Bagikan:

JAKARTA – Generasi Z (gen Z) lagi-lagi menjadi sorotan. Sebanyak 9,9 juta generasi ini berstatus pengangguran. Gen Z diklaim sebagai generasi yang pilih-pilih pekerjaan, namun jika ditilik lebih jauh, masalahnya lebih kompleks dari itu.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sebanyak 9,9 juta penduduk Indonesia berusia 15 sampai 24 tahun atau disebut gen Z menganggur atau masuk dalam kategori Not Employment, Education, or Training (NEET).

Selain menunjukkan masalah serius dalam transisi generasi muda ke dunia pendidikan tinggi dan pasar kerja, angka ini juga berpotensi menghambat pemanfaatan bonus demografi dan pencapaian visi Indonesia Emas 2045.

Secara singkat, bonus demografi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan di mana suatu negara memiliki jumlah penduduk usia produktif yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk usia tidak produktif, yaitu anak-anak dan lansia.

Generasi Z disebut pilih-pilih dalam mencari pekerjaan sehingga membuat tingkat pengangguran tinggi. (Unsplash)

Bonus demografi terjadi ketika angka kelahiran menurun sedangkan harapan hidup dan kesejahteraan masyarakat meningkat. Fenomena ini memungkinkan suatu negara memperkuat ekonominya dan meningkat kualitas hidup penduduknya. Indonesia saat ini berada di ambang bonus demografi yang diperkirakan akan berlangsung sampai 2030.

Tapi melihat tingginya angka gen Z yang tidak kuliah dan tidak bekerja, menunjukkan bahwa Indonesia belum sepenuhnya siap memanfaatkan bonus demografi.

Industri Padat Modal Lebih Dominan 

Tingginya angka pengangguran di kalangan gen Z seolah mempertegas bahwa mereka adalah generasi pemalas dan suka pilih-pilih pekerjaan. Label ini sering dikaitkan dengan kesulitan mereka dalam mendapatkan pekerjaan di pasar tenaga kerja yang semakin kompetitif. Benarkah demikian?

Jawabannya tidak juga. Menurut Laporan Data Kompas, memang ada tren penurunan penciptaan lapangan kerja formal selama 15 tahun terakhir. Pada periode 2009-2014 penciptaan lapangan kerja formal mencapai 15,6 juta. Angka ini turun menjadi 8,5 juta pada periode 2014-2019, dan kian menipis di periode 2019-2024 dengan hanya dua juta penciptaan lapangan kerja formal.

Klaim tersebut diperkuat dengan pernyataan Wakil Ketua Umum Apindo Bidang Ketenagakerjaan, Bob Azam. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi lima persen per tahun sekarang ini hanya setara dengan penyerapan satu juta pekerja. Padahal di masa kejayaan industri manufaktur pada 1990-an, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi setara dengan penyerapan 600 ribu pekerja.

Padahal jumlah angkatan kerja baru bisa mencapai 2,5 juta orang per tahun. Artinya, jumlah penyerapan tenaga kerja jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah angkatan kerja baru.

Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani menuturkan dalam sembilan tahun terakhir penyerapan tenaga kerja di sektor industri di Indonesia makin menyusut. Pada 2013, kata Shinta, setiap investasi yang masuk senilai Rp1 triliun dapat menyerap sebanyak 4.594 tenaga kerja. Namun pada 2022 setiap investasi senilai Rp1 triliun hanya mampu menyerap sebanyak 1.081 tenaga kerja.

Ini terjadi karena dalam beberapa tahun terakhir investasi cenderung padat modal bukan padat karya, sehingga hanya menyerap sedikit tenaga kerja. Tak heran sektor manufaktur padat karya banyak melakukan hubungan pemutusan hubungan kerja alias PHK.  

Melansir Kementerian Ketenagakerjaan, pada September 2024 tercatat ada tambahan jumlah korban PHK sebanyak 6.753 orang. Dengan demikian, sejak Januari total pekerja yang terkena PHK mencapai 52.933.

“Selain itu juga diakibatkan oleh digitalisasi dan otomatisasi, sehingga penyerapan tenaga kerja berkurang dan jenis pekerjaan yang dibutuhkan dengan kemampuan yang lebih tinggi dan berubah,” ujar Shinta.

Mismatch antara Keterampilan dan Kebutuhan Pasar 

Ida Fauziyah, mantan Menaker, pernah berujar pemerintah terus mendorong upaya untuk mengatasi tingginya angka pengangguran termasuk di kalangan gen Z, yang ternyata sebagian besar dari lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Menurut Ida, salah satu penyebab utama pengangguran di kalangan lulusan SMK adalah ketidaksesuaian antara keterampilan yang diperoleh di sekolah dengan kebutuhan pasar kerja (mismatch).

“Saya sudah sering sampaikan juga karena pengangguran kita ini terbanyak disumbangkan dari lulusan SMK, anak-anak lulusan SMK. Ini karena memang terjadi mismatch,” kata dia pada 21 Mei 2024.

Sementara itu, dosen bimbingan konselin Universitas Katolik Widya Mandala (Unika Wima) Felix Trisuko Nugroho, M.Pd memberikan pandangannya mengenai klaim bahwa gen Z pilih-pilih dalam mencari pekerjaan.

Menurut Trisuko, gen Z memang cenderung lebih selektif dalam memilih pekerjaan dibandingkan generasi sebelumnya. Tidak hanya mencari pekerjaan dengan gaji tinggi, tapi juga pekerjaan yang memberi makna, kesempatan berkembang, dan keseimbangan kehidupan kerja.

Siswa SMK Negeri 3 Teknologi dan Rekayasa Jayapura jurusan otomotif saat mempraktikkan perbaikan mesin kendaraan roda dua (ANTARA/Ardiles Leloltery)

Selain itu, Felix juga menuturkan, tuntutan dan harapan dari Gen Z terhadap lingkungan kerja juga berbeda. Mereka menginginkan fleksibilitas, kesempatan untuk bekerja secara remote, dan budaya perusahaan yang inklusif dan suportif.

"Kecenderungan ini sering disalahartikan sebagai sikap pilih-pilih, padahal sebenarnya mereka hanya menginginkan lingkungan kerja yang sesuai dengan nilai-nilai dan aspirasi mereka," jelasnya.

Tapi sikap pilih-pilih pekerjaan ini bisa menjadi pedang bermata tua, kata Felix. Di satu sisi, selektivitas ini dapat membantu mereka menemukan pekerjaan yang benar-benar memuaskan. Tapi di sisi lain, dapat memperpanjang proses pencarian kerja dan membuat mereka tampak kurang kompomi di mata pemberi kerja.

Namun Felix sepakat bahwa kesulitan gen Z dalam mendapat pekerjaan tidak semata-mata disebabkan sikap pilih-pilih.

"Faktor lain seperti ketidaksesuaian antara keterampilan yang dimiliki dengan kebutuhan pasar kerja, kurangnya pengalaman kerja, dan persaingan yang semakin ketat juga berperan besar dalam hal ini," tandasnya.