Bagikan:

JAKARTA – Pendidikan termasuk sektor yang menjadi perhatian pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka selaku presiden dan wakil presiden periode 2024-2029. Pemisahan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menjadi tiga nomenklatur diharapkan fokus pengelolaan masalah di lapangan menjadi lebih terarah.

Pendidikan merupakan salah satu faktor kunci dalam kemajuan suatu bangsa. Melalui pendidikan, ketersediaan sumber daya manusia yang memadai dan unggul adalah sebuah keniscayaan.

Dalam visinya, Prabowo-Gibran ingin membangun Indonesia dengan fondasi dari era pemerintahan sebelumnya. Visi tersebut diturunkan dalam delapan misi yang disebut Asta Cita. Salah satu isinya menyebut soal pembangunan sumber daya manusia (SDM).

Untuk mewujudkan misi ini, pemerintah akan mengembangkan sektor pendidikan dengan memperkuat sains, teknologi, kesetaraan gender, serta penguasatan peran perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas.

Kegiatan belajar mengajar di lingkungan satuan pendidikan. (ANTARA/HO-Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi)

Akan ada tiga menteri utama yang mengampu sektor ini, yaitu Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, serta Menteri Kebudayaan. Ini juga masih ditambah Menteri Agama yang mengurusi pendidikan di madrasah dan pesantren.

Nadiem Makarim menyerahkan tampuk kepemimpinannya kepada tiga menteri baru karena di Kabinet Merah Putih (KMP), Kemendikbud Ristek dipecah menjadi tiga kementerian baru. Ketiga menteri yang menjalani serah terima jabatan dengan Nadiem Makarim adalah Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti; Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Satryo Soemantri Brodjonegoro; dan Menteri Kebudayaan Fadli Zon.

Sulit Bersinergi

Wacana pemecahan ini sebenarnya sudah terdengar sebelum pengumuman KMP Prabowo Subianto. Nadiem Makarim sendiri yang sempat men-spill kementerian yang dipimpinnya periode 2019-2024 ini akan kembali dipecah menjadi tiga.

"Pasti sukses menteri berikutnya. Sekarang saya mentransisi ketiga menteri. Jadi berbeda, jadi tergantung ada (Kementerian) Kebudayaan, Dikti (Pendidikan Tinggi), dan Diknas (Pendidikan Nasional)," kata Nadiem sebelum pengumuman KMP.

Dengan pemecahan Kemendikbud Ristek, muncul harapan isu-isu pendidikan yang begitu kompleks dapat terselesaikan. Munculnya tiga kementerian anyar pecahan Kemendikbud Ristek mendapat respons positif dari anggota DPR RI periode 2024-2029 Fraksi PKS Abdul Fikri Faqih.

"Memang sudah lama banyak kritik terhadap orientasi pengembangan pendidikan tinggi yang kurang fokus, ketika diampu oleh kementerian yang juga sudah dibebani dengan pendidikan dasar dan menengah," ucap Fikri.

Dengan adanya Kementerian Kebudayaan yang dipecah secara tersendiri, ia menilai hal ini perlu dukungan dari banyak pihak. Menurutnya, Indonesia perlu belajar dari beberapa negara India, Prancis, dan negara lainnya yang telah memiliki pengalaman dalam hal melestarikan, mengelola, dan mengembangkan kebudayaannya di sebuah kementerian secara khusus.

Ubaid Matraji, peneliti dan pengamat pendidikan, turut menyoroti hal ini. Menurutnya, pemecehan Kemendibud Ristek menjadi Kementerian Pendidikan Dasar, dan Menengah, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, serta Kementerian Kebudayaan tidak serta merta bakal memecahkan masalah pendidikan Tanah Air.

Siswa SMK Negeri 3 Teknologi dan Rekayasa Jayapura jurusan otomotif saat mempraktikkan perbaikan mesin kendaraan roda dua (ANTARA/Ardiles Leloltery)

Ia memprediksi akan terjadi ketidaksinambungan antara satu kementerian dengan kementerian lain. Padahal untuk menuntaskan masalah-masalah pendidikan, butuh sinergi antara kementerian pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi.

Ia mencontoh problem guru, mulai dari gaji sampai kualitas, yang sudah sejak lama digaungkan, namun tak kunjung ada penyelesaiannya meski sebelumnya hanya diurus satu kementerian.

“Berkaca dari yang sudah-sudah, satu kementerian saja susah sinerginya. Contohnya masalah guru, masalahnya tidak hanya di hulu tapi juga di hilir. Selain itu juga problem sekolah,” kata Ubaid saat dihubungi VOI.

“Kemarin satu kementerian saja enggak nyambung, apalagi dipisah. Menurut saya akan semakin menyulitkan sinergi satu sama lain,” imbuhnya.

Meski demikian, Ubaid mengajak publik menunggu hingga hari 100 pertama kementerian anyar ini bekerja untuk melihat apakah akan ada langkah-langkah sinergi untuk menyelesaikan masalah-masalah pendidikan.

“Memang mestinya tidak perlu dipecah, pertimbangannya apa sih dipecah? Tapi kita lihat saja, apakah ini bisa berdampak positif atau tidak?” tutur Ubaid.

Fokus Masalah Lebih Terarah

Di sisi lain, pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina Totok Amin menyambut positif pemecahan Mendikbud Ristek menjadi tiga nomenklatur. Dengan hadirnya tiga kementerian pendidikan, Totok menilai fokus pengelolaan masalah-masalah di lapangan akan lebih terarah. Namun demikian, ia tak menampik akan ada dampak negatif dari pemecahan ini.

"Kalau dulu masalah contohnya pendidikan tinggi yang dikelola satu dirjen, sekarang dirjen naik ke tingkat menteri, maka jumlah eselon 1 jadi lebih banyak dan spesifik lagi ke setiap bidang dikti dan ristek," jelasnya.

Totok menjelaskan konsekuensi yang harus dibayar dari penambahan jumlah eselon 1. Selain menambah anggaran, ada kemungkinan memperpanjang rantai birokrasi akibat kerjasama lintas tiga kementerian dan kemeterian lainnya.

Selama ini, kata Totok, koordinasi horizontal antara kementerian dan lembaga pusat masih menjadi kelemahan pemerintahan Indonesia. Belum lagi ditambah dengan koordinasi vertikal dengan pemerintah daerah, entah itu provinsi maupun kota atau kabupaten.

"Oleh sebab itu, kendali dari kementerian koordinator jadi penting. Harus kuat dan dengan arahan yang jelas," Totok menambahkan.

Kekhawatiran lainnya diutarakan Edi Subkhan, pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Semarang (UNS). Ia juga menyoroti komunikasi dan koordinasi antar kementerian, terutama Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dengan Kementerian Pendidikan Tinggi.

Menurut Edi, dua kementerian ini berpotensi mengalami hambatan komunikasi jika kebijakan pendidikan dasar dan menengah tidak berkesinambungan dengan pendidikan tinggi.

Selain komunikasi, persoalan administrasi juga bisa menjadi hambatan. Makin banyak nomenklatur, makin rumit pula proses administrasinya. Ini sepertinya sudah menjadi pemandangan yang biasa di Indonesia.

"Kalau dipisah nomenklaturnya berdasarkan pengalaman sebelumnya akan repot. Misal untuk keperluan mahasiswa praktik lapangan di sekolah, penelitian, dan lainnya. Barangkali dianggap sepele soal administrasi, tapi di Indonesia ini masalah besar, karena hal substansial seringkali terabaikan gara-gara soal administrasi," ujarnya.