Bagikan:

JAKARTA - Nirina Zubir beserta keluarganya mengaku jadi korban penggelapan aset lahan dan bangunan. Kasus ini melibatkan pembantu alias asisten rumah tangganya (ART) sendiri. Kasus Nirina mengangkat fenomena sosiologis menyangkut relasi hubungan majikan dan ART.

Nirina, dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, Rabu, 17 November menjelaskan kasus bermula ketika sang ibu merasa kehilangan surat. "Jadi minta tolong kepada asisten rumah tangga untuk diurus suratnya. Namun alih-alih diurus, surat tersebut disalahgunakan dengan mengubah nama kepemilikan," tutur Nirina, dikutip CNN Indonesia.

Menurut Nirina kasus yang melibatkan mafia tanah ini telah terjadi sejak 2017. Ada dua sertifikat tanah serta empat sertifikat tanah dan bangunan yang telah dipindah nama. Akibatnya Nirina dan keluarga mengalami kerugian hingga Rp17 miliar.

Nirina menjelaskan ada tiga orang pejabat pembuat akta tanah (PPAT) yang membantu ART-nya, Riri Khasmita dalam proses alih nama atas properti yang terletak di Jakarta Barat itu. Dua sertifikat tanah milik ibunda Nirina kini telah dijual ke pihak ketiga.

Sementara empat aset bangunan telah digadaikan Riri ke bank. Kata Nirina uang hasil penggelapan itu digunakan untuk mengelola bisnis makanan beku oleh Riri. Bisnis itu telah berjalan selama beberapa tahun dan kini telah memiliki lima cabang.

Relasi pembantu dan majikan

Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Achmad Siswanto mengangkat sudut pandang menarik dari kasus penggelapan aset Nirina Zubir oleh pembantunya. Siswanto memandang hal ini hanya mungkin terjadi ketika majikan dan pembantu saling membangun kedekatan intim di luar relasi kuasa. Dan ini banyak terjadi dalam konteks kehidupan masyarakat perkotaan.

"Di level sosiologi mikro, pembantu atau ART yang bekerja di rumah Nirina Zubir ini punya intensitas interaksi sosial dan relasi sosial yang kuat. Pada sisi lain si ART ini juga punya skill membangun interaksi dan relasi itu dengan baik," tutur Siswanto kepada VOI, Jumat, 19 November.

"Ini implikasi dari kenyamanan yang diberikan di rumah ibu Nirina itu sendiri. Kan tentunya kalau ART ini disuruh sampai ngurus tanah dan hal-hal yang sifatnya harusnya dilakukan sama keluarga inti, artinya sudah lama ini ART ini. Dan kebertahanannya pasti karena rumah itu memberikan kenyamanan. Ada satu hubungan kekeluargaan yang dibangun dalam relasi majikan dan ART itu."

Kami mencoba mengonfirmasi perihal relasi ini kepada keluarga dan kuasa hukum Nirina. Namun hingga artikel ini ditulis, belum ada jawaban.

Nirina Zubir dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya (Rizky Adytia/VOI)

Keluar konteks kasus Nirina, Rey Sitompul (24) menggambarkan singkat hubungannya dengan pembantu di rumah. "Hubungan gue sama Mbak, gue pembantu. Si Mbak majikan," cetusnya kepada VOI, Jumat, 19 November.

Di rumah, Rey tinggal bertiga bersama kakak laki-laki dan sang pembantu. Kesibukannya dan sang kakak membuat mereka jarang di rumah. Sang pembantu diberikan kebebasan, sejatinya. Namun dalam beberapa hal, kebebasan itu justru membuat sang pembantu tak terkontrol.

Ini mirip dengan kisah Wahyu Bisma (30) dan pembantunya di rumah. Menurut Wahyu sang pembantu memiliki ruang istimewa di tengah keluarganya. Berbeda dengan Rey, hubungan antara keluarga Wahyu dan sang pembantu tumbuh karena waktu. Sang pembantu, kata Wahyu telah bekerja setidaknya 20 tahunan.

"Lo taulah dulu zaman kecil gue yang diomelin kalau kita lewat pas dia lagi ngepel. Jadi memang udah kayak keluarga. Kadang yang pegang remot TV aja doi. Bukan nyokap," kata Wahyu kepada VOI dengan nada terkekeh.

Dita Mariana (36) membawa cerita tentang pembantunya di rumah. Dita, yang bekerja sebagai apoteker di sebuah rumah sakit swasta di Depok, Jawa Barat mengaku selalu berusaha memberi perlakuan terbaik untuk pembantunya.

Tak cuma itu. Selama hampir lima tahun ini, kata Dita, ia dan suami juga kerap membantu kebutuhan anak sang pembantu. Membuat sang pembantu nyaman dan merasa baik jadi penting, katanya. Hal ini tak lepas dari peran pembantunya yang merangkap sebagai pengasuh anak.

"Buat gue sih sederhana aja. Gue harus perlakuin Teteh (sapaan pembantunya) dengan baik karena gue mau Teteh jagain Mahir bener-bener kayak anak sendiri. Jadi Teteh harus ngerasa ini keluarganya dia juga kan." 

"Habis kalau dibayangin, gue enggak mau teteh kerja dalam kondisi yang kacau, misalnya pikirannya. Terus nanti amit-amit dia ngeluapinnya ke Mahir," tutur Dita kepada VOI, Jumat, 19 November.

Ilustrasi foto (Sumber: Pixabay)

Kembali pada kajian sosiologis, Siswanto menjelaskan konsepsi awal peran pembantu sebagai bagian yang ikut menjalankan fungsi di sebuah keluarga. Pembantu banyak memainkan peran, setidaknya dalam menangani persoalan domestik rumah tangga. Segala terkait sumur dan dapur.

"Jadi kalau kita lihat keluarga itu kan bagaikan satu organ tubuh. Kita analogikan begitu. Ada jantung. Ada paru-paru. Semua bekerja menjalankan fungsi masing-masing. Tapi ketika suami-istri bekerja, ada satu fungsi yang tidak bisa berjalan, misalnya fungsi domestiknya. Mencuci. Memasak. Dan pembantu hadir di sana," Siswanto.

Dan keterikatan antara sebuah keluarga dan seorang pembantu, sebagaimana dialami Wahyu begitu banyak terjadi, terutama di tengah keluarga perkotaan. Menurutnya, kehidupan masyarakat kota menuntut mereka dalam kesibukan. Ada ruang-ruang yang tak tersentuh, yang terisi oleh kehadiran para pembantu.

"Itu karena keluarga, terutama di perkotaan punya volume aktivitas yang tinggi. Suami-istri kerja. Berangkat pagi buta. Pulang malam hari. Kemudian domesstik (masak, cuci, beberes) tak tersentuh," tutur Siwanto.

Sementara, soal apa yang terjadi pada Dita, Siswanto menggambarkan ini sebagai simbiosis mutualisme. Hubungan informal memang penting karena posisi pembantu dalam institusi keluarga bukan cuma pekerja. Ia memainkan peran-peran yang intim dari jarak yang amat dekat dengan setiap anggota keluarga.

"Tentu, hubungan informal, hubungan keluarga, itu perlu dibangun. Harapannya majikannya dapat feedback. Dia bisa bekerja dengan baik."

Proses hukum penggelapan aset Nirina Zubir

Polda Metro Jaya (VOI)

Polisi menetapkan lima tersangka. Tiga telah ditahan. Dua lagi segera dipanggil penyidik. Kasubdit Harda Ditreskrimum Polda Metro Jaya AKBP Petrus Silalahi mengatakan salah satu tersangka yang telah ditahan adalah Riri Khasmita, mantan ART ibunda Nirina.

Riri merupakan otak dari persekongkolan mafia tanah yang menimpa Nirina dan keluarganya. Tersangka lain dalam kasus ini berprofesi sebagai notaris yang turut serta dalam proses jual-beli sertifikat tanah. 

Atas perbuatan mereka, kelima tersangka dijerat Pasal 378 KUHP dan atau Pasal 372 KUHP dan atau Pasal 263 KUHP dengan ancaman hukuman di atas lima tahun penjara. Polisi juga membuka peluang pengenaan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU).

"Kami lapis (kasus mafia tanah) dengan Undang-Undang TPPU ...Nah untuk aliran dana itu kita menduga pasti ada dong untuk usaha. Tapi kan kita harus bicara fakta ... Kami menduga (ada TPPU). Penyidik masih mempelajari," tutur Petrus.

*Baca Informasi lain soal KASUS HUKUM atau baca tulisan menarik lain dari Rizky Adytia Pramana dan Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya