Bagikan:

JAKARTA - Pemerintahan Presiden Soekarno pernah dianggap gagal. Tindakan Bung Karno yang seolah tak peduli dengan kelakuan elite politiknya jadi muasal. Segenap rakyat Indonesia menganggap menteri-menteri Soekarno tak peka.

Mereka hidup foya-foya. Sedang rakyat harus menanggung sendiri derita kehidupan akibatkan kebijakan pemerintah. Rakyat berang. Demikian pula mahasiswa. Orde Lama dianggapnya era penuh kebobrokan. Mereka pun turun ke jalan menggelorakan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura).

Kuasa Bung Karno sebagai Presiden Indonesia tercoreng dengan kehadiran peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Mahasiswa mulai mempertanyakan kapasitas Bung Karno yang enggan membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Alias, Bung Karno dianggap terlalu lembek jika berhubungan dengan PKI.

Kondisi itu semakin diparah oleh krisis ekonomi menghantam Indonesia pada akhir 1965. Boleh jadi pemerintah Indonesia sempat bersiasat. Mereka memberlakukan kebijakan devaluasi rupiah. Uang Rp10.000 dan Rp5.000 ditarik dari peredaran dan nilainya dipotong 10 persen. Siasat itu nyatanya senjata makan tuan.

Demonstrasi Tritura 1966. (Wikimedia Commons)

Rakyat pun panik. Devaluasi rupiah langsung terasa bagi segenap masyarakat Indonesia, terutama mahasiswa. Contoh paling kecil adalah kenaikan harga bus kota, yang awalnya Rp200 menjadi Rp1.000 pada masa itu. Penuturan lain datang dari salah satu peserta aksi yang juga mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Firman Lubis. Ia mencontohkan, pada 1962, dirinya menerima uang ikatan dinas sebanyak Rp850 per bulan. Waktu itu harga semangkok bakmi hanya Rp5.

Keadaan mulai berubah saat devaluasi rupiah menyapa. Pada akhir 1965, jumlah uang ikatan dinas yang diterimanya memang meningkat menjadi Rp3.500 sebulan. Akan tetapi, harga bakmi kala itu sudah mencapai Rp1.500 untuk satu mangkok. Khalayak pun menganggap masalah itu sebagai kegagalan Bung Karno.

“Sayangnya, Bung Karno bukan seorang pemimpin yang baik dalam membangun dan mengelola negara pascakemerdekaan. Bung Karno bukanlah pemimpin yang dapat mengisi kemerdekaan dengan membangun bangsanya menjadi modern, kuat, dan makmur.”

“Tampaknya Bung karno telah terperangkap dalam gelora romantika revolusi kemerdekaan itu terus-menerus. Tentu kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Bung karno, apalagi perjuangannya memang cukup lama dan berat, sampai harus mendekam di penjara dan dibuang ke pengasingan,” ungkap Firman Lubis dalam buku Jakarta 1950-1970 (2018).

Menteri Tak Peka

Sederet masalah itu membuat kaum mahasiswa kesal. Aksi turun ke jalan jadi opsi utama. Pun ketidakpuasan rakyat dituangkan oleh mahasiswa ke dalam tiga tuntutan. Pertama, bubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI), rombak cabinet, serta turunkan harga. Tiga tuntutan tersebut kemudian langggeng dikenal sebagai Tritura (Tri Tuntutan Rakyat).

Demonstrasi panjang (Oktober 1965- Maret 1966) pun dilanggengkan. Gaung aksi tak hanya berlangsung di satu tempat, tapi di banyak tempat. Antara lain Istana Negara, Istana Bogor, jalanan Jakarta, hingga gedung-gedung kementerian.

Sorotan mahasiswa tak hanya dilampiaskan kepada sosok Bung Karno belaka. Menteri-menterinya ikut jadi korban caci-maki. Wakil Perdana Menteri, Soebandrio kebagian dicaci: Anjing Peking. Sedang menteri lainnya dianggap tak peka. Mereka justru dipandang hidup berfoya-foya di tengah kesultan yang dialami oleh rakyat Indonesia.

“Ratusan mahasiswa masuk dan duduk dalam gedung yang mewah ini. Mahasiswa-mahasiswa berwajah lelah, tapi matanya bersinar-sinar, pakaiannya kotor, dan dekil tapi hatinya bersih. Di sana-sini aku melihat mahasiswa-mahasiswa menulis tembok-tembok Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong: RAKYAT MELARAT, MENTERI-MENTERI FOYA-FOYA DI HI, MENTERI JANGAN NYABO MELULU – BUBARKAN PKI, dan tulisan lain seperti di atas.”

“Memang tulisan-tulisan ini kotor, akan tetapi inilah suara hati rakyat Indonesia yang sudah melihat akrobat-akrobat politik dan slogan-slogan kosong. Inilah suara rakyat: tegas, kasar, jelas tetapi jujur,” terang Soe Hok Gie dalam catatan hariannya yang dibukukan Catatan Seorang Demonstran (2011).

Presiden Soekarno melantik Kabinet Dwikora II di Istana Negara Jakarta pada 24 Februari 1966. (Wikipedia)

Demonstrasi Tritura yang makin masif akhirnya mendapatkan respons. Bung Karno pun merombak kabinetnya dengan orang-orang baru. Kabinet Dwikora II, namanya. Kabinet ini adalah penyempurnaan dari Kabinet Dwikora I. Rencananya kabinet baru itu akan diumumkan pada 12 Februari 1966.

Kaum mahasiswa tampaknya kurang simpatik. Mereka melihat kabinet baru masih didominasi dengan wajah-wajah lama. Penganut komunis pula. Sebagai bentuk penolakan, mahasiswa menutup jalan ke Istana dan mencoba mencegat mobil-mobil yang membawa menteri dengan aksi pengempisan ban mobil.

Jenderal Hoegeng Imam Santoso hampir mengalaminya. Polisi jujur yang kala itu berstatus Menteri Iuran negara,  akan didapuk sebagai Menteri Sekretaris Negara. Beruntung banyak orang yang mengenali wajah Hoegeng. Mahasiswa pun memberi jalan Hoegeng untuk lewat. Semua itu karena Hoegeng terkenal sebagai sosok yang lurus.

Hoegeng boleh jadi bernasib baik. Tapi tidak dengan menteri lainnya. Banyak yang datang ke acara pelantikan dengan cara naik taksi ataupun jalan kaki ke Istana Negara. Namun, yang membuat Hoegeng geram ada menteri yang datang dengan hebohnya menggunakan helikopter. Pemandangan itu menurut Hoegeng semakin membuat rakyat geram bukan main.

“Rupanya saya termasuk mereka yang aman-aman saja ketika memasuki istana. Sebab ada menteri yang naik taksi atau jalan kaki sebab mobilnya dikempaskan para demonstran. Namun di antara para menteri itu ada juga yang datang dengan cara mentereng sekaligus aman sekali, yaitu naik helikopter!“

“Para menteri sudah pada hadir di istana. Meskipun ada demonstrasi yang menentang penyederhanaan kabinet, namun kebanyakan para menteri itu tidaklah takut atau kuatir. Malahan banyak yang berteriak-teriak bercanda: ora sido, ora sido (tak jadi, tak jadi),” tutup Hoegeng Imam Santoso sebagaimana ditulis Abrar Yusra dan Ramadhan K.H. dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993).