Presiden Soekarno Dianugerahi Gelar Doktor Honoris Causa dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam Sejarah Hari Ini, 2 Desember 1964
Presiden Soekarno menerima gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang ilmu Ushuluddin dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah. (ANRI)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 58 tahun yang lalu, 2 Desember 1964, Presiden Soekarno menerima gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang ilmu Ushuluddin dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (kini: UIN Syarif Hidayatullah). Bung Karno dianggap sebagai salah satu tokoh Islam yang menonjol.

Sebelumnya, kedekatan Bung Karno dan Islam telah tumbuh sedari ia mulai bersekolah di Surabaya. Keaktifannya mengikuti acara Muhammadiyah jadi muaranya. Alih-alih puas dengan mendengar ceramah, Soekarno pun mulai menggali sendiri Islam dari buku-buku.

Perjalanan hidup Bung Karno penuh cerita, utamanya perihal ia menemukan sendiri agama Islam. Ia hidup di dalam keluarga yang tidak terlalu kental pendidikan agamanya. Saban hari ia hanya dapat melihat rekan-rekannya belajar agama.

Namun, segalanya berubah ketika Soekarno melanjutkan sekolahnya di Surabaya. Ia ‘mondok’ di rumah tokoh Sarekat Islam, Haji Oemar Said (H.O.S.) Tjokroaminoto. Bung Karno lalu banyak mengikuti laku hidup keluarga Tjokroaminoto. Apalagi Soekarno acap kali diajak mengikuti kegiatan sosial dari organisasi Islam, Muhammadiyah.

Pertemuan itu jadi sarana Bung Karno mendalami agama Islam. Ia kerap mendengarkan tiap sesi tanya jawab untuk mengetahui Islam lebih dalam. Semenjak itu, ia gemar mencari tahu Islam lebih dalam. Ia banyak membaca buku-buku terkait pemikiran tokoh Islam terkemuka. Perlahan-lahan, kecintaan kepada Islam bertumbuh. Lebih lagi, kala Bung Karno mendekam di Panjara Benceuy, kemudian Sukamiskin. Ia selalu menyepatkan waktunya untuk membaca buku-buku Islam.

Gedung Rektorat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang pernah memberikan gelar Doktor Honoris Causa untuk Presiden Soekarno pada 2 Desember 1964. (Wikimedia Commons)

“Jadi aku adalah orang yang takut kepada Tuhan dan cinta kepada Tuhan sejak dari lahir dan keyakinan ini telah bersenyawa dengan diriku. Aku tak pernah mendapat didikan agama yang teratur karena bapak tidak mendalam di bidang itu. Aku menemukan sendiri agama Islam dalam usia 15 tahun, ketika aku menemani keluarga Tjokro mengikuti organisasi agama dan sosial bernama Muhammadiyah. Gedung pertemuannya terletak di seberang rumah kami di Gang Peneleh.”

“Sekali sebulan dari jam delapan sampai jauh tengah malam 100 orang berdesak‐desak untuk mendengarkan pelajaran agama dan ini disusul dengan tanya jawab. Sungguhpun aku asyik mendengarkan, tapi belumlah aku menemukan Islam dengan betul‐betul dan sungguh‐sungguh sampai aku masuk penjara. Di dalam penjaralah aku menjadi penganut yang sebenarnya,” ungkap Soekarno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1966).

Semangat Islam itulah yang kemudian menjadi salah satu pegangannya berjuang memerdekakan kaum bumiputra dari belenggu penjajahan. Ia pun mampu menjadi penengah di antara kelompok nasional dan kelompok agama.

Kiprah itu yang menjadi latar belakang IAIN Syarif Hidayatullah memberikan gelar Doktor kehormatan (Honoris Causa) Bidang ilmu Ushuluddin kepada Soekarno. Gelar itu lalu diberikan pada 2 Desember 1964. Putra Sang Fajar dianggap mereka layak diberikan penghargaan. Sebab, Soekarno adalah salah satu tokoh pemikir Islam.

“Di samping itu dalam konsep Pancasila, warga negara diharuskan menjadi warga negara yang bertuhan, di samping setiap sila dari Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Ada baiknya kita membaca pidatonya: Temukan Kembali Api Islam.”

“Ketika menerima gelar Doctor Honoris Causa dari IAIN, Jakarta, 2 Desember 1964, Soekarno mengatakan karena itu dengan keyakinan saya, saya berkata, negara yang tidak menyembah Tuhan, akhirnya celaka, lenyap dari muka bumi ini,” ungkap Peter Kasenda dalam buku Bung Karno Panglima Revolusi (2014).