Kurikulum Merdeka dan Kurikulum-Kurikulum Lain yang Pernah Dipakai di Indonesia, Apa Bedanya?
Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim. (Foto: kemendikbud.go.if)

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Ristet dan Teknologi Nadiem Makarim meluncurkan Kurikulum Merdeka. Kurikulum Merdeka ini merupakan pengganti nama dari Kurikulum Prototipe. Menurut Nadiem, Kurikulum Merdeka ini sudah diuji coba di 2.500 sekolah penggerak. Selain itu, kurikulum ini juga diluncurkan di sekolah lain.

“Penyederhanaan kurikulum darurat ini efektif memitigasi ketertinggalan pembelajaran pada masa pandemi COVID-19,” ujar Nadiem, saat peluncuran Merdeka Belajar Episode Kelima Belas, Jumat 11 Februari 2022 secara daring dalam situs Menpan.go.id

Menurut Nadiem, pada masa pandemi COVID-19 krisis pembelajaran yang ada menjadikan pendidikan semakin tertinggal dengan hilangnya pembelajaran (learning loss) dan meningkatnya kesenjangan pembelajaran antarwilayah dan antarkelompok sosial-ekonomi. Untuk memulihkan pembelajaran pascapandemi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) meluncurkan Merdeka Belajar Episode Kelima Belas: Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar.

Mendikbudristek Nadiem Makarim saat peluncuran Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar, Jumat 11 Februari 2022 secara virtual. (Sumber: Tangkapan Layar)

Dikutip dari Humas Kemendikbudristek pada 11 Februari 2022, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menyampaikan dukungan penuh langkah Kemendikbudristek yang akan melaksanakan kebijakan Kurikulum Merdeka mulai tahun 2022 sebagai upaya pemulihan pembelajaran.

Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian juga menyambut baik hadirnya Kurikulum Merdeka. Menurutnya, Kurikulum Merdeka merupakan transformasi pembelajaran yang penting, bukan saja dalam menghadapi pendidikan pascapandemi tapi juga untuk menghadapi situasi dunia yang terus berubah sesuai dengan perkembangan zaman.

“Saya percaya setiap anak itu unik, oleh karena itu pendekatan yang holistik fleksibel dan fokus pada kompetensi anak adalah kunci untuk mengembangkan anak secara maksimal demi cita-cita yang ingin mereka raih,” ujar Hetifah. 

Diklaim Punya Keunggulan

Dikutip dari menpan.go.id, menurut Nadiem salah satu keunggulan Kurikulum Merdeka ini adalah tidak adanya program peminatan bagi siswa pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Siswa SMA, kata dia, kini bisa memilih mata pelajaran sesuai dengan minat dan aspirasinya di dua tahun terakhir sekolah.

"Dia tidak terkotak-kotak kepada misalnya IPA atau IPS saja. Mereka bisa memilih sebagian IPA, materi pelajaran IPA, sebagian IPS," kata Nadiem. Kebebasan memilih, tidak hanya diberikan kepada siswa saja, melainkan juga kepada guru serta sekolah

Nadiem juga menyinggung tentang penerapan Kurikulum Merdeka. Nadiem memberi kebebasan kepada pihak sekolah. Ia menyatakan, Kemendikbud tidak akan memaksakan implementasi Kurikulum Merdeka.

“Banyak sekali di tahun-tahun kemarin masyarakat dalam dunia pendidikan kita alergi dengan terminologi sering disebut ganti menteri ganti kurikulum,” ujar Nadiem.

“Saya di sini dengan senang hati akan mengumumkan bahwa dengan Merdeka Belajar semua itu tidak akan ada pemaksaan, dalam 2 tahun ke depan ini tidak ada pemaksaan,” imbuh dia.

Menurut Nadiem, tujuan Kurikulum Merdeka dibuat adalah pemulihan dari ketertinggalan pembelajaran atau recovery dari learning loss akibat pandemi COVID-19.

Siswa belajar darirumah selama pandemi COVID-19. (Foto: its.ac.id)

Stigma ganti menteri ganti kurikulum yang menempel pada Kementerian Pendidikan selalu viral setiap kali terdengar ada rencana pemerintah mengubah kurikulum pendidikan nasional. Sampai-sampai istilah tersebut seolah menjadi ”momok” bagi menteri pendidikan untuk menerapkan kurikulum pendidikan nasional yang baru. Sebenarnya, apa yang salah dengan ganti menteri ganti kurikulum, dan apakah benar fenomena itu terjadi ?

Melihat sejarah, selama 76 tahun Indonesia merdeka pemerintah telah mengganti kurikulum sebanyak 10 kali, yaitu tahun 1947, tahun 1952, tahun 1964, tahun 1968, tahun 1975, tahun 1984, tahun 1994, tahun 2004, tahun 2006, dan tahun 2013. Berdasarkan data Kemendikbudristek, sejak merdeka sudah ada 44 kabinet yang memiliki 34 menteri pendidikan yang berbeda.

Sejarah Kurikulum di Indonesia

Kurikulum berasal dari bahasa Inggrisyaitu curriculum yang artinya rencana belajar. Kata curriculum sendiri merupakan serapan bahasa Latin yaitu currere yang memiliki banyak arti. Di Indonesia sendiri, kurikulum telah beberapa kali mengalami pergantian. Perubahan kurikulum ini biasanya disebabkan oleh pergantian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Berikut merupakan beberapa kurikulum yang pernah ada di Indonesia:

1.Kurikulum 1947

Kurikulum yang mulai diaplikasikan pada 1950 ini dikenal dengan istilah leer plan yang dalam bahasa Belanda artinya rencana pelajaran. Dikarenakan pada masa itu Indonesia masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan, sistem pendidikannya pun masih kental oleh pengaruh Belanda. Oleh karena itu, kurikulum ini meneruskan yang sudah digunakan oleh Belanda sebelumnya. Ciri utama dari kurikulum ini adalah menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka, berdaulat, dan sejajar dengan bangsa lain.

2. Kurikulum 1952

Tahun 1952, kurikulum Indonesia mengalami penyempurnaan. Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional.Cirinya adalah setiap isi pelajaran harus bisa dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.

3. Kurikulum 1964

Pada kurikulum 1964, pemerintah menginginkan agar rakyat mendapatkan pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD. Dengan begitu, mata pelajaran diklasifikasikan menjadi lima kelompok bidang studi, yaitu moral, kecerdasan, emosional/artistik, keterampilan, dan jasmani. Kelima hal tersebut dikenal juga dengan program Pancawardhana. Ada juga yang menyebutkan bahwa Pancawardhana berfokus pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral.

4. Kurikulum 1968

Ditujukan untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Oleh karena itu mata pelajaran yang dibuat lebih bersifat teoretis. Kurikulum ini juga menekankan pendekatan organisasi dalam materi pelajaran, seperti kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus.

5. Kurikulum 1975

Pengganti kurikulum 1968 ini bertujuan agar pendidikan menjadi lebih efektif dan efisien. Kurikulum ini dipengaruhi oleh konsep di bidang manajemen yang terkenal pada masa itu, yaitu MBO (management by objective). Tujuan, materi, dan metode pengajaran diatur secara rinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Masa ini dikenal dengan istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran dibuat untuk setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi menjadi petunjuk umum,tujuan instruksional khusus (TIK),materi pelajaran,alat pelajaran, kegiatan belajar mengajar,dan evaluasi. Kurikulum ini banyak mendapat kritik karena setiap guru menjadi sibuk karena harus menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.

Siswa Indonesia bersekolah di Sekolah Taman Siswa Yogyakarta pada 1947 dengan memakai Kurikulum 1947. (Foto: Twitter@potolawas)

6. Kurikulum 1984

Kurikulum ini sering disebut juga kurikulum 1975 yang disempurnakan. Salah satu tokoh penting di balik lahirnya kurikulum ini adalah Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas tahun 1980-1986. Menggunakan model yang disebut juga dengan Cara Belajar Aktif Siswa (CBSA) atau Student Active Learning (SAL). Namun, banyak sekolah yang merasa sistem ini kurang efektif karena suasana kelas dianggap tidak kondusif untuk belajar. Penolakan CBSA pun banyak bermunculan.

7. Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999

Merupakan perpaduan antara kurikulum 1975 dan kurikulum 1984. Tujuannya adalah untuk menekankan agar siswa lebih memahami konsep dan terampil dalam menyelesaikan soal dan masalah. Sistem pembelajarannya satu tahun dibagi menjadi tiga caturwulan. Jadi,diharapkan agar siswa dapat menerima materi pelajaran yang lebih banyak.Beban belajar siswa yang dianggap terlalu berat menyebabkan bertebarannya berbagai macam kritik terhadap kurikulum ini.

8.Kurikulum 2004

Kurikulum ini dikenal dengan sebutan Kurikulum Berbasis Kompetisi (KBK). Menurut Depdiknas, KBK adalah seperangkat rencana pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah. Setiap mata pelajaran memiliki rincian kompetensi apa yang harus dicapai oleh siswa. Namun, terdapat kerancuan pada sistem ini. Alat ukur pencapaian kompetensi siswa hanya berupa Ujian Akhir Sekolah dan Ujian Nasional yang jawaban dari soalnya adalah pilihan ganda. Jika tujuannya adalah mengasah kompetensi siswa, seharusnya alat ukurnya lebih banyak praktik atau soal uraian agar pemahaman lebih terlihat.

9. Kurikulum 2006

Pada tahun 2006, KBK dihentikan dan diganti oleh KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Jika dilihat, kurikulum ini tidak jauh berbeda dengan Kurikulum 2004. Hanya saja KTSP lebih memberi kebebasan kepada guru untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan, kondisi siswa, dan kondisi sekolah. Depdiknas telah menetapkan kerangka dasar (KD), standar kompetensi kelulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) untuk setiap mata pelajaran dalam satuan pendidikan. Jadi, sistem pembelajaran dan silabus merupakan wewenang dari sekolah dikoordinasikan dan disupervisi oleh pemerintah Kabupaten/Kota. Pada akhir tahun 2012, KTSP akhirnya diganti dengan kurikulum baru karena diangap kurang berhasil.

10. Kurikulum 2013

Kurikulum 2013 atau biasa disebut dengan Kurtilas merupakan peralihan pemerintahan antara Presiden SBY dan Presiden Jokowi. Kurtilas memiliki empat aspek penilaian, yaitu pengetahuan, sikap, keterampilan, dan perilaku. Anies Baswedan sempat menghentikan pelaksanaan Kurtilas di beberapa sekolah untuk mengevaluasi ulang kurikulum ini. Pada tahun 2016, kurikulum ini telah direvisi dan kembali diberlakukan di beberapa sekolah.(Sumber: Litbang Dikbud)