Bagikan:

JAKARTA - Ucapan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Dudung Abdurachman yang tak segan mencegah radikalisme dengan cara seperti era Presiden Soeharto menjadi sorotan publik. Selain dianggap tak sesuai tupoksi sebagai TNI, pemikiran Dudung juga dinilai usang.

Sebagai upaya untuk mencegah adanya gerakan radikalisme, Jenderal Dudung bakal memerintahkan seluruh prajurit TNI AD turun tangan. Mantan Pangdam Jaya tersebut akan meminta para prajurit TNI AD hingga tingkat yang paling bawah atau Babinsa untuk peka terhadap perkembangan situasi.

Dudung menambahkan, dirinya pun tak segan akan menerapkan sistem seperti era Presiden Soeharto. Namun demikian, ia tak menjelaskannya secara detail.

"Saya bilang, kalau ada informasi-informasi, saya akan berlakukan seperti zaman Pak Soeharto dulu. Para babinsa itu harus tahu, jarum jatuh pun dia harus tahu," ujar Dudung dikutip KompasTV. Lantas bagaimana radikalisme di era Orde Baru sebenarnya?

Radikalisme era Orba

Oki Wahju Budijanto dan Tony Yuri Rahmanto dalam penelitiannya yang berjudul Pencegahan Paham Radikalisme Melalui Optimalisasi Pendidikan Hak Asasi Manusia di Indonesia (2021) mengungkapkan organisasi radikal memulai debutnya pada awal era reformasi. Menurutnya sebelum reformasi dikumandangkan, organisasi kemasyarakatan berpaham radikal tidak dapat menunjukkan eksistensinya.

"Mereka seakan tumbuh seiring dengan berjalannya demokratisasi sejak rezim Soeharto berakhir. Gerakan organisasi radikal tersebut seakan menjadi virus yang menggerogoti semangat demokrasi di Indonesia," tulis Oki dkk. "Saat Orde Baru tinggal sejarah, gerakan radikal marak menyusup secara senyap dalam forum keilmuan seperti di kampus-kampus."

Senada dengan itu, Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya, Masdar Hilmy dalam Radikalisme Agama dan Politik Demokrasi di Indonesia Pasca Orde Baru (2015) mengatakan pertumbuhan gerakan radikalisme pasca Orde Baru tak bisa lepas dari pergantian rezim yang semakin terbuka. "Tanpa kehadiran era Reformasi, hampir dapat dipastikan kelompok-kelompok garis keras tak akan berani muncul ke permukaan akibat represi politik yang dilakukan oleh rezim berkuasa," tulisnya.

Kemunculan gerakan radikalisme agama baik yang klandestin seperti Jamaah Islamiyah maupun yang terang-terangan seperti Laskar Jihad, Laskar Jundulloh, dan lain-lain merupakan dampak turunan dari semakin terbukanya iklim politik dan demokrasi pasca tumbangnya Orde Baru. "Keterbukaan politik yang diintroduksi oleh Presiden Habibie, penerus Presiden Soeharto, terbukti memberi semangat baru bagi kelompok masyarakat untuk menyuarakan berbagai aspirasi dan kepentingan politiknya secara bebas dan leluasa."

Ilustrasi foto (Sumber: Antara)

Menurut Masdar keterbukaan politik saat ini tak hanya membuka peluang bagi aliran atau ideologi keagamaan saja, tetapi juga gerakan antitesis terhadapnya. Ia mencontohkan kemunculan kelompok PANGUNCI (Paguyuban Peminum Arak Lokal) yang jelas bukan merepresentasikan aliran keagamaan. "Bahkan kemunculan kelompok agama semacam ini dapat dimaknai sebagai antitesis terhadap gerakan keagamaan yang marak di kota budaya ini."

Selain keran politik yang semakin terbuka, Masdar mengatakan ada pula yang mengaitkan kemunculan gerakan radikalisme dengan kondisi negara yang melemah. "Serangkaian peristiwa kekerasan dan konflik bernuansa agama muncul pada saat rezim Orde Baru tumbang. Peristiwa bom di Jakarta (2000) dan Bali I (2002) juga muncul di awal-awal era Reformasi."

Memang di era Presiden Soeharto penataan kehidupan agama di ruang publik jauh lebih ketat. Pada masa itu pula Indonesia menerapkan Undang-Undang anti-subversi. UU itulah yang dianggap membuat bibit-bibit radikalisme tak bisa tumbuh.

Tapi pada praktiknya, UU itu juga yang dianggap membelenggu kemerdekaan dan kebebasan publik. "Seiring dengan tumbangnya Orba dan pergantian rezim ke era Reformasi, UU ini menjadi salah satu yang diaspirasikan untuk dicabut," tulis Masdar.

Tak relevan

Kembali ke persoalan ucapan Jenderal TNI Dudung Abdurachman, Pengamat Politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menilai dari ucapan KSAD Dudung, bisa saja ia ingin membangun konstruksi romantisme zaman Orba. Sebab waktu itu, TNI merupakan lembaga yang berkuasa.

"Mungkin saja karena di era Orde Baru itu TNI yang berkuasa. KSAD bisa saja ingin membangun konstruksi romantisme zaman Orba," kata Ujang dihubungi VOI.

Namun Ujang menilai ide KSAD Dudung menerapkan gaya Orba untuk mencegah radikalisme merupakan pikiran yang jadul. Lagi pula, masalah radikalisme itu bukanlah ranah TNI, sehingga Ujang mengimbau supaya KSAD Dudung menyerahkan masalah itu pada polisi saja.

KSAD Dudung Abdurachman (Sumber: ANTARA)

Memang menurut amanat UU Terorisme, pada hakikatnya kewenangan untuk mengatasi radikalisme merupakan tupoksi dari kepolisian dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Untuk itu TNI, kata ujang seharusnya fokus saja kepada tupoksinya sendiri.

"Itu pikiran jadul. Pikiran gaya Orba. Dan soal radikalisme itu tugasnya Polisi. Biarkan polisi yang bekerja dengan cara profesional," ujar Ujang. Apalagi di era Orba, salah satu cara memukul radikalisme adalah dengan menggunakan UU anti subversi.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin mengatakan beleid semacam itu tidak cocok diterapkan pada era sekarang. Kalau UU seperti itu diterapkan bisa-bisa orang yang tak bersalah bisa dituduh subversif jika tidak disukai pemerintah.

"Hukum atau aturan itu harus sesuai dengan konteks dan zamannya. Dulu Orba dianggap ideal, karena otoriter. Tidak demokratis seperti saat ini. Dulu seenaknya, sekarang banyak yang mengawasi. Tak bagus lah, tak cocok," pungkas Ujang. 

*Baca Informasi lain tentang TNI AD baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya