JAKARTA – Sejarah hari ini, 50 tahun yang lalu, 4 Desember 1972, pejuang kemerdekaan dan tokoh politik Indonesia, Sutomo mengirimkan surat kepada Presiden Soeharto. Pria yang akrab disapa Bung Tomo bermaksud menyampaikan kritiknya kepada Soeharto dan Orde Baru.
Bung Tomo merasa kehadiran Orba tak lebih baik dari Bung Karno dan Orde Lama (Orla), malah lebih buruk. Padahal, Bung Tomo dan kebanyakan mahasiswa sempat menganggap Soeharto sebagai sosok juru selamat dari busuknya Orla.
Situasi Indonesia tahun 1965-1966 sedang tidak baik-baik saja. Kepercayaan rakyat kepada Bung Karno dan Orla mencapai titik terendah. Soekarno dianggap hanya peduli kepada proyek mercusuarnya belaka. Sedang segenap rakyat Indonesia harus mempertahankan hidupnya sendiri-sendiri di tengah resesi ekonomi.
Soekarno kurang peka, demikian pula pejabat-pejabatnya. Malahan banyak yang tetap melanggengkan gaya hidup mewah di tengah penderitaan rakyat. Mereka tetap hidup enak dan foya-foya.
Rakyat pun melawan. Kaum mahasiswa apalagi. Gelora perlawanan itu membuat mahasiswa turun ke jalan. Tiga tuntutan rakyat (Tritura) digelorakan. Mahasiswa ingin Presiden Soekarno segera membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI), menurunkan harga, dan merombak kabinet.
Nyatanya, aksi berjilid-jilid itu banyak didukung oleh tokoh militer Indonesia. Jenderal Soeharto, salah satunya. Ia berjanji menjaga jalannya aksi. Mahasiswa pun menyukai gaya kepemimpinannya. Apalagi Soeharto dianggap sebagai orang berjasa menumpas Gerakan 30 September (G30S).
Ia pun mendapatkan simpati mahasiswa. Bahkan, Soeharto digadang-gadang sebagai juru selamat yang mampu membawa Indonesia kearah kemajuan dan menggantikan Bung Karno.
“Menyusul kejatuhan Soekarno mahasiswa relatif mendukung pemerintahan Soeharto pada 1960-an, khususnya dalam menangani korupsi. Bahkan, pada 1968, Soeharto melantik tim gugus tugas yang terdiri dari dosen dan mahasiswa Universitas Indonesia untuk melakukan penelitian di sejumlah lembaga negara dalam rangka memberantas korupsi.”
“Bahkan, sebagian mantan anggota Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) masuk parlemen sebagai anggota yang ditunjuk, yang memainkan peran penting dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan memobilisasi suara untuk memastikan agar Soeharto menjadi presiden penuh pada 1968,” ungkap Vishnu Juwono dalam buku Melawan Korupsi (2018).
Alih-alih hanya mendapatkan simpati dari mahasiswa, segenap pejuang kemerdekaan turut mendukung langkah Soeharto jadi orang nomor satu Indonesia menggantikan Soekarno. Bung Tomo, misalnya. Tokoh bangsa itu melihat kapasitas Soeharto mampu membawa perubahan bagi Indonesia.
Nyatanya, apa yang diharapkan Bung Tomo dan realita bertolak belakang. Pemerintahan Soeharto dan Orbanya dianggap lebih parah daripada Orla. Soeharto kerap membungkam lawan.
Lagi pula, pada masa Orba korupsi justru makin merajalela. Bung Tomo tak bisa tinggal diam. Ia mencoba menyadarkan kembali Soeharto. Sebuah surat bertanggal 4 Desember 1972 yang ditujukan kepada Soeharto jadi ajiannya.
“Kiranya Pak Harto pun telah dapat merasakan bahwa sudah agak lama di kalangan masyarakat telah timbul rasa tidak puas, rasa jengkel, rasa cemas, tercampur dengan rasa prihatin yang mendalam, bila diikuti semua perkembangan di Indonesia selama Orba memegang tampuk pemerintahan sekarang ini.”
“Sungguh, Pak Harto, pada waktu almarhum Presiden Soekarno jatuh dari singgasana kediktatorannya enam tahun yang lampau, harapan kita adalah bahwa semua hal yang busuk yang ditimbulkan oleh kediktatoran almarhum Presiden Soekarno itu akan dapat dikikis habis oleh pemerintah Orba yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto. Tetapi, ternyata akhirnya, hal-hal yang busuk yang menodai zaman pemerintahan diktator Soekarno itu, di masa Orba itu masih saja terasa dalam masyarakat, bahkan dalam beberapa hal malahan berkembang lebih mencemaskan lagi,” tulis surat Bung Tomo sebagaimana dikutip dalam buku Menembus Kabut Gelap: Bung Tomo Menggugat (2008).