JAKARTA – Sejarah hari ini, 57 tahun yang lalu, 8 April 1965, Wakil Perdana Menteri yang juga merangkap Menteri Luar Negeri, Soebandrio mendapatkan tugas ‘istimewa’ dari Presiden Soekarno. Ia diminta untuk mendampingi Istri kelimanya, Ratna Sari Dewi pergi naik haji.
Semua itu sebagai bentuk kecintaan Bung Karno pada kekasihnya. Ia tak ingin pujaannya sedih atau marah. Kalaupun Dewi marah dan pulang ke Jepang, maka Bung Besar akan mengirim menteri bahkan perdana menteri untuk membujuknya pulang.
Bolehlah disebutkan pertemuan Soekarno dan Naoko Nemoto di Hotel Imperial, Tokyo sebagai cinta pada pandangan pertama. Pertemuan itu berlangsung pada 16 Juni 1959. Bung Karno senang bukan main. Wanita itu memiliki minat yang sama dengannya: seni. Naoko yang baru berusia 19 tahun menyukai sastra, menari, bernyanyi dan melukis.
Karenanya, timbul keinginan Bung Karno untuk mempersuntingnya. Naoko pun sebaliknya. Ia merasakan hal yang sama. Ia begitu kagum dengan sosok Bung Karno. Keduanya lalu sepakat menikah pada 3 Maret 1962. Pernikahan itu membuat Naoko memeluk Islam seutuhnya. Bung Karno pun tak lupa memberinya nama baru: Ratna Sari Dewi.
Kehadiran Bung Karno membuat hidup Dewi jadi berwarna. Ia bak terlahir kembali. Apalagi Dewi baru kehilangan ibu dan adiknya, Yasso yang meninggal dunia. Dewi pun merasa tak punya siapa-siapa, selain Bung Karno.
Kecintaan Dewi yang tulus itu disambut dengan baik oleh Bung Karno. Sebagai bentuk cintanya, Bung Karno merancang rumah yang kelak ditempati oleh Ratna Sari Dewi di Jalan Gatot Soebroto: Wisma Yasso (Kini: Museum Satriamandala).
“Di sini kita saksikan, Soekarno bukan nabi. Dia manusia biasa yang walaupun ketika muda banyak membaca gagasan-gagasan tentang demokrasi. Masyarakat sosialistis Eropa. Namun dia tetaplah seorang Jawa yang menyerap nilai-nilai masyarakat Jawa dan negara, sehingga ketika ia kemudian menjadi presiden dan memegang kekuasaan, maka sadar atau tak sadar dia ingin menghayati kehidupan seorang raja Jawa.”
“Kau akan tertawa terpingkal-pingkal, atau menangis dengan sedih, kalau mendengar bahwa pada tahun 1963 ketika Ratna Sari Dewi pulang ke Jepang karena marah (purik), Soekarno mengirimkan menteri-menteri bahkan perdana menteri untuk membujuknya kembali ke Indonesia,” ungkap Ajip Rosidi dalam buku Yang Datang Telanjang: Surat-Surat Ajip Rosidi dari Jepang 1980-2002 (2008).
Kecintaan itu semakin hari semakin meningkat. Menteri-menteri Soekarno banyak ditugaskan untuk mengambil hati Ratna Sari Dewi. Termasuk saat Ratna Sari Dewi ingin memparipurnakan Keislamannya dengan ibadah Haji.
Bung Karno Ia pun langsung mengutus Wakil Perdana Menteri, Soebandrio dan Menteri Agama Saifuddin Zuhri untuk mendampingi Dewi naik haji. Permintaan Bung Karno diamini kedua pada 8 April 1965. Pun kemudian ibadah haji Dewi Soekarno berjalan dengan lancar. Sekalipun Soekarno tak mendampinginya karena berhalangan hadir. Konon, ada tugas negara.
“Kecuali itu, rasanya aku sendiri akan lebih khusyuk beribadah daripada kalau masih menjadi Menteri Agama. Sebab menjalankan ibadah haji di saat menjadi Menteri Agama yang mengurus haji akan Jebih banyak mengurus tugas dari pada mengurus ibadahnya. Lagipula aku mendapat undangan Menteri Urusan Waqaf Mesir untuk mengunjungi Kairo.”
“Tentu saja aku harus berpamitan kepada Presiden. Bukan saja presiden menyetujui kepergianku, tapi bahkan aku ‘dititipi’ Ratna Sari Dewi yang juga akan menunaikan rukun Islam ke-5. Istri Bung Karno itu ditemani oleh perempuan-perempuan lain, Ny. Djuanda, Ny. Chairul Saleh, Ny. Martadinata, Ny. Priyono, Ny. Ibnu Sutowo dan lain-lain,” tutup Saifuddin Zuhri dalam buku Berangkat dari Pesantren (2013).
Sekelumit kisah Ratna Sari Dewi, istri kelima Presiden Soekarno, menjadi bagian dari sejarah hari ini 8 April 1965 di Indonesia.