Bagikan:

JAKARTA – Generasi Z mendapat label sebagai generasi paling rapuh. Kebiasaan mencari hiburan justru membuat Gen Z banyak menghabiskan uang untuk healing.

Self-healing menjadi sebuah tren di Indonesia dalam beberapa tahun ke belakang, tepatnya sejak pandemi COVID-19. Pandemi mengakibatkan banyak orang tidak bisa bebas melakukan aktivitas seperti dulu karena harus mengikuti protokol kesehatan yang ada.

Akibatnya, banyak masyarakat yang merasa stres, tertekan, depresi, frustrasi, bahkan tidak jarang menimbulkan keinginan bunuh diri.

Supaya lepas dari perasaan-perasaan negatif tersebut, mereka mulai mencoba keluar rumah dan melakukan berbagai hal menyenangkan seperti jalan-jalan, belanja, makan, serta berkumpul dengan teman-teman. Dari situasi ini lah, muncul tren baru yang dinamakan self-healing.

Gen Z juga banyak menghabiskan uang untuk konser, traveling, makan di restoran. (Unsplash/Aditya Chinchure)

Istilah self-healing sebenarnya sudah ada sejak dulu, namun digunakan sebagai metode terapi yang dilakukan oleh para psikolog dan psikiater.

Menurut Mayer (2009), kata Self diciptakan oleh Dr. Jung, memiliki arti diri yang lebih luas dari ego. Sedangkan kata healing diartikan sebagai a process of s cure atau sebuah proses penyembuhan atau pengobatan. Secara harfiah, self-healing mengandung makna penyembuhan diri.

Lalu, mengapa istilah Self-healing banyak digunakan generasi Z?

Alami Pergeseran Makna

Psikolog klinis dewasa Nago Tejema, M.Psi mengatakan kata healing mengalami pergeseran makna. Healing bukan lagi proses penyembuhan diri dari berbagai perasaan atau permasalahan dalam diri yang mengganggu.

Akhir-akhir ini healing justru dimaknai sebagai aktivitas yang dilakukan untuk menghibur diri dari tekanan yang dihadapi.

“Biasanya dengan pergi liburan ke luar kota, nongkrong di kafe, dan lainnya. Sebenarnya tidak masalah healing menjadi istilah populer, hanya saja sebaiknya kita bisa memahami perbedaannya,” kata Nago.

Seiring dengan makin populernya istilah healing, generasi Y dan Z juga dicap sebagai generasi yang lemah, tidak kuat mendapat beban sehingga selalu membutuhkan healing.

Istilah self-healing mengalami pergeseran makna sejak menjadi kata populer di kalangan Gen Z. (Unsplash/William Farlow)

Kemudian muncul perdebatan di media sosial bahwa generasi sebelumnya lebih tangguh dibandingkan generasi milenial dan Z. Menurut psikolog, hal tersebut tidak bisa diinterpretasikan sebagai kelemahan karena setiap generasi memiliki tantangan berbeda.

Terkait perdebatan soal siapa yang memiliki mental lebih tangguh, sebenarnya ini disebabkan oleh kesadaran soal mental health yang mengalami perkembangan dalam dua hingga tiga tahun terakhir, khususnya di kalangan anak muda. Generasi Y dan Z cenderung lebih cepat tahu ketika mereka mengalami masalah mental. 

Menurut Nago, hal ini terjadi berkat kemajuan teknologi dan penyebaran informasi yang pesat. Terutama bagi Gen Z, sebagai generasi yang dekat dengan teknologi digital, sehingga mereka akan menjadi orang pertama yang mendapatkan informasi dan menyadari apabila ada yang tidak beres pada diri mereka.

“Sebenarnya permasalahan gangguan mental pasti ada dari generasi ke generasi, hanya saja bentuk dan tingkat awareness tiap generasi berbeda. Berdasarkan berbagai temuan artikel dan penelitian, gen Z memang dinilai lebih mungkin untuk menyampaikan keluhan akan permasalahan mental yang dimiliki.”

Kemampuan Menabung Rendah

Namun, kesadaran generasi milinelial dan Z terhadap kesehatan mental tidak dibarengi dengan literasi finansial yang baik. Ini terbukti dari tingginya angka healing alias liburan yang dilakoni para generasi tersebut.

Menurut riset perusahaan perhotelan RedDoorz, sekitar 67 persen generasi milenilal dan Z memutuskan berlibur untuk healing dari stres. Tak hanya itu, sekitar 41 persen gen Z dan milenial juga kerap merencanakan liburan tanpa rencana alias spontan. Ini terlihat dari kebiasaan memesan kamar yang dilakukan H-1.

Hal ini terlihat dari tingginya angka wisatawan yang memesan hotel RedDoorz dan multi-brand pada H-1 hingga di hari yang sama saat menginap,” ujar Head of Integrated Communications RedDorz Cut Nany dalam rilis pada 24 Februari 2024.

Kecenderungan generasi Z untuk healing sebagai cara menghabiskan uang menjadi keprihatinan tersendiri. Dituturkan Josua Pardede, Chief Economist Permata Bank, hal ini menyebabkan kemampuan menabung dan berinvestasi Gen Z sangat rendah.

“Saya kira perencanaan keuangan untuk Gen Z sangat penting agar awareness-nya meningkat. Kalau hanya spending tanpa investasi pasti akan memberikan dampak negatif, bukan hanya untuk perbankan tapi juga kehidupannya di kemudian hari,” kata Josua dalam konferensi pers virtual pada 7 Februari 2024.

Riset Morning Consult di Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa meskipun Gen Z tergolong muda dengan penghasilan yang relatif rendah, mereka kerap melakukan tiga kali atau lebih perjalanan liburan setiap tahun. Bahkan memasukkan kegiatan perjalanan  mereka dalam anggaran.

Josua menambahkan, Gen Z juga seringkali menggunakan dana pinjaman hanya untuk memenuhi kebutuhan healing seperti konser atau traveling. Hal ini terlihat dari fenomena banyaknya anak muda yang terjerat pinjol.

Tingginya kebutuhan Gen Z untuk healing tercermin dari konsumsi transportasi, komunikasi, restoran, dan hotel yang meningkat.

Untuk mengatasi masalah ini, Josua mendorong perbankan memperbanyak produk yang menyasar anak muda, terutama terkait literasi keuangan sehingga mereka bisa memanfaatkan uang dengan lebih bijak.

“Gen Z ini tabungan atau saving-nya sedikit tapi maunya banyak. Makanya sekarang banyak sekali yang terjerat pinjol dan saya pikir cara-cara seperti itu sangat tidak tepat,” pungkasnya.