JAKARTA – Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makariem menitipkan program Merdeka Belajar menjelang berakhirnya masa jabatan. Ia berharap program ini bisa dilanjutkan oleh penerusnya.
“Lima tahun terakhir adalah waktu yang sangat mengesankan dalam perjalanan kami di Kemendikbudristek. Menjadi pemimpin dari gerakan Merdeka Belajar semakin menyadarkan kami tentang tantangan dan kesempatan yang kita miliki untuk memajukan pendidikan Indonesia,” ujar Mendikbud Nadiem dalam pidatonya saat upacara Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada 2 Mei 2024.
Nadiem mengatakan, bukan hal mudah untuk melakukan transformasi pendidikan di Indonesia melalui program Merdeka Belajar. Salah satunya adalah terkait bagaimana mengubah perspektif proses pembelajaran yang menurut Nadiem memang membutuhkan banyak perjuangan.
Merdeka Belajar adalah sebuah program yang digagas oleh Mendikbudristek Nadiem Makarim sebagai upaya mewujudkan kemerdekaan dalam belajar. Dikatakan merdeka dalam belajar artinya siswa memiliki kebebasan untuk berpikir dan berekspresi.
Dengan adanya program Merdeka Belajar ini, pemerintah berharap dapat menghadirkan pendidikan yang bermutu tinggi bagi semua peserta didik di Indonesia.
Terinspirasi Ki Hajar Dewantara
Konsep Merdeka Belajar yang digagas Nadiem sebenarnya terinspirasi dari konsep Merdeka Belajar Ki Hajar Dewantara. Menurut Bapak Pendidikan Indonesia ini, pendidikan adalah serangkaian proses untuk memanusiakan manusia.
Menurut Ki Hajar Dewantara, konsep pendidikan juga didasarkan pada dasar kemerdekaan yang dikenal dengan istilah sistem among, yaitu melarang adanya hukuman dan paksaan pada peserta didik karena hal tersebut dapat mematikan jiwa Merdeka dan kreativitas mereka.
Program Merdeka Belajar yang digagas Nadiem sejak 2019 ini berfokus pada transformasi pendidikan melalui empat hal, yaitu infrastuktur dan teknologi, kebijakan, prosedur dan pendanaan untuk kepemimpinan masyarakat dan budaya, serta kurikulum pedagosis dan penilaian (asesmen).
Tranformasi ini diwujudkan dalam 26 episode, di antaranya Program Guru Penggerak dan Kurikulum Merdeka yang paling banyak menjadi perbincangan.
Menurut Kabid Litbang Pendidikan P2G Feriansyah, program Merdeka Belajar yang digagas Nadiem masih belum menyentuh masalah pokok pendidikan yang dihadapi Indonesia selama ini, salah satunya soal Kurikulum Merdeka untuk menggantikan Kurikulum 2013.
“Kemendikbud di akhir masa kepemimpinannya membuat langkah yang sama seperti sebelum-sebelumnya, yaitu ganti menteri ganti kurikulum,” kata Feriansyah saat berbincang dengan VOI.
Kurikulum Merdeka ditetapkan menjadi kurikulum nasional melalui penerbitan Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024. Kurikulum Merdeka sendiri telah diperkenalkan di satuan pendidikan sejak empat tahun silam, sebelum akhirnya menjadi kurikulum yang wajib diimplementasikan oleh satuan pendidikan.
Meski belum menjadi kurikulum wajib kala itu, selama empat tahun terakhir Kurikulum Merdeka telah diadopsi oleh lebih dari 300 ribu atau 80 persen satuan pendidikan yang ada di Indonesia.
Namun menurut temuan P2G, terdapat penurunan jumlah siswa asal SMA dengan Kurikulum Merdeka yang diterima perguruan tinggi melalui jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP).
Hal ini diketahui P2G usai mengimpun data berdasarkan angket yang disebar ke Sekolah Penggerak jenjang SMA yang mengikuti SNBP.
Mengutip Antara, jumlah SMA Sekolah Penggerak Angkatan I yang sudah menerapkan Kurikulum Merdeka sejak 2021 adalah sebanyak 381 SMA secara nasional dan angket tersebut diisi oleh sampel 10 persen dari total populasi.
BACA JUGA:
Sebanyak 38 Sekolah Penggerak mengisi angket sebagai evaluasi pelaksanaan SNBP 2024 dan didapatkan fakta bahwa terjadi penurunan jumlah penerimaan siswa jalur SNBP 2024.
Contohnya SMAN 21 Jakarta yang pada SNBP 2023 berhasil meluluskan sebanyak 50 siswa namun terjadi penurunan pada SNBP 2024 yakni hanya 22 siswa.
Kemudian, SMAN 1 Wonosari, Gunung Kidul, pada SNBP 2023 berhasil meluluskan sekitar 46 siswa namun turun drastis pada SNBP 2024 yaitu hanya 16 siswa yang lulus masuk perguruan tinggi negeri (PTN).
Tidak Ada Sinkronisasi
Selain terkait Kurikulum Merdeka, Feriansyah juga menyoroti Program Guru Penggerak (PGP), yang diselenggarakan Kemendikbudristek untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme guru.
Keberadaan PGP, menurut Feriansyah seperti berseberangan dengan Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang sudah lebih lama dijalankan.
Padahal menurut Undang-Undang Nomor 15 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, menetapkan bahwa guru adalah pendidik profesional. Artinya, calon guru harus menjalankan program pendidikan lanjutan agar menguasai kompetensi guru secara utuh dan sesuai standar nasional pendidikan. Setelah menempuh PPG, peserta memperoleh sertifikat pendidik profesional pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Tapi fakta yang terjadi saat ini Kemendikbud dianggap lebih banyak menggenjot PGP ketimbang PPG.
“Guru itu profesi, sama seperti dokter. Kalau rumah sakit tidak ada dokter, tidak bisa beroperasi. Harusnya demikian juga dengan pendidikan, ketika guru belum bersertifikasi sebenarnya tidak boleh praktik,” tegas Feriansyah.
“Kementerian fokus meningkatkan guru penggerak, bukan guru berkualifikasi. Padahal dengan meningkatkan kualifikasi, ada korelasi antara peningkatan kualitas pendidikan dan kesejahteraan,” imbuhnya.
Di tengah perdebatan soal Merdeka Belajar yang digagas Nadiem Makarim, Feriansyah berharap ke depannya ada kesamaan persepsi dari dari atas ke bawah.
“Butuh sinkronisasi kebijakan dari atas ke bawah. Seharusnya Kementerian fokus ke hal yang mendasar, salah satunya tata kelola guru dan akses pendidikan yang memadai untuk semua kalangan,” tutur Feriansyah.