Bagikan:

JAKARTA - Kehidupan Ratna Sari Dewi tak bisa jauh dari kontroversi. Keputusannya menjadi istri kelima dari Soekarno mengundang banyak kritikan. Kebangsaan, masa lalu, hingga gaya hidupnya kerap dipermasalahkan. Apalagi keduanya menikah di tengah ekonomi Orde Lama merosot. Nada-nada protes bermunculan. Kadang ke Ratna Sari Dewi. Kadang pula ke Soekarno.

Namun kisah cintanya selalu dinanti oleh publik alias ludes terjual. Bukti itu menyiratkan keduanya tak saja dibenci, tapi juga dirindu. Selepas merdeka, Indonesia dan Jepang memang dekat perihal memajukan kebudayaan dan kesenian. Berkat itu, Bung Karno banyak memiliki kesempatan berkunjung ke Negeri Matahari Terbit.

Dalam salah satu kunjungannya, Bung Karno berjumpa pertama kali dengan seorang wanita cantik dalam acara jamuan makan malam di Hotel Imperial, Tokyo pada 1959. Wanita itu adalah Naoko Nemoto. Perjumpaan itu membuat Soekarno senang bukan main. Banyak hal terkait kepribadian Naoko yang dikagumi oleh Bung Karno.

Bahkan, pertemuan dengan wanita yang masih berusia 19 tahun di mata Bung Karno laksana takdir. Sebab, keduanya memiliki minat yang sama: seni. Naoko menyukai dunia seni secara utuh. Ia suka sastra, pandai menari, bertalenta menyanyi dan memiliki ketertarian dalam dunia melukis. Bung Karno lalu memiliki hasrat untuk mempersuntingnya.

“Dan persekutuan itu diakhiri dengan ‘persekutuan’ lain yang lebih romantis, ketika ia mengawini Naoko Nemoto pada 3 Maret 1962. Naoko, kelahiran Tokyo 6 Februari 1940 adalah gadis cantik yang sangat suka melukis dan ingin jadi pelukis. la juga bercita-cita menjadi pengarang dan kritikus sastra. la pun suka menyanyi serta menari klasik Jepang. Bahkan bermain drama pada perkumpulan Sishere Hayakama Art Production di Tokyo.”

“Bung Karno yang pertama kali berjumpa dengan Naoko di Hotel Imperial Tokyo mengaku, bahwa bukan hanya kecantikan gadis Jepang itu belaka yang membuat dirinya kasmaran. Namun, lebih dari segala-galanya, hasrat dan keleburan Naoko kepada senilah yang menjeratnya. Sehingga Bung Karno terpaksa melamar dengan kata-kata mutiara: Jadilah engkau sumber inspirasi dan kekuatanku,” tulis Agus Dermawan T dalam buku Bukit-bukit Perhatian: Dari Seniman Politik, Lukisan Palsu sampai Kosmologi Seni Bung Karno (2004).

Soekarno dan Ratna Sari Dewi (Sumber: Perpusnas)

Setelah menikah, Naoko Nemoto diberi nama baru oleh Bung Karno: Ratna Sari Dewi. Nama baru itu seraya menyiratkan makna bahwa Naoko baru terlahir kembali ke dunia. Hidup keduanya kemudian mulai dialiri kebahagiaan. Meski begitu, pernikahannya tak serta menghapus kisah kelam Ratna Sari Dewi. Ibu dari Ratna Sari Dewi sempat menentang keras rencana pernikahan putrinya. Kemudian, 26 jam setelah menikah ia mendapat dua kabar duka sekaligus. Ibu dan adiknya, Yasso telah meninggal dunia.

“Saya kehilangan seluruh keluarga. Ibuku yang janda tidak senang dengan pernikahanku. Tepat setelah saya pindah ke Islam dan menikahi presiden, ia meninggal karena sakit jantung. Pada hari yang sama, saudara laki-lakiku satu-satunya, Yasoo bunuh diri. Dalam waktu 26 jam saya kehilangan semuanya. Saya tidak punya siapapun lagi, selain Bung Karno,” ungkap Ratna Sari Dewi sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku My Friend The Dictator (1967).

Kehilangan dua orang yang disayangi secara langsung jelas berat bagi Ratna Sari Dewi. Di situlah Bung Karno yang karismatik berperan. Soekarno jadi pelipur lara. Demi mengobati kesedihan Ratna Sari Dewi, Bung Karno merancang rumah yang kelak ditempati oleh Ratna Sari Dewi di Jalan Gatot Soebroto: Wisma Yasoo (Kini: Museum Satriamandala).

Tepat pada 6 Juni 1962, atau hari ulang tahun Soekarno yang ke-61, ia pun menulis sebuah surat wasiat spesial untuk Ratna Sari Dewi. Isinya Soekarno ingin sehidup-semati dengan Ratna Sari Dewi. "Kalau aku mati, kuburkanlah aku di bawah pohon rindang. Aku mempunyai istri yang aku cintai dengan segenap jiwaku, namanya Ratna Sari Deui. Kalau nanti dia meninggal kuburkan juga dia dalam kuburku. Aku selalu menghendaki dia bersamaku,” tertulis dalam surat wasiat Bung Karno.

Benci tapi rindu

Sejak awal pernikahan antara Ratna Sari Dewi dan Bung Karno hanya diketahui kalangan terbatas. Yang paling awal merasakannya kecurigaan Soekarno kawin dengan Ratna Sari Dewi adalah Haryati yang justru istri keenam. Secara persis Haryati tak mengetahui kapan pasti Ratna Sari Dewi datang ke Indonesia, antara tahun 1959 atau 1961. Akan tetapi dia mulai mencium kehadiran Ratna Sari Dewi sejak tahun 1964.

“Diri saya dibebani oleh bermacam-macam pertimbangan. Bagaimana sebenarnya bapak (Soekarno) ini, untuk apa punya istri lagi, buat apa kesemuanya, kemudian muncul lagi beberapa wanita lain, yang cantik-cantik. Saya tidak cemburu pada wanita cantik. Karena sekarang ini memang banyak wanita cantik, tetapi sebagai seorang istri rasa tak tentram itu datang juga, sampai akhirnya pada suatu saat saya menempuh jalan, antara lain menanyakan yang mana garwo pribadi. Dan bapak mengatakan yang lain tak resmi,” cerita Haryati dalam buku Bung Karno: Perginya Seorang Kekasih, Suamiku, & Kebanggaanku (1978).

Perlahan-lahan, Publik kemudian mendengar desas-desus Bung Karno menikahi wanita jepang. Padahal, sebelumnya publik telah dibuat kecewa oleh Bung Karno karena menduakan Fatmawati dengan mengawini Hartini. Puncaknya, aksi demonstrasi mahasiswa tahun 1966 banyak menyoroti perihal Bung Karno “tukang” kawin.

Ratna Sari Dewi (Sumber: Perpusnas)

Ratna Sari Dewi jadi salah satu istri yang terseret-seret dikritik oleh mahasiswa. Ramainya pesan "Stop impor istri" dijalanan Ibu Kota jadi buktinya. Kata-kata itu jelas merujuk pada Istri Soekarno berdarah Jepang, Ratna Sari Dewi. Kekasalan mahasiswa bermuara pada gaya hidup istri-istri Bung Karno yang bermewah-mewah dengan segala fasilitasnya. Tapi, tak peka dengan kondisi rakyat Indonesia yang sedemikian sulit.

Mulai saat itu, publik mulai skeptis dengan sosok Ratna Sari Dewi. Sebab, belum ada pers Indonesia yang secara mendalam mengulas mengenai Ratna Sari Dewi. Adapun beberapa foto-foto Ratna Sari Dewi yang memancarkan kecantikan parasnya tersebar di publik, justru menambah rasa penasaran khalayak. Di situlah publik seakan-akan tak benar-benar membenci keduanya, tapi terselip pula kekekaguman publik akan Ratna Sari Dewi. Lantaran itu, ketika salah satu media massa memuat kisah Ratna Sari Dewi secara mendalam, Koran atau majalahnya langsung ludes terjual.

“Sambutan terhadap Madjalah Sunda yang memuat tulisan tentang Ratna Sari Dewi itu luar biasa. Dalam sekejap majalah habis terjual, dan di luaran dijual eceran dengan harga sepuluh kali lipat harga resmi. Kalau sekarang niscaya aku akan mencetak ulangnya sebanyak mungkin. Tetapi pada waktu itu cetak offset belum ditemukan, sehingga pencétakan ulang dalam waktu yang relatif singkat tidak mungkin karena percetakan masih menggunakan timah yang diset dengan mesin Linotype atau Intertype, yang setelah dicetak biasanya langsung dilebur lagi,” tutup Sastrawan Ajip Rosidi dalam buku Hidup Tanpa Ijazah (2008).

*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

BERNAS Lainnya