Bagikan:

JAKARTA – Indonesia memasuki babak baru, ditandai dengan pelantikan Presiden Prabowo Subianto didampingi Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden Indonesia periode 2024-2029.

Keduanya dilantik dalam Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di Gedung Nusantara, Minggu (20/10/2024). Pasangan Prabowo dan Gibran dilantik berlandaskan pada Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 504 Tahun 2024 tentang Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih dalam Pemilihan Umum Tahun 2024.

“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa,” ucap Prabowo Subianto membacakan sumpahnya.

“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Wakil Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa,” ucap putra sulung mantan Presiden Joko Widodo ini.

Penanganan Masalah Ekonomi Jangka Pendek

Namun seusai dilantik kemarin, pasangan Prabowo-Gibran dihadapkan pada banyak tantangan kompleks. Mulai dari masalah ekonomi dalam negeri yang rentan sampai problem korupsi yang seolah tidak ada habisnya.

Indonesia tengah menghadapi deflasi lima bulan beruntun yang menjadi bukti turunnya daya beli masyarakat. Persoalan ini beriringan dengan tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) dan kelas menengah yang turun kasta menjadi kelompok miskin.

Sudah menjadi pembahasan yang cukup masif belakangan ini perihal catatan Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan bertahap. Pada 2019, kelas menengah Indonesia masih ada di angka 57,33 juta orang, sedangkan pada 2024 menjadi 47,85 juta atau berkurang 9,48 juta. Padahal dalam periode yang sama, kelas atas hanya naik 0,05 juta orang.

Dalam jangka pendek, masalah daya beli, PHK, deflasi, dan penurunan kelas menengah perlu segera diatasi. Salah satunya dengan jarring pengaman sosial yang diutamakan bagi kelas miskin dan kelas menengah yang terancam turun kelas.

Ekonom Intitute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan, selain dengan menyebar bantuan sosial, pemerintah Prabowo juga mesti mampu menahan laju PHK demi menggenjot pendapatan masyarakat dengan berkolaborasi bersama industri. Menciptakan lapangan kerja besar bisa menjadi salah satu solusi pemerintah sekarang ini.

Seorang buruh mengangkat poster aksi saat unjuk rasa menolak program Tapera di depan Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (27/6/2024). (ANTARA/Bayu Pratama S)

“Kita harus kasih karpet merah bagi sektor atau investasi yang menyerap tenaga kerja besar. Bedakan insentif dan kebijakannya, termasuk bagaimana membangun kemitraan dengan negara luar untuk investor,” jelas Tauhid.

Pendapat lain diutarakan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. Ia mendorong pemerintahan Prabowo untuk mengurangi beban masyarakat. Caranya dengan tidak mengadakan pungutan-pungutan yang membebani kelas menengah.

Berdasarkan catatan Bhima, saat ini ada 10 rencana pungutan atau pajak yang membebani kelas menengah di Indonesia, di antaranya Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), asuransi third party liability, iuran BPJS Kesehatan yang hendak disesuaikan jumlahnya, hingga PPN naik menjadi 12 persen.

“Beban kelas menengah harus ditunda. Cari cara lain. Kalau mau mendorong perumahan rakyat ya bukan dengan Tapera, tapi dengan subsidi bunga yang lebih rendah untuk KPR floating atau subsidi bunga kredit konstruksi,” kata Bhima kepada VOI.

Penegakan Hukum Terkesan Setengah Hati

Permasalahan lainnya yang menjadi tantangan Prabowo-Gibran adalah penegakan hukum. Penanganan kasus-kasus korupsi di Indonesia selama ini sering kali terkesan setengah hati, bahkan publik menganggap cenderung dimainkan demi kepentingan politik tertentu.

Di era Jokowi ada enam menteri yang terjerat kasus korupsi. Mulai dari Mantan Menteri Sosial Idrus Marham yang terjerat kasus suap proyek PLTU Riau-1 dan menerima suap sekitar Rp2,23 miliar. Ia divonis tiga tahun penjara pada 23 April 2019 dan telah bebas pada 11 September 2020. Kemudian Imam Nahrawi, eks Menteri Pemuda dan Olahraga, yang terjerat kasus pemberian dana hibah Kemenpora ke KONI dengan gratifikasi R8,3 miliar. Imam dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara.

Ketiga ada mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, terjerat kasus suap izin ekspor Benih Bening Lobster (BBL) kepada para eksportis dan menerima suap sebesar Rp25,7 miliar. Ia dijatuhi vonis lima tahun penjara.

Prabowo Subianto dilantik sebagai presiden kedelapan Republik Indonesia dalam sidang paripurna MPR di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Minggu (20/10/2024). (Instagram/@prabowo)

Keempat Juliari Batubara, yang terjerat kasus suap bantuan sosial atau bansos COVID-19 di Jabodetabek dan menerima suap sekitar Rp32,4 miliar saat dirinya menjabat Menteri Sosial. Johnny G. Plate dihukum 15 tahun penjara, denda Rp1 miliar, dan uang pengganti Rp16 miliar dan 10 ribu dolar AS karena tersangkut kasus korupsi proyek Menara BTS 4G dan infrastruktur pendukung 1-5 Bakti Kominfo 2020-2022 yang menyebabkan negara rugi Rp8 triliun.

Teranyar ada Syahrul Yasin Limpo, terjerat kasus korupsi di Kementerian Pertanian terkait pemerasan dalam jabatan, gratifikasi, dan pencucian uang. Kelakuan SYL ini menyebabkan kerugian negara hingga Rp44,5 miliar dan ia divonis 12 tahun penjara.

“Korupsi tetap menjadi mokok yang menghantui berbagai sektor, mulai dari pertambangan, perkebunan sawit, hingga tata kelola lembaga pendidikan dan kesehatan nasional yang belum berpihak pada kepentingan dan keselamatan rakyat,” kata pengamat politik Pieter C Zulkifli, dikutip Kompas.

Jika Prabowo ingin mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, maka penegakan hukum yang kuat dan tegas harus menjadi prioritas utama. Pieter Zulkifli mengungkapkan beberapa sektor yang jadi bancakan para koruptor untuk segera dituntaskan, di antaranya sistem dan tata kelola lembaga pendidikan hingga kesehatan nasional.

"Jika elite-elite yang bermain di sektor-sektor ini jika tidak dilibas habis, jangan harap Indonesia bisa mencapai kemajuan yang signifikan. Tanpa langkah tegas, jangan harap Indonesia bisa keluar dari belenggu korupsi yang terus menghantui bahkan menghancurkan kehidupan bangsa dan negara," pungkasnya.