JAKARTA- Dobandingkan ketimbang masa-masa sebelumnya, penyebaran teori konspirasi semakin pesat dari hari ke hari. Sebagai netizen dari satu atau beberapa media sosial, juga makin rentan terpapar dampaknya.
Apalagi di bawah tekanan pandemi yang kian meningkat. Manusia, yang kini makin banyak mencari informasi lewat media sosial, mudah percaya terhadap teori-teori tersebut.
Sehingga, temuan penelitian yang diterbitkan oleh The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene tahun 2020 lalu menyebutkan bahwa konspirasi seputar pandemi mengakibatkan kematian dari lebih 800 orang. Jika mengingat kondisi saat ini, jumlah tersebut tampaknya akan terus bertambah.
Meskipun beberapa penyebar teori konspirasi meyakini bahwa dirinya adalah ‘pemikir bebas’ atau ‘free thinker’, tapi penelitian psikologi terbaru mengisyaratkan hal sebaliknya.
Diterbitkan oleh Departemen Psikologi Universitas Paris Nanterre, penelitian tersebut berhasil menunjukkan tren antara rendahnya kemampuan berpikir kritis yang berbanding lurus dengan semakin tingginya kepercayaan terhadap teori konspirasi.
Sah Dianggap Pemikir Bebas, Tapi Bukan Pemikir Kritis
“Teori konspirasi mengacu pada upaya untuk menjelaskan penyebab utama dari sebuah fenomena penting (sosial, politik, iklim, dll) dengan melimpahkan suatu sindikat tersembunyi atau organisasi jahat dan berkuasa yang merencanakan serta menjalankannya secara diam-diam,” terang psikolog Universitas Nanterre Anthony Lantian dalam jurnal ilmiah bikinannya.
Dari penelitian tersebut, para ilmuwna mengujicoba kemampuan berpikir kritis dari 338 mahasiswa sarjana menggunakan tes nalar kritis Ennis-Weir versi Perancis.
Kemudian, para peneliti merekam skor tingkat kepercayaan mahasiswa terhadap teori konspirasi serta penilaian kemampuan nalar kritis.
Perlu diketahu, nalar kritis –analisa obyektif dan evaluasi atas sebuah situasi- memerlukan sejumlah kemampuan kognisi tertentu. Termasuk kemampuan untuk mencerna informasi relevan versus yang tidak relevan, berpikir secara sistematis, membandingkan perspektif berbeda, mengenali dan menghindari kesalahan berpikir.
Tak hanya itu, critical thinking juga membutuhkan kemampuan untuk menjangkau apa yang sudah terlihat pasti, sadar lalu menghindari bias, serta siap mengubah pikiran jika muncul bukti baru.
“Semakin orang percaya terhadap teori konspirasi, semakin buruk pula hasil tes nalar kritis mereka,” ungkap Eric Dolan via PsyPost. Menurut Eric, tes ini bertujuan memiliki karakter dengan format akhir terbuka dan menekankan pada beberapa area dari kemampuan nalar kritis dalam konteks argumentasi.
BACA JUGA:
Memperkuat Penelitian Sebelumnya
Jika hanya mengandalkan satu penelitian yang ditarik dari data berjumlah ratusan orang, mungkin akan sulit untuk dipercaya. Hanya saja, temuan tim Universitas Nanterre sejalan dengan temuan dari penelitian sebelumnya diterbitkan Journal Applied Cognitivve Psychogy.
Dalam karya ilmiah berjudul ‘Why Education Predicts Decreased Belief in Conspiracy Theories’ tersebut, Jan-Willem van Prooijen menemukan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin rendah pula tingkat kepercayaan mereka terhadap teori konspirasi, vise versa.
Kajian lain, yang dirancang khusus oleh psikolog asal Yale University, Dan Kahan dan tim, untuk mengurai bias informasi dalam kelompok berdasar tingkat pemahaman, menemukan hasil serupa. Partisipan yang mencetak skor tertinggi dalam komprehensi sains –yang mana membutuhkan kemampuan nalar kritis – turut menunjukkan nalar mandiri atau independent thinking.
Berdasarkan temuan-temuan tersebut, Eric Dolan dan tim pun menyimpulkan bahwa kemampuan nalar kritis mampu membantu individu untuk mencari kontradiksi –alih-alih percaya secara buta dengan teori konspirasi, sepanjang mampu menantang informasi yang disampaikan pihak berwenang.