JAKARTA - Hubungan Soekarno-Soeharto tak harmonis. Gerakan 30 September (G30S) hingga Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) jadi muaranya. Namun Soeharto sempat bertikad baik memulihkan hubungan dengan Bung Karno lewat perantara istri mudanya, Ratna Sari Dewi. Keduanya bertemu di lapangan golf di Rawamangun. Tapi pertemuan itu mengundang masalah. Istri Soeharto, Siti Hartinah (Ibu Tien) terbakar api cemburu karenanya.
Posisi Soekarno sebagai orang nomor satu di Indonesia semakin goyah selepas peristiwa G30S. Kondisi itu diperparah dengan ekonomi Indonesia yang semakin merosot. Pun karena gaya hidup istri-istri Bung Karno yang kelewat mewah. Simpati rakyat Indonesia kepada Soekarno jadi menurun. Di tengah kekalutan itu, kaum mahasiswa mulai melirik sosok Soeharto.
Bagi mahasiswa angkatan 66, Soeharto laksana perpanjang tangan rakyat kepada pemerintah. Apalagi, Soeharto dinilai tanggap oleh mahasiswa ketika G30S mengancam kehidupan berbangsa. Beda mahasiswa, beda Soekarno. Aksi Soeharto tak disenangi oleh Bung Karno. Hubungan kurang harmonis keduanya diungkap oleh ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko
Pada saat peristiwa G30S melanda, Bambang paham benar jika Bung Karno tak begitu menyukai Soeharto yang baru saja mengambil alih pimpinan TNI AD yang ditinggal oleh Jenderal Ahmad Yani pada 1 Oktober 1965. Bambang pun sampai tak mau membahas nama Soekarno ketika berbicara kepada Bung Karno. Takut Putra sang Fajar marah besar.
“Saya sengaja waktu itu tidak menyinggung nama Pak Harto. Ini adalah soal psikologis. Saya telah mengenal betul sifat Bung Karno yang kadang-kadang keras hati. Sama dengan keras hatinya Pak Harto bila mempertahankan suatu prinsip yang dianggapnya benar. Bung Karno pada saat itu sedang marah pada Pak Harto yang tidak mengizinkan Pak Umar dan Pak Pranoto menghadap Bung Karno, semua saran apa pun dari Pak Harto pasti tidak akan diterima Bung Karno.”
“Sebaliknya Bung Karno tahu betul bahwa saya orang pasukan yang telah banyak berpengalaman dalam operasi-operasi taktis militer. Saya berharap dengan menggambarkan keadaan taktis di lapangan, Bung Karno mau mendengar saran saya. Dan yang terpenting bagi kami waktu itu adalah keluarnya Bung Karno dari Halim,” terang Bambang Widjanarko dalam buku Sewindu Dekat Bung Karno (1988).
Setelahnya, Bung Karno mengundang Soeharto dan Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra ke Istana Bogor pada 2 Oktober 1965. Pada kesempatan itu, Soeharto dikatai "koppig" (keras kepala) oleh Soekarno. Musababnya karena Soeharto menghalang-halangi Pranoto dan jenderal AD lainnya menuju kawasan Halim Perdanakusma menemui presiden kemarin.
Soeharto pun cukup percaya diri. Ia mengakui dirinya mengambil inisiatif sendiri untuk mengisi kekosongan pimpinan AD. Soekarno juga tambah marah kepada Soeharto karena mengerahkan pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) menyerang Pangkala udara Halim Perdanakusuma saat presiden ada di sana. Supaya tak berlarut-larut, Bung Karno mengalah. Ia membagi tugas antara Pranoto dan Soeharto.
“Keputusan rapat: Presiden/Pangti memutuskan, bahwa pimpinan AD langsung dipegang oleh Pangti, sedangkan Mayor Jenderal Soeharto diperintahkan untuk menjalani tugas operasi militer, kemudian kepada saya ditugaskan sebagai caretaker Menpangad dalam urusan sehari-hari,” tulis Pranoto Reksosamodra dalam buku Memoar Mayor Jenderal Raden Pranoto Reksosamodra (2002).
Ibu Tien cemburu
Hubungan antara Soekarno dan Soeharto tambah renggang ketika Supersemar keluar pada 1966. Sahabat Soeharto Bob Hasan tampak prihatin dengan hubungan kedua tokoh bangsa tersebut. Bob Hasan lalu memiliki ide untuk mendamaikan keduanya. Ia mencoba mengajak istri termuda Bung Karno, Ratna Sari Dewi bermain golf di Rawamangun.
Namun, pada saat yang sama, Bob Hasan juga mengundang Soeharto untuk bermain golf. Diketahui niat Bob Hasan adalah baik, yaitu demi pulihnya hubungan baik antara Soeharto dan Bung Karno, katanya. Kebetulan yang dijadikannya medium adalah Ratna Sari Dewi. Keduanya akhirnya berjumpa di lapangan golf pada 20 Maret 1966.
Tapi, misi itu tak berjalan mulus. Penyebabnya karena Ratna Sari Dewi juga keras kepala. Karena itu, titik temu rasanya sukar didapat. Menurut Sejarawan Jepang, Aiko Kurasawa kelebihan Ratna Sari Dewi tak Cuma dikecantikannya saja, tapi juga keberaniannya. “Pada waktu itu Ibu Dewi orang yang sangat berani. Bukan hanya cantik tapi berani.” Cerita Aiko Kurasawa.
“Sekarang saya sedikit mau cerita tentang Ibu dewi Soekarno. Kebetulan saya sempat wawancara dengan beliau. Mungkin 15 kali. Terhitung sering. Pernah pula Ibu Dewi meminta saya menuliskan otobiografinya dia. Jadi Ibu Dewi minta saya untuk mewawancara dia. Disitu beliau banyak mengungkap rahasia juga. Jadi kebanyakkan tulisan saya (tentang peristiwa 1965) sumbernya dari ibu dewi.” Ungkap Aiko Kurasawa dalam Kuliah Umumnya di Universitas Pendidikan Ganesha pada 7 September 2017.
Meski begitu, Soeharto memberikan tiga opsi kepada Dewi sehubungan dengan nasib suaminya. Pertama, pergi ke luar negeri untuk beristirahat. Kedua, tetap tinggal sebagai presiden sebulan saja. Ketiga, mengundurkan diri secara total. Soeharto mengusulkan Dewi memilih opsi pertama dan menyarankan Jepang atau Mekkah sebagai tempat peristirahatan. Pemberian opsi itu telah dianggap oleh Ratna Sari Dewi sebagai tanda bahwa Soekarno di mata Soeharto telah kalah.
Masalah pun berlanjut. Pertemuan antara Soeharto dan Ratna Sari Dewi sampai ke telinga Ibu Tien. Sebagai wanita, Ibu Tien langsung terbakar api cemburu. Apalagi Ratna Sari Dewi masih muda dan memiliki kecantikan yang luar biasa. Imbasnya, Ibu Tien mediamkan Soeharto sampai berhari-hari. Adik Soeharto, Probosutedjo sampai tak tega dengan Soeharto.
Akhirnya Probosutedjo mendatangi Bob Hasan dan menceritakan bahwa idenya malah jadi petaka bagi keluarga Soeharto. Lantaran itu Probosutedjo tempat pula turun tangan untuk menenangkan istri dari Soeharto yang sering dipanggilnya Mbakyu.
“Di rumah, saya segera menemui Mbakyu Harto dan berusaha menjelaskan maksud baik Bob Hasan mempertemukan Mas Harto dan Dewi. Mbakyu Harto akhirnya bisa mengerti dan mau bicara lagi dengan suaminya,”
“Demikianlah, bulan demi bulan berjalan dengan hubungan Mas Harto dan Bung Karno yang seperti ‘terinfeksi.’ Toh reli-reli emosi itu akhirnya pecah juga menjadi pernyataan terbuka. Dalam satu pertemuan keduanya di Istana Negara pada bulan Februari 1966, Mas Harto kembali memburu ketegasan Bung Karno soal PKI. Dan lagi-lagi, tak membawa hasil,” tutup Probosutedjo sebagaimana ditulis Alberthiene Endah dalam buku Saya dan Mas Harto (2013).
*Baca Informasi lain soal ORDE BARU atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.