Bagikan:

JAKARTA - Dalam waktu 24 jam, 10-11 Februari 2022, pembelian pesawat tempur buatan negara Barat senilai 22 miliar dolar AS atau sekitar Rp315,2 triliun diumumkan oleh Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Kontrak besar itu berupa pembelian 42 jet tempur ringan Rafale dari Prancis senilai 8,1 miliar dolar AS (Rp116,04 triliun), dan 13,9 milar dolar AS (Rp199,14 triliun) untuk 36 jet tempur kelas berat F-15 Eagle X (EX) dari Amerika Serikat.

Armada Angkatan Udara Indonesia saat ini diperkuat 49 jet tempur, yang dibagi dalam empat skuadron. Dengan penambahan 72 jet Rafale dan F-15 tersebut, Indonesia bukan hanya meremajakan kekuatan tempur udara namun bakal menambahkan skuadron tempur baru. Hingga 2024, Indonesia diharapkan memiliki delapan skuadron jet tempur yang masing-masing berkekuatan 16 pesawat.

Menhan RI Prabowo Subianto bersama Menteri Angkatan Bersenjata Republik Perancis Florence Parly saat menyaksikan penandatanganan MoU antara PT DI dengan Dassault(Foto: ANTARA/Syaiful Hakim)

Kekuatan utama pesawat tempur Indonesia saat ini ditopang oleh 33 F-16 Fighting Falcon dan F-5 Tiger dari Amerika Serikat yang merupakan jet serang kelas ringan, serta 11 Sukhoi Su-27 dan Su-30 dari Rusia yang kelas berat.

"Kami senang sekali Indonesia memilih Prancis sebagai mitra dalam program modernisasi alutsista, khususnya untuk pesawat tempur. Saya yakin perusahaan Indonesia dapat menjalin kemitraan untuk mendukung program modernisasi alutsista TNI yang lain demi mengembangkan industri strategis nasional Indonesia," kata Florence Parly, Menteri Pertahanan Prancis soal kontrak pembelian Rafale oleh Indonesia seperti dikutip Antara.

Rusia dan Su-35 Tergeser

Sebenarnya pada Februari 2018, Indonesia Sudah menandatangani kontrak pengadaan pesawat tempur Su-35 dari Rusia. Indonesia berencana membeli 11 Su-35 dengan nilai kontrak 1,1 miliar dolar AS atau sekitar Rp15,7 triliun. Pengiriman pertama SU-35 dijadwalkan akhir 2019, untuk selanjutnya dilakukan berjangka. Tetapi akhirnya kontrak kerjasama tersebut batal.

“Mengenai Sukhoi Su-35, dengan berat hati, ya, kami membatalkan rencana itu. Kami tidak bisa terus membicarakannya,” kata Kepala Staf TNI Angkatan Udara, Marsekal Fadjar Prasetyo pada 25 Desember 2021.

Pembatalan tersebut karena muncul ancaman dari Amerika Serikat, berupa sanksi ekonomi. Amerika Serikat berdasarkan Undang-undang Melawan Musuh Amerika Melalui Sanksi (Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act/CAATSA) yang disahkan pada 2017, akan memberikan sanksi kepada negara manapun yang membeli persenjataan dari Rusia. CAATSA disahkan enam bulan sebelum Indonesia menandatangani kontrak pembelian Su-35 dari Rusia.

CAATSA benar-benar memanfaatkan posisi Amerika Serikat sebagai negara adi daya, yang berada di jantung sistem keuangan dunia untuk mempengaruhi penjualan senjata global. Amerika berhak mengancam siapapun yang membeli senjata dari Rusia dengan ancaman perang ekonomi.

Pesawat tempur Sukhoi Su-35 yang batal diberi Indonesia dari Rusia. (Foto: Wikipedia)

Padahal pada 2018, Menhan Amerika Serikat waktu itu, James Norman Mattis mengatakan bahwa Indonesia tidak akan terkena sanksi embargo akibat pembelian Su-35 dari Rusia. Kenyataan yang dialami Indonesia ternyata berbeda, karena Amerika ternyata mengeluarkan ancaman embargo.

Indonesia pernah merasakan embargo Amerika Serikat setelah dianggap melakukan pelanggaran HAM berat di Timor Timur pada 1999. Negeri Paman Sam menghentikan pasokan suku cadang peralatan militer Indonesia, yang sejak akhir 1960-an berkiblat ke Amerika Serikat. Pesawat-pesawat tempur F-5 Tiger dan F-16 Fighting Falcon mengalami kesulitan terbang akibat embargo tersebut.

Sebab itu kebijakan pembelian persenjataan, termasuk pesawat termpur, lantas bergeser ke Rusia. Indonesia mendiversivikasi armada pesawat tempur dengan membeli Su-27 dan Su-30 dari Rusia. Tetapi kemudian Amerika punya CAATSA, yang terbukti ampuh memberikan tekanan kepada negara manapun di dunia yang mencoba memalingkan pembelian persenjataan ke Rusia.

Cengkeraman Barat di Asia Tenggara

Kehadiran Prancis di Indonesia, semakin memperkuat hegemoni blok Barat di Asia Tenggara. Pemilihan Prancis sebagai pemasok pesawat tempur untuk Indonesia, jelas menggantikan Rusia yang semula sempat berbunga-bunga.

Prancis akan menjadi pemasok utama pesawat tempur ringan, sementara untuk pesawat tempur berat akan tetap menjadi jatah Amerika Serikat dengan F-15 EX. Penjualan Rafale ke Indonesia secara khusus menguntungkan Amerika Serikat, yang tidak hanya berhasil menyingkirkan Rusia namun juga kembali memperkuat pertahanan sekutunya.

Pesawat tempur Rafale milik Angkatan Udara Yunani. (Foto: Dassault Aviation/V. Almonsa)

Amerika sedang kesulitan untuk mendamaikan Prancis dan Australia, yang bersitegang akibat pembatalan pembelian kapal selam Prancis oleh Australia. Sekarang dengan pembelian 42 Rafale oleh Indonesia, posisi Prancis kembali aman.

Bagi Indonesia harga untuk menebus ancaman sanksi embargo Amerika lewat CAATSA sangat mahal. Pembelian 42 Rafale yang per pesawat berharga 193 juta dolar AS pasti menguras keuangan negara. Belum lagi F-15 EX yang merupakan salah satu pesawat tempur termahal di dunia, dengan harga per buahnya mencapai 386 juta dolar AS. Bandingkan dengan Su-35 yang berharga 100 juta dolar AS per pesawat.

Keputusan Indonesia membeli Rafale dan F-15 EX adalah bukti kekuatan cengkeraman ekonomi Amerika Serikat di Bumi Pertiwi. Hanya dengan mengancam, Amerika dan sekutunya bisa mendapatkan sangat banyak keuntungan, dalam hal ini industri militer.

Pesawat F-15. (Foto: William R. Lewis/U.S. Air Force)

Perlu diketahui, pembelian pesawat tempur oleh Indonesia dengan nilai total hingga 22 miliar dolar AS hampir menyamai anggaran belanja alat perang dari dua klien terbesar senjata buatan Amerika di Asia, yaitu Arab Saudi dan Jepang. Meskipun begitu, keputusan membeli Alat Utama Sistem Senjata Tentara Nasional Indonesia (Alutsista) yang sangat mahal tetap mendapatkan pujian.

“"Pembelian pesawat tempur dari berbagai negara seperti dari Perancis dan Amerika Serikat merupakan strategi yang jitu untuk mengimplementasikan balancing of power pada tataran regional dan global," kata pengamat militer, Susaningtyas Kertopati soal pembelian 42 pesawat tempur Rafale dan 36 F-15 EX seperti dikutip Antara.