Bagikan:

JAKARTA - Kepemimpinan Deng Xiaoping penuh dengan kontroversi. Pemimpin China itu acap kali mengeluarkan kebijakan berani. Ajiannya melanggengkan reformasi ekonomi dan liberasi pasar jadi muaranya. Semuanya demi kesejahteraan rakyat China.

Realita di lapangan berbeda. Rakyat China justru banyak jatuh ke dalam kemiskinan. Rakyat pun melawan. Gelora demonstrasi berjilid-jilid hadir. Pemerintah tak mau kalah dengan menggerakkan militer untuk meredam. Karenanya, Tragedi Tiananmen terjadi. 

Optimisme mengiringi kebijakan reformasi dan liberasi pasar ala Deng Xiaoping pada 1980-an. Ia percaya diri ajiannya dapat membawa berita baik bagi kelangsungan hidup segenap rakyat China. Kehadiran perusahaan swasta dan ruang investasi asing di buka selebar-lebarnya.

Hasilnya sempat membawa angin segar. Pertumbuhan produksi sektor industri dan pertanian meningkat tajam. Namun, keberhasilan itu harus dibayar mahal. Taraf hidup rakyat China justru tak mengalami peningkatan yang signifikan. Apalagi inflasi membuat daya beli masyarakat menjadi terbatas. Kebanyakan rakyat China mulai jatuh ke dalam kemiskinan.

Kondisi itu tak berlaku bagi golongan elite politik. Mereka justru memanfaatkan momentum untuk melakukan korupsi besar-besaran. Gaya hidup mereka pun tak menunjukkan empati terhadap kondisi rakyat. Segenap rakyat China pun gerah. Mahasiswa apalagi. Gelora aksi demostrasi mulai dilakukan sejak juni 1989.

Kematian mantan Sekjen Partai Komunis China, Hu Yaobang, menjadi penyulut demonstrasi besar-besaran mahasiswa pro demokrasi pada April 1989. (The New York Times/Jian Liu) 

Makin hari, Mereka yang berunjuk rasa semakin bertambah di Lapangan Tiananmen. Bahkan, sampai satu juta orang. Isu yang dibawa mulai melebar. Alih-alih hanya menyuarakan ketidakpuasan, pengunjuk rasa justru menuntut pemerintah China untuk mengubah ideologi.

Deng pun geram. Reputasinya sebagai pemimpin China di dunia internasional terganggu. Ia langsung mengambil kebijakan menggunakan militer untuk membubarkan massa pada 3 dan 4 juni 1989. Akibatnya, pengunjuk rasa banyak meninggal dunia.

“Tetapi, saat ini Tiananmen identik dengan peristiwa berdarah yang terjadi pada bulan Juni 1989, saat mahasiswa berdemo menyuarakan pendapat mereka secara damai. Pengerahan tentara untuk menghalau dan mengganyang aksi demostrasi damai ini mencoreng reputasi Deng Xiaoping dan Partai Komunis China di kancah politik internasional. Sampai saat ini, berapa jumlah orang yang tewas pada insiden itu masih simpang siur.”

“Ada yang percaya bahwa ribuan orang kehilangan nyawanya di tangan militer pada hari itu. Tidak jelas juga siapa yang memberikan perintah mengganyang demo itu, namun dua orang yang paling dipersalahkan adalah Li Peng, yang saat itu menjadi perdana menteri, dan tentu Deng Xioping, sang pemimpin tertinggi,” ungkap Michael Wicaksono dalam buku Republik Rakyat China: Dari Mao Zedong sampai Xi Jinping (2017).

Pemerintah Waspada

Unjuk rasa yang berujung pembantaian itu tak mudah dilupakan dalam ingatan publik. Apalagi di tahun-tahun awal. Peristiwa Tiananmen dianggap sebagai borok besar pemerintah China. Utamanya, sebagai potret negara ‘membunuh’ rakyatnya sendiri.

Namun, bukan cuma rakyat yang was-was direpresi ketika memperingati Tragedi Tiananmen. Pemerintah China sendiri ikut-ikutan waspada. Mereka acap kali dihantui ketakutan ketika peringatan Tiananmen dapat membawa semangat perlawanan ke pemerintah China.

Empunya kuasa bertindak paranoid. Pada peringatan lima tahun Tragedi Tiananmen, misalnya. Mereka melarang segala macam berita maupun tayangan terkait peristiwa Tiananmen. Pemerintah tak ingin peristiwa Tiananmen dianggap sebagai simbol penindasan aspirasi rakyat dari kebebasan dan demokrasi.

Spanduk pro demokrasi yang dibentangkan para demonstran dalam demonstrasi besar-besaran di Lapangan Tiananmen, Beijing, China pada 15 April-5 Juni 1989. (New Eastern Outlook)

“Pasukan keamanan memperketat penjagaan di sekitar Tiananmen pada hari-hari sekitar tanggal 4 Juni lalu. Selama lima tahun terakhir, sejak peristiwa pembantaian demonstrasi mahasiswa dan pemuda di Tiananmen 1989, pemerintah China memang selalu tegang menghadapi harí peringatan peristiwa tersebut. Hanya saja untuk tahun ini pengerahan pasukan keamanan lebih banyak dari yang sudah-sudah, demikian pula penjagaan untuk kawasan di sekitar kampus-kampus di Beijing. Hotel-hotel internasional yang memiliki parabola diwajibkan mencabut kabel antenanya.”

“Supaya penghuni hotel tak menonton siaran televisi Amerika --terutama CNN-- yang menayangkan adegan penyerbuan tentara bersenjata ke arah demonstran di tahun 1989 itu. Untuk menghindari pengerahan massa, polisi membatalkan semua acara pesta atau kegiatan sosial yang jatuh pada tanggal 4 Juni. Dan warga Beijing diharamkan berhubungan dengan orang asing. Pemerintah menjadi sangat tegang karena para pemimpin Partai Komunis Cina (PKC) sudah terbakar isu bahwa tahun ini akan ada peringatan, berupa arak-arakan besar, atas peristiwa kekejaman di Tiananmen lima tahun lalu,” tutup Muhamad Cholid dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Yang Merasa Terancam (1994).