Bagikan:

JAKARTA - Sebuah museum yang mencatat kekerasan pasukan China terhadap demonstran prodemokrasi di Lapangan Tiananmen segera mendigitalisasi koleksinya. Pengelola museum khawatir Undang-Undang (UU) Keamanan Nasional yang baru bakal menciptakan ketidakpastian.

Melansir Reuters, Selasa, 7 Juli, pengelola kini tengah mengumpulkan dana untuk merealisasikan rencana digitalisasi. Produk legislasi yang berkaitan dengan pemisahan diri, subversi, terorisme, dan kolusi dengan pasukan asing telah berlaku sejak pekan lalu.

Tak main-main, UU tersebut mengancam hukuman hingga seumur hidup terkait substansi di atas. Para pengunjuk rasa prodemokrasi Hong Kong mengecam apa yang mereka lihat sebagai erosi bertahap China atas kebebasan-kebebasan Hong Kong oleh para penguasa Partai Komunis di Beijing. Tuduhan tersebut lalu dibantah China. 

Lee Cheuk-yan, Ketua Aliansi Hong Kong dalam Mendukung Gerakan Demokratis Patriotik China sebagai pengelola museum, belum dapat memastikan dengan jelas apakah museum akan diperlakukan sebagai subversif atau dianggap melawan pemerintah China.

"Kami berharap artefak fisik tidak akan disita di masa depan. Dan itulah yang benar-benar membuat kami khawatir," kata Lee Cheuk-yan.

Tiananmen nan tabu

Tindakan keras China yang berlangsung pada 1989 itu masih tetap tabu di China daratan. Bahkan, berbagai diskusi publik pun disensor. Hampir 30 tahun berlalu, masih sulit bagi warga China biasa mengetahui kebenaran tentang peristiwa tersebut. Seperti pernah kami bahas dalam "Mengingat Pembantaian Tiananmen Square yang Berusaha Dihapus dari Memori Masyarakat China".

Pemerintah China belum menerima tanggung jawab atas pembantaian itu. Investigasi resmi tidak pernah diadakan dan pemerintah tidak memberikan informasi tentang mereka yang terbunuh.

Di China daratan, aktivis ditahan karena memperingati peristiwa berdarah itu. Pencarian internet untuk istilah apa pun yang terkait dengan Tiananmen, bahkan tanggal kejadian, diblokir oleh aparat sensor China. 

"Pemerintah China telah melakukan pekerjaan menyeluruh menghapus Empat Juni dari ingatan historis sebagian besar anak muda di China. Tetapi generasi tua di China yang hidup pada waktu itu, dan dunia di luar China, belum melupakan peristiwa ini," kata Andrew Nathan, seorang profesor ilmu politik di Universitas Columbia.

Andrew adalah salah satu sumber referensi besar terkait peristiwa itu. Ia turut dalam penyuntingan buku The Tiananmen Papers yang merilis dokumen rahasia pemerintah China tentang tragedi tersebut.

Setiap tahun, puluhan ribu orang berkumpul menyalakan lilin untuk memeringati tragedi berdarah tersebut. Acara tersebut rutin diselenggarakan oleh Aliansi Hong Kong. Namun, tahun ini peringatan tak terlaksana lantaran tak mendapat izin kepolisian. COVID-19 jadi alasan.

"Kami percaya kalian bisa melarang acara tetapi kalian tidak bisa melarang hati, kenangan kami ... Kami akan terus mengingatkan dunia tentang apa yang terjadi 31 tahun lalu," kata Lee Cheuk-yan. 

Museum ini terletak di daerah komersial yang ramai di distrik Kota Kowloon. Museum ini juga memutar rekaman video pasukan yang menembaki para pengunjuk rasa serta gambar kartun dan grafik peristiwa tersebut. Poster penuh warna juga menggambarkan gerakan protes Hong Kong sendiri, termasuk gerakan beberapa tahun terakhir.

"Sangat penting untuk memiliki tempat setidaknya untuk mengingat apa yang terjadi, karena saya merasa kita tidak harus melupakan sejarah," kata German Moles, seorang siswa dari Spanyol yang sedang mengunjungi museum.