Bagikan:

JAKARTA – Kelanjutan Kurikulum Merdeka, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi, serta ujian nasional (UN) langsung menjadi sorotan begitu Nadiem Makarim menghabiskan masa jabatannya sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendibud Ristek). Namun menurut pemerhati pendidikan, yang terpenting adalah memajukan kualitas guru, alih-alih meributkan kurikulum.

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti menyinggung Kurikulum Merdeka yang selama ini menjadi polemik. Hal ini ia sampaikan dalam pidato serah terima jabatan (sertijab) dengan Mendikbud Ristek periode 2019-2024 Nadiem Makarim. Selain Kurikulum Merdeka, Abdul Mu’ti juga menyebut sistem PPDB dengan jalur zonasi dan ketiadaan UN bakal dikaji kembali.

“Jadi, soal ujian nasional, PPDB zonasi, Kurikulum Merdeka Belajar, apalagi ya, yang sekarang masih menjadi perdebatan, nanti kita lihat semuanya dengan sangat seksama dan kami akan sangat berhati-hati,” kata Abdul Mu’ti, dinukil Antara.

Seorang guru menyampaikan materi kepada siswa saat kegiatan belajar mengajar di SDN Percobaan Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Senin (5/2/2024). (ANTARA/Auliya Rahman/rwa)

Sementara itu, di kesempatan yang sama, Nadiem Makarim berharap kebijakan di masa kepemimpinannya yang baik dan berdampak positif dapat diteruskan oleh menteri selanjutnya, termasuk Merdeka Belajar.

“Memorandum ini akan kami sampaikan kepada para menteri selanjutnya sebagai bahan pembelajaran dalam menguatkan perjalanan Merdeka Belajar ke depan. Kami sangat berharap kebijakan-kebijakan yang telah berjalan baik dan berdampak positif tetap bisa dilanjutkan pada pemerintahan yang selanjutnya,” ujar Nadiem.

Kementerian Pendidikan Alami Perombakan Berulang Kali

Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah mengumumkan nama-nama menteri yang akan memimpin 48 kementerian di Kabinet Merah Putih (KMP). Dari pengumuman tersebut, diketahui beberapa kementerian dipecah menjadi kementerian baru sehingga jumlahnya menjadi lebih banyak.

Dari 48 kementerian, 21 di antaranya merupakan hasil pemecahan dari sembilan kementerian pada periode sebelumnya. Salah satu kementerian yang dipecah adalah Kemendikbud Ristek yang dilebarkan menjadi tiga nomenklatur, yaitu Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dipimpin Abdul Mu’ti, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi bersama Menteri Satryo Soemantri Brodjonegoro, serta Kementerian Kebudayaan dengan Menteri Fadli Zon.

KMP pimpinan Prabowo-Gibran mendapat sorotan sejak awal, karena dinilai terlalu gemuk. Dengan total 48 menteri, ini menjadi kabinet paling besar ukurannya sejak Orde Baru. sejumlah analis menyebut gemuknya KMP karena Prabowo mengakomodir pendukungnya di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Sejumlah calon siswa didampingi orang tuanya saat mengantre untuk pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2024 jalur zonasi Sekolah Menegah Pertama (SMP) di salah satu sekolah di Solo, Jawa Tengah, Senin (8/7/2024). (ANTARA/Maulana Surya/nym/am)

Direktur Eksekutif Political Communication Studies and Research Center (PolCom SRC) Andriadi Achmad sepakat dengan anggapan banyak orang bahwa kabinet gemuk Prabowo Gibran untuk mengakomodir semua kepentingan. Namun di sisi lain, ia menganggap kabinet ini juga memprioritaskan kinerja lebih fokus dan optimal.

“Karena negara sebesar dan sekompleks Indonesia mesti diurus banyak individu. Sehingga ada pemecahan kementerian dan penambahan kemenko serta wamen dan utusan khusus. Walaupun secara pembiayaan tentu akan bertambah dan membengkak dari sebelumnya,” kata Andriadi kepada VOI.

“Penambahan nomenklatur kementerian dan kemenko agar lebih fokus dan optimal dalam membangun Indonesia dalam berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara,” imbuhnya.

Kementerian pendidikan bukan kali ini saja mengalami perombakan. Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan diubah menjadi Departemen Pendidikan Nasional. Lalu pada 2011, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, istilah departemen diganti menjadi kementerian dan pada 2012 bidang pendidikan dan kebudayaan disatukan kembali menjadi Kementerian dan Kebudayaan.

Di periode pertama Joko Widodo menjabat sebagai presiden, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terpisah dengan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Tapi pada 2021, dua kementerian ini digabung menjadi Kemendikbud Ristek di bawah kepemimpinan Nadiem Makarim.

Selama lima tahun memimpin Kemendikbudristek, Nadiem melakukan sejumlah inovasi, termasuk melalui gerakan Merdeka Belajar. Beberapa kebijakan yang termasuk program ini antara lain mengganti ujian nasional (UN) dengan Asesmen Nasional, yang menilai kemampuan dasar literasi, numerasi siswa, karakter, hingga lingkungan belajar di sekolah. AN diklaim lebih komprehensif dibanding pengukuran Programme for International Student Assesment (PISA). Selain itu, Nadiem juga masih melanjutkan PPDB sistem zonasi yang pertama kali diterapkan pada 2017.

Mengembalikan Ujian Nasional adalah Kemunduran

Kendati demikian, gebrakan Nadiem Makarim di bidang pendidikan kerap menuai polemik. Mulai dari Kurikulum Merdeka, sampai PPDB sistem zonasi yang selalu dikeluhkan banyak orang di setiap tahunnya.

Tak heran jika kemudian seruan agar beberapa kebijakan di Kemendibud Ristek dikaji ulang di era Abdul Mu’ti. Mulai dari desakan penggantian Kurikulum Merdeka, menghapus PPDB sistem zonasi, sampai mengembalikan kembali Ujian Nasional (UN) sebagai syarat kelulusan dan penerimaan di jenjang berikutnya.

Desakan tersebut ramai digaungkan sesaat setelah Abdul Mu’ti dilantik awal pekan ini. Menurut Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Ubaid Matraji, Menteri Abdul Mu’ti memang perlu mengkaji sejumlah kebijakan, namun hasil kajiannya harus melangkah ke depan bukan malah menjadi sebuah kemunduran.

Ia mencontohkan, PPDB sistem zonasi merupakan sebuah kemajuan dibandingkan dengan mengembalikan UN sebagai syarat lulus dan masuk ke jenjang berikutnya.

“Kalau dengan UN, hanya anak-anak yang berprestasi yang menjadi prioritas, sedangkan yang nilainya buruk kesannya nanti dulu (untuk bisa sekolah). Padahal PPDB dengan sistem zonasi adalah sebuah kemajuan,” ucap Ubaid saat berbincang dengan VOI.

Peserta didik baru memasang atribut saat mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) tahun ajaran 2023/2024 di SMP Negeri 14 Denpasar, Bali. (ANTARA/Nyoman Hendra Wibowo/tom)

“Dengan sistem zonasi berarti semua anak bisa sekolah, entah hasil rapot itu baik atau buruk. Hanya saja yang menjadi masalahnya ternyata bangku yang disediakan selalu kurang. Maka inilah yang harus dibenahi,” imbuhnya.

Untuk itu ke depannya, Ubaid berharap agar pemerintah mau menyediakan bangku sesuai dengan jumlah siswa PPDB. Jangan sampai siswa ada cerita siswa yang tidak diterima PPDB sekolah negeri terpaksa sekolah ke swasta dengan biaya mahal. Tidak jarang kondisi ini memaksa banyak anak putus sekolah karena terbentur masalah ekonomi. Padahal, Ubaid menambahkan, biaya pendidikan jelas menjadi tanggung jawab pemerintah yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Terkait Kurikulum Merdeka yang juga menimbulkan pro kontra, menurut Ubaid yang perlu dibenahi sebenarnya adalah kualitas guru itu sendiri. Dengan meningkatkan kualitas guru-guru, maka akan menghasilkan siswa berkualitas pula.

“Apa pun kurikulumnya, kalau kualitas gurunya buruk ya hasilnya buruk. Jadi jangan melulu ribut soal kurikulum. Sudah 20 tahun gonta-ganti kurikulum, tapi enggak ada dampak di lapangan karena memang gurunya tak berkualitas,” tegasnya.