Bagikan:

JAKARTA - Korea Utara secara mengejutkan telah menghancurkan kantor penghubung antar-Korea. Alhasil hubungan kedua negara itu kembali memanas, di mana Korut mengancam akan meningkatkan jumlah pasukan militernya di Zona Demilitarisasi Korea Selatan-Korea Utara. 

Adapun aksi peledakan kantor penghubung dipicu oleh kekecewaan Korea Utara pada Korea Selatan yang disebutnya gagal menangani para aktivis dan pembelot. Apalagi kelompok ini kerap mengirimkan selebaran propaganda anti-Pyongyang melintasi perbatasan. 

Dalam sebuah pernyataan di media, Korut menuduh Korsel telah merusak perjanjian 2018 dan membiarkan para aktivis dan pembelot bertingkah layaknya "anjing kampung" dan "sampah manusia". Korut juga mengatakan apa yang dilakukan oleh pembelot itu merupakan penghinaan terhadap martabat pemimpin tertinggi Korut.

"Kami melakukan ini sebagai bantuan kemanusiaan di antara mereka yang memiliki nilai yang sama, jadi apa pun yang dikatakan Korut, kami akan terus membantu mereka yang berada dalam situasi sulit, orang tua dan para korban," kata Park Jung-oh (61) mantan pengungsi Korea Utara, sebagaimana dirangkum dari Reuters, Kamsi, 18 Juni.

Sejatinya para pembelot yang dimaksud oleh pihak militer Korut merupakan mantan pengungsi dan penyintas dari Korea Utara. Bersama para aktivis kemanusiaan, mereka kerap mengirimkan bantuan makanan, obat-obatan hingga flashdisk berisikan drama dan berita Korea Selatan. 

Benda-benda itu biasanya dikirim dengan balon agar bisa melewati perbatasan yang dijaga ketat atau dimasukkan ke dalam botol dan dialirkan melalui sungai. Kelompok ini menyadari kalau aksi ini akan menimbulkan masalah. 

"Aku tidak tahu mengapa Kementerian Unifikasi mengolok-olok kita semua. Pemerintah (Korsel) - polisi Gangwha, polisi maritim dan militer - semua tahu tentang kami," kata Park, sambil menurunkan muatan beras dan botol dari truk putihnya. Dia mengatakan dia belum dihubungi oleh pihak berwenang Korsel sejak mereka mengumumkan akan melakukan tindakan hukum bagi pembelot.

Pihak berwenang Korsel sesekali bergerak untuk menghentikan operasi semacam itu, termasuk pada 2018 selama serangkaian pertemuan puncak antara Presiden Korsel Moon Jae-in dan pemimpin Korut Kim Jong-un.