Bagikan:

JAKARTA – Perekonomian Indonesia disebut sedang tidak baik-baik saja menyusul deflasi selama lima bulan berturut-turut. Tapi di sisi lain, konser musik bernilai ratusan ribu hingga jutaan rupiah masih diminati masyarakat.

Pada September 2024, Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,12 persen. Itu artinya sudah lima bulan beruntun sejak Mei (0,03 persen), Juni (0,08 persen), Juli (0,18 persen), dan Agustus (0,03 persen).

Deflasi secara sederhana adalah menurunnya harga-harga barang dan jasa di suatu wilayah. Menurut laman Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB) Kementerian Keuangan, fenomena ini terjadi karena penurunan jumlah uang yang beredar, yang mengakibatkan daya beli masyarakat menurun.

Penurunan harga yang berkelanjutan bisa menjadi salah satu pertanda bahwa ekonomi sedang melemah. Seperti yang ramai diberitakan belakangan ini, kekuatan konsumsi kelas menengah terus merosot dan berpotensi turun ke kelas ekonomi di bawahnya.

Tapi di tengah berbagai data ekonomi yang memprihatinkan, ada sebuah fenomena menarik di Indonesia. Tiket-tiket konser musik baik artis dalam negeri maupun mancanegara yang dijual hingga jutaan rupiah hampir selalu laris manis.

Konser band asal Yogyakarta Sheila on 7 di Stadion Si Jalak Harupat, Bandung, dipadati 35 ribu penggemar. (VOI/Dewi)

Konser Bruno Mars selama tiga hari di Jakarta International Stadium (JIS) beberapa waktu lalu dipadati puluhan ribu penonton. Penjualan tiket Maroon 5, yang konsernya baru akan digelar tahun depan, juga diminati penggemarnya. Di kancah lokal, ada konser band asal Yogyakarta, Sheila on 7, yang sukses menggelar konser tunggal di lima kota mulai Agustus sampai September lalu.

Ini masih belum termasuk fenomena demam Labubu, boneka yang harganya dibanderol sampai jutaan rupiah, serta antrean iPhone terbaru yang hampir selalu mengular.

Ini seolah menjadi anomali di tengah banyaknya orang yang mengeluhkan tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) serta pengakuan pelaku usaha UMKM yang mengeluh dagangannya sepi.

Lipstick Effect

Anomali yang terjadi di Indonesia sekarang ini mungkin bisa dijelaskan dengan istilah Lipstick Effect, teori yang menjelaskan bahwa saat ekonomi sulit, masyarakat cenderung membeli barang mewah terjangkau untuk sekadar mencari kepuasan sementara, termasuk kosmetik. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Juliet Schor dalam buku The Overspent American (1998).

Sementara itu, Mailchimp mendefinisikan Lipstick Effect adalah teori ritel di mana konsumen dengan keuangan yang minim cenderung akan membeli barang-barang mewah dengan harga yang lebih terjangkau ketika kondisi penurunan ekonomi.

Schor dalam bukunya mencermati ketika situasi peredaran uang cenderung terbatas, seseorang akan lebih banyak membelanjakan uang untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu penting, tapi memberi semacam kepuasan di tengah situasi ketidakpuasan.

“Mereka mencari kemewahan yang terjangkau, sensasi membeli di department store mahal, menikmati fantasi kecantikan dan keseksian, membeli ‘harapan dalam botol’. Kosmetik adalah pelarian dari kehidupan sehari-hari yang menjemukan,” demikian tulis Schor.

Teori Lipstick Effect dapat menggambarkan bahwa saat ekonomi sulit, masyarakat membeli barang mewah terjangkau untuk kesenangan. (Unsplash)

Teori Lipstick Effect juga menjadi panduan bagi Leonard Lauder, pemilik perusahaan kosmetik ternama asal Amerika Serikat, Estee Lauder. Ia merancang budget bisnis dan pemasaran ketika serangan teroris pada 11 September membuat situasi ekonomi tidak menentu. Saat itu, penjualan lipstick Estee Lauder justru moncer.

Lalu ketika resesi melanda perekonomian global akibat pandemi COVID-19, perusahaan kecantikan asal Prancis Sephora, membukukan kenaikan penjualan 30 persen di pasar Amerika saja pada 2020.

Barang tersier ini tidak selalu berupa lipstik atau kosmetik lainnya, tapi juga seperti kopi, tiket bioskop, tiket konser musik, gadget, bahkan boneka seperti Labubu.

Dari sisi psikologis, Lipstick Effect menjelaskan bahwa ketika keuangan individu tidak cukup atau tengah menurun, alih-alih berhenti konsumtif, individu justru masih mau membeli barang tersier yang sebenarnya tidak terlalu penting. Ini dilakukan sebagai bentuk morale boost, lantaran dianggap memberi perasaan seperti penghiburan di tengah perekonomian yang sulit.

Untuk itu, antrean restoran makanan dan minuman yang hits, war tiket konser yang harganya mencapai jutaan, atau mengantre gadget terbaru tidak dapat digunakan untuk mengklaim bahwa perekonomian sedang baik-baik saja.

Penurunan Daya Beli Tak Semua Kalangan

Investopedia menyebutkan bahwa Lipstick Effect adalah salah satu alasan yang membuat penjualan restoran cepat saji dan tiket bioskop tidak terpengaruh oleh penurunan daya beli dan resesi ekonomi.

“Konsumen dengan uang yang sedikit ingin membeli sesuatu yang dapat mengalihkan perhatian mereka dari kondisi keuangannya. Mereka tidak bisa berlibur ke Bermuda, tapi mereka akan menyesuaikan budget dan berpuas diri dengan hang out murah.”

Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro itu menjelaskan penyebab konser-konser di Indonesia tetap ramai meski diguncang isu melemahnya daya beli masyarakat. Menurut Andry, tekanan daya beli ternyata tidak dialami semua lapisan masyarakat.

Berdasarkan dana nasabahnya, Andry menyebut fenomena makan tabungan atau yang dikenal dengan mantab ternyata hanya dialami oleh golongan menengah dan bawah. Kalangan menangah-atas dan atas (middle-upper) justru mencatat nilai tabungan yang melonjak.

"Yang middle-upper saving index-nya loncat,” kata Andry pada September lalu.

Boneka Labubu yang dibanderol sampai jutaan rupiah laris manis diserbu pembeli. (Ist)

Merujuk pada data nasabah Bank Mandiri, indeks tabungan kelas menengah-atas dan atas masih berada pada level 100 di awal tahun 2024. Indeks tabungan itu terus menanjak hingga pada Juli 2024 indeks tabungan kelas ini mencapai 106,2.

Meningkatnya level tabungan dua kelas inilah, dituturkan Andry, menyebabkan mereka masih memiliki daya beli yang kuat, meski tiket-tiket konser dibanderol dengan harga yang tidak murah.

"Ini yang menjelaskan kenapa melemah daya belinya, tapi ticket war-nya gila-gilaan. Bruno Mars konser habis terus, saya yakin akan ada Maroon 5 pasti ticket war lagi. Iphone 16 pas nanti diluncurkan pasti ada aja orang Indonesia yang beli," kata dia.