Bagikan:

JAKARTA - Belakangan ini wacana memasukkan esports ke dalam kurikulum sekolah menjadi perbincangan. Isu itu merebak di tengah perancangan kurikulum baru oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang bakal lebih mengedepankan kecakapan nalar kritis.

Pengurus Besar Esports Indonesia (PBESI) berniat memasukkan esports di kurikulum sekolah. Nantinya, esports akan masuk ke kegiatan ekstrakulikuler sekolah di jenjang SMP, SMA dan SMK. "esports juga masuk di kurikulum sekolah kejuruan," kata Ashadi Ang dalam webinar "Membangung Jenjang Karir Atlet Esports & Prestasi Bangsa," Rabu 24 November.

Ashadi mengatakan esports di jenjang pendidikan bisa digunakan sebagai wadah pengembangan potensi. Ditambah lagi, menurutnya pemberian materi dasar sebagai pondasi edukasi tentang dunia esports, dapat dilakukan agar siswa memiliki pola pokir yang benar.

"Kami ingin memberikan sebuah edukasi sejak dini... Artinya, ketika kita bicara esports, ini ekosistemnya sebesar ini, peluangnya sebesar ini, serta pondasi-pondasi apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan supaya menjadi atlet sukses," kata Ashadi.

Ashadi bilang, komponen dalam esports luas. Tak hanya pemain profesional, tapi juga ada caster atau komentator. Hajat PBESI ini akan disampaikan kepada Kemendikbud dan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) sebelum bisa terlaksana.

Ilustrasi (Unsplash/Ella Don)

Kurikulum fleksibel

Di lain tempat, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Nino Aditomo mengatakan klaim esports akan dijadikan kurikulum belum berizin. Walaupun memang Kemendikbud tengah merancang kurikulum baru yang disebutkan oleh Mendikbud pada Hari Guru Nasional.

Kurikulum yang dimaksud itu berencana dibuat lebih fleksibel dan disesuaikan dengan kebutuhan siswa. "Kami mengikuti prinsip desain less is more. Prinsipnya, kurikulum yang dibuat seharusnya hanya mengunci hal-hal yang esensial. Tujuannya adalah memberi ruang yang besar bagi sekolah untuk merancang kurikulumnya sendiri," kata Nino lewat akun Twitternya, @ninoaditomo.

Nino menjelaskan Kemendikbud akan lebih mengedepankan kecakapan nalar kritis. "Ini mencakup kemampuan mencari, menganalisis, dan mengevaluasi informasi dan gagasan. Juga kemampuan metakognitif untuk merefleksikan, mengevaluasi, dan merevisi pemikirannya sendiri."

Sehingga yang terpenting menurutnya adalah pemberian literasi yang lebih dari esports. Kerangka kurikulum yang ingin diubah oleh Kemendikbud adalah sekolah mampu mengembangkan materi dan metode pembelajarannya.

Untuk itu tak menutup kemungkinan esports pun bisa masuk sebagai konten pengembangan kurikulum sekolah asalkan meningkatkan nalar kritis. "Konten spesifik seperti esports bisa saja digunakan oleh sekolah sebagai bagian dari kurikulum mereka. Yang penting adalah materi tersebut digunakan untuk mengembangkan kecapakan esensial seperti nalar kritis, kreativitas, dan gotong royong." Lalu apakah esports dapat meningkatkan nalar kritis?

Esports hari ini

Perkembangan esports di Asia Tenggara memang signifikan. Asiasoft misalnya, operator game online ini mencatat sudah memiliki 40 juta ID di Asia Tenggara dari 28 jenis gim yang mereka publikasikan.

Indikator lain pesatnya perkembangan esports adalah menjadi salah satu cabang olahraga yang dipertandingkan di Asian Games 2018. Penetapan esports sebagai cabor telah disepakati Lembaga Olahraga Olimpiade Asia (Olympic Council of Asia/OCA) sejak 17 April 2017.

Kalau dulu sebuah permainan digital ini lebih akrab disebut video game maka sekarang sudah berubah. Istilah khusus yang digunakan untuk menyebut video game sekarang lebih familiar dengan sebutan esports atau kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yakni Olahraga Elektronik.

Fadillah Kurniawan dalam Jurnal Olahraga Prestasi (2019) mendefinisikan esports sebagai bidang olahraga yang menggunakan gim sebagai bidang kompetitif utama. Sementara Reza Wahyudi (2017) lebih lanjut menjelaskan bahwa esports merupakan olahraga digital yang terorganisir dengan pelatihan khusus seperti halnya atlet profesional sepak bola, bulutangkis, ataupun basket.

esports kini sedang berkembang pesat di Indonesia. Terbukti dari beberapa tim esports Indonesia yang cukup moncer di kalangan internasional. Sebut saja tim Recca eSport, NXL, atau CS:GO yang kerap menyabet juara di turnamen eSport bergengsi, baik skala nasional maupun internasional.

Memang saat ini pengkategorian esports ke dalam olahraga masih menjadi perdebatan. Menurut Fadillah, penggunaan istilah "sport" selalu menimbulkan beragam argumen karena banyaknya perbedaan interpretasi terhadap olahraga. Dan salah satu argumen terkuat untuk menyebut esports sebagai olahraga menurut Fadil adalah dengan melihat jumlah penonton saat bertandingan berlangsung.

Ilustrasi (Unsplash/Ed Us)

Fadillah mencatat pada kejuaraan dunia gim Dota 2 pada 2019, setidaknya sudah ditonton oleh 20 juta orang. Kemudian pada kejuaraan gim League of Legends (LoL), ada 27 juta yang menonton laga finalnya dan 11,2 juta orang menonton secara langsung. "Bisa dibilang esports sudah menjadi mainstream," tulisnya. Lalu kembali ke pertanyaan inti, adakah pengaruh esports terhadap kemampuan akademik siswa?

Pengaruh esports

Salah satu penelitian soal pengaruh esports terhadap prestasi belajar pernah dibuat oleh Khairul Azwar dan Mailindawati. Penelitian itu lantas dimuat Jurnal Visipena pada Desember 2020.

Khairul dan Mailindawati menggelar riset itu di Kota Lhokseumawe, Aceh. Mereka mengumpulkan 150 siswa yang berada di SMPN 2, SMAN 1, dan SMKN 2 Kota Lhokseumawe sebagai subjek penelitiannya.

Penelitian itu menunjukkan bahwa dari 56 responden yang intensites bermain esports memiliki indeks prestasi belajar yang kurang baik sebanyak 68,6 persen. "Dan dari 24 responden yang rendah intensitas bermainnya sebagian besar indeks prestasi belajarnya baik yakni sebesar 23,8 persen," tulisnya.

Selain itu survei tersebut juga menunjukkan esports dapat meningkatkan emosional siswa. "56 responden yang intensitas bermain esports games tinggi sebagian besar tingkat emosionalnya tinggi yakni sebanyak 70,7 persen," tulis Khairul dan Mailindawati.

"Hasil yang diperoleh bahwa game online berdampak pada aktivitas belajar mengajar siswa terganggu. Sebab, lebih menyenangi game online, kurang semangat dalam proses belajar, kurang perhatian terhadap yang dijelaskan guru, dan keinginan menjawab pertanyaan dari guru sangat minim sekali."

Khairul dan Mailindawati menyebut penelitiannya ini mendukung penelitian sejenis yang dibuat Rocky Sainaqri (2014) tentang "Pengaruh Bermain  Game  Online  terhadap  Aktivitas  Belajar  Siswa  di  Kelas  VIII  SMP  Negeri 1 Jatiroto Kabupaten Wonogiri" dan Fernandor (2018) tentang hubungan bermain game online denga perilaku sosial dan prestasi belajar.

*Baca Informasi lain tentang PENDIDIKAN baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya