Bagikan:

JAKARTA - Kekerasan yang terjadi sepanjang akhir 1965 sampai awal 1966 bisa dilihat sebagai awal pembangunan sebuah rezim baru. Banyak pihak yang menyebut peristiwa peralihan dari rezim Orde Lama ke Orde Baru ini sebagai kudeta merangkak oleh Jenderal Soeharto. Sang Jenderal tak langsung "menyerang" Istana melainkan menggerogoti kekuasaan Soekarno dari bawah, kemudian menjadikan para loyalis Soekarno sebagai tahanan politik, sampai akhirnya betul-betul mengebiri kekuasaan Bung Besar. 

John Roosa dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (2008) menyebut Soeharto dan para perwira tinggi Angkatan Darat lainnya menggunakan Gerakan 30 September (G30S) sebagai dalih untuk menegakkan kediktatoran militer di negeri ini. "Mereka perlu menciptakan keadaan darurat nasional dan suasana yang sama sekali kacau jika hendak menumbangkan seluruh generasi kaum nasionalis dan menyapu bersih cita-cita kerakyatan Presiden Soekarno," tulis Roosa.

Soeharto dan para pemimpin militer lainnya mengetahui bahwa mereka akan menghadapi perlawanan hebat jika militer melancarkan kudeta terhadap Sukarno secara langsung. Alih-alih menyerang istana terlebih dulu, Soeharto justru "menyerang masyarkaat dengan kekerasan secepat kilat, lalu dengan menginjak-injak penduduk yang dicengkam ketakutan dan kebingungan melenggang masuk ke istana."

Namun Soeharto menyangkal bertanggung jawab atas kekerasan massal 1965-66. Dalam catatan resmi yang disampaikan rezim Orde Baru dinyatakan bahwa “penumpasan PKI” telah dilakukan melalui tindakan administratif dan tanpa pertumpahan darah. Orang yang dicurigai ditangkap, diperiksa untuk memastikan bersalah atau tidak, lalu dibagi dalam tiga golongan (A, B, dan C) sesuai tingkat keterlibatan masing-masing di dalam G30S, lalu dipenjarakan.

Tahanan Politik akibat peristiwa G30S di LP Cipinang antara tahun 1965-1966 (Sumber: Co Rentmeester)

Tapi seiring jatuhnya pemerintahan Soeharto pada Mei 1998, banyak fakta baru mulai terungkap. Tak sedikit penulis yang memanfaatkan kebebasan pers untuk menerbitkan tulisan-tulisan yang kritis terhadap versi resmi tentang peristiwa 1965. Salah satunya, Soebandrio, mantan wakil perdana menteri pertama di zaman Soekarno, yang dipenjara selama Soeharto berkuasa, menerbitkan analisisnya mengenai G30S pada 2001.

Kesaksian Soebandrio

Menurut Soebandrio dalam tulisannya yang bertajuk Kesaksianku Tentang G30S menuturkan, beberapa hari setelah G30S pembantaian terhadap anggota PKI dan keluarganya dimulai. PKI dituduh menjadi dalang G30S. Sejak itu Indonesia banjir darah.

"Yang digempur bukan hanya tokoh-tokoh PKI, tetapi semua yang berbau PKI dibantai tanpa proses hukum. Di kota, desa, dusun, di berbagai sudut negeri dilakukan pembantaian besar-besaran, suatu tindakan yang sangat mengerikan."

Pembantaian PKI dimulai beberapa saat setelah Presiden Soekarno mengumumkan (3 Oktober 1965) Pangkostrad Mayjen Soeharto dipercaya sebagai pelaksana Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). "Tidak disangka jika lembaga yudisial ini kelak menjadi sangat ditakuti rakyat. Hanya dengan menyebut Kopkamtib saja orang sudah ngeri."

Beberapa tahun berikutnya namanya diganti menjadi Bakorstanas, namun tetap saja nama yang menakutkan bagi masyarakat. Semua tindakan masyarakat yang tidak sesuai dengan keinginan Soeharto pasti ditumpas oleh Kopkamtib yang kemudian berubah nama menjadi Bakorstanas atau Bakorstanasda di daerah.

"Lembaga ini menjadi senjata Soeharto untuk menumpas orang-orang yang tidak setuju pada keinginannya. Perkembangan ini tentu di luar dugaan Bung Karno selaku pemberi kuasa," kata Soebandrio.

Mantan Wakil Perdana Menteri era Presiden Soekarno, Soebandrio (Sumber: Wikimedia Commons) 

Kuasa Soeharto menguat seiring munculnya Surat Perintah 11 Maret 1966 atau yang dikenal dengan Supersemar. Sampai kemudian keesokan harinya Soeharto kemudian mengumumkan pembubaran PKI.

Enam hari kemudian 15 menteri yang masih aktif ditangkapi. Alasannya, adalah agar para menteri itu jangan sampai menjadi korban sasaran kemarahan rakyat yang tidak terkendali.

Tetapi Soeharto juga menyampaikan alasan yang kontradiktif yakni: para menteri hanyalah pembantu presiden, bukan bentuk kolektif pemerintahan. Jadi bisa saja ditangkap. "Tuduhannya gampang: terlibat G30S/PKI. Tuduhan yang sangat ditakuti seluruh rakyat Indonesia sepanjang Soeharto berkuasa. Mengkritik kebijaksanaan pemerintahan Soeharto bisa dituduh PKI," kata Soebandrio.

15 menteri yang ditangkapi antara lain:

  1. Soebandrio (Wakil Perdana Menteri (Waperdam)-I merangkap Menlu, merangkap Kepala BPI)
  2. Waperdam-II Chaerul Saleh
  3. Menteri Tenaga Listrik S. Reksoprojo
  4. Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Sumardjo
  5. Menteri Keuangan Oei Tjoe Tat
  6. Menteri Bank Sentral dan Gubernur BI Yusuf Muda Dalam
  7. Menteri Pertambangan Armunanto
  8. Menteri Irigasi dan Pembangunan Desa Ir. Surahman
  9. Menteri Perburuhan Sutomo Martoprojo
  10. Menteri Kehakiman Andjarwinata
  11. Menteri Penerangan Asmuadi
  12. Menteri Urusan Keamanan Letkol Imam Syafi’i
  13. MenteriSekretarisFrontNasionalIr.Tualaka
  14. Menteri Transmigrasi dan Koperasi Ahmadi
  15. Menteri Dalam Negeri merangkap Gubernur Jakarta Raya Sumarno Sastrowidjojo

Suara dari penjara

Setelah ditangkap mereka langsung ditahan. Soebandrio sendiri kemudian diadili di Mahkamah Militer Luar Biasa dengan tuduhan subversi dan dihatuhi hukuman mati. Jalur hukum di atas vonis pengadilan - seperti naik banding dan kasasi - sengaja ditutup.

"Jelas saya sangat terpukul pada saat itu. Dari posisi orang nomor dua di Republik ini, saya mendadak sontak diadili sebagai penjahat dan dihukum mati," ujar Soebandrio.

Dirinya kemudian menjalani hukuman awal di Penjara Cimahi Bandung. Di sana Soebandrio bertemu orang-orang yang senasib dengannya. Salah satunya Lekol Untung yang jadi komandan G30S.

"Saya dan Untung sudah sama-sama divonis hukuman mati. Baik saya maupun Untung tidak diberi hak untuk menempuh jalur hukum yang lebih tinggi yakni naik banding, apalagi kasasi," tulis Soebandrio.

Sampai suatu hari di akhir 1966 Untung dijemput dari selnya oleh beberapa sipir. Ajalnya sudah dekat. Itu merupakan saat-saat terakhir Untung menjalani hidupnya. Dan Ahmad Durmawel, oditur militer yang mengadili Soebandrio, mengabarkan bahwa Soebandrio bakal mendapat giliran ekseskusi empat hari kemudian.

"Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih. Empat hari lagi kita ketemu lagi di sana katanya sambil menunjuk ke atas," tulis Soebandrio menirukan ucapan Untung. Kata Soebandrio, Untung berucap dengan suara bergetar. Matanya berkaca-kaca. Ia memang tak menangis, tapi Soebandrio tahu di dalam hati kondisinya sangat panik.

"Tentara yang gagah berani itu tidak menangis, tetapi saya tahu ia dalam kondisi sangat panik. Ia benar-benar tidak menyangka bakal dikhianati oleh Soeharto," tulisnya.

Setelah Untung dieksekusi, mukzizat datang kepada Soebandrio. Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson dan Ratu Inggris Elizabeth, di luar sepengetahuan Soebandrio, mengirimkan surat kawat kepada Soeharto.

"Intinya berbunyi demikian: Soebandrio jangan ditembak. Saya tahu, dalam G30S dia tidak terlibat... Ternyata kawat singkat itu ampuh luar biasa. Akhirnya saya tidak jadi ditembak mati," kata Soebandrio.

Dalih pembunuhan massal

Dalam memoarnya Suharto menulis bahwa strateginya "menumpas PKI" adalah “pengejaran, pembersihan dan penghan- curan.” Ia tidak memberi tahu pembaca bahwa ada orang yang tewas dalam proses itu. Film mengenai G-30-S yang disponsori pemerintah juga tidak menggambarkan adanya penangkapan dan pembunuhan massal.

Panel terakhir pada relief Monumen Pancasila Sakti memperlihatkan Letkol Untung di depan Mahmilub, seolah-olah proses hukum dengan kepala dingin merupakan satu-satunya bentuk reaksi militer terhadap G-30-S. Tidak ada tugu peringatan dibangun di Monumen Pancasila Sakti bagi ratusan ribu korban.

Saat menyinggung tentang kekerasan yang terjadi Suharto menjelaskannya sebagai sesuatu yang bersumber pada konflik dalam masyarakat. Dalam pidato pada 1971, ia menyampaikan analisis tentang sebab-musabab pembunuhan itu dalam satu kalimat singkat.

"Ribuan korban jatuh di daerah-daerah karena rakyat bertindak sendiri-sendiri. Juga karena prasangka-prasangka buruk antar golongan yang selama bertahun-tahun ditanamkan oleh praktek-praktek politik yang sangat sempit," kata Soeharto.

John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (2008) menyebut banyak orang Indonesia, bahkan yang biasanya kritis terhadap propaganda negara, mempercayai bahwa pembunuhan itu merupakan tindak kekerasan yang terjadi spontan dari bawah. Pembunuhan tersebut, kata Roosa, dianggap sebagai pengadilan liar barisan keamanan rakyat, yang membarengi usaha penupasan pemberontakan PKI oleh militer yang sangat terkendali dan terorganisasi dengan baik. 

"Karena ketidaktahuan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di daerah-daerah lain, orang yang menyaksikan pembunuhan besar-besaran yang diatur militer di daerah tempat tinggalnya bisa jadi menganggap pembunuhan tersebut sebagai pengecualian. Tidak adanya pembicaraan yang terbuka dan penyelidikan yang teliti terhadap pembantaian yang terjadi telah menimbulkan ketidakpastian yang besar tentang pola umum kejahatan ini," tulis Roosa. 

*Baca Informasi lain tentang ORDE BARU atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

MEMORI Lainnya