingin kita membuang mental inlander sejatinya baru saja memertontonkan mentalitas inlandernya sendiri. Pemikiran Jokowi dinilai inferior. Kenapa persepsi bangsa lain lebih penting daripada pandangan warga negara sendiri?

"Kalau kita terjemahkan statement Presiden, pada satu sisi dia berupaya menyubsidi kepercayaan diri publik. Tapi pada sisi lain Presiden juga masuk ke dalam pembacaan dominan pemikiran Barat itu sendiri. Dia melihat Indonesia dari sisi kacamata Barat juga. Eksternalnya."

"Jadi ada dua hal jika kita melihat gejala tersebut dalam kerangka orientalisme. Jadi di satu sisi Presiden ingin warganya punya kepercayaan diri, tapi pada sisi lain dia juga melakukan penilaian pada sudut pandang internasional juga."

*Baca Informasi lain soal SOSIAL atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada dan Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya