Bagikan:

JAKARTA - Hari ini, 4 Juni, warga Tionghoa memperingati peristiwa pembantaian di Tiananmen Square. Dalam peristiwa 31 tahun lalu atau pada 1989, aparat pemerintah komunis China membantai dan menangkap ribuan demonstran pro demokrasi. Pemerintah Tiongkok, hingga hari ini terus berusaha menghapus memori itu dari benak warganya.

Mengutip History, Mei di penghujung 1990-an, hampir satu juga warga Tionghoa yang didominasi mahasiswa berkumpul di Beijing. Mereka menuntut demokrasi yang lebih besar dan menyerukan pengunduran diri para pemimpin Partai Komunis China (PKC) yang dianggap terlalu represif.

Selain itu, mereka juga mendesak pemerintah mengakhiri tindak korupsi "legal", menuntut kebebasan pers, hak-hak perkerja dan banyak lagi. Selama hampir tiga minggu, para demonstran terus menyuarakan aspirasinya sambil berbaris dan meneriakkan tuntutan mereka.

Pada 4 Juni, kekacauan pun terjadi. Pasukan China dan polisi keamanan menyerbu Lapangan Tiananmen. Mereka membredel tanpa pandang bulu ke kerumunan massa.

Ketika puluhan ribu siswa muda berusaha melarikan diri dari pasukan China yang mengamuk, demonstran lain melawan. Mereka melempari pasukan dengan batu dan menjungkirbalikkan kendaraan militer. Salah satu momen ikonik yang terjadi adalah ketika salah seorang dengan berani mencegat tank baja yang hendak merangsek masuk ke Tiananmen Square.

Para wartawan dan diplomat Barat yang berada di tempat kejadian memperkirakan setidaknya tiga ratus dan mungkin ribuan para pengunjuk rasa terbunuh. Sementara, sebanyak sepuluh ribu orang dibekuk aparat.

Menghapus ingatan peristiwa

Hingga saat ini, pemerintah China seolah masih berupaya untuk menghapuskan memori kolektif masyarakat soal peristiwa Tiananmen Square. Pemerintah China, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan melakukan berbagai upaya untuk menghalangi warganya memperingati peristiwa tersebut.

Pada peringatan 30 tahun pembantaian di Tiananmen Square, misalnya. Dikutip CNN, setiap liputan atau diskusi yang menyinggung peristiwa tersebut disensor ketat di Tiongkok. Jangan harap masyarakat China menemukan kisah peristiwa 4 Juni di buku-buku sejarah mereka.

Selain itu, menjelang 4 Juni, pengguna internet di China mengeluhkan kesulitan mengakses jaringan internet. Unggahan di media sosial China juga telah dibatasi atau dihapus ketika perusahaan meningkatkan penyensoran selama periode sensitif ini.

4 Juni dijuluki "hari pembatasan internet" untuk sejumlah situs web yang diblokir. Beberapa situs yang diblok mayoritas adalah media-media Barat seperti CNN, New York Times dan BBC. Namun, Lembaga Administrasi Siber China yang mengawasi regulasi internet seperti pura-pura tidak tahu.

Dosen Senior Studi China dari Universitas Tasmania, Mark Harrison mengatakan tiga puluh tahun adalah waktu yang cukup untuk melakukan refleksi. Ia menganalogikan saat ini merupakan titik di mana seseorang seharusnya bisa "bermuhasabah" daripada terus maju namun dengan penuh antisipasi.

"30 tahun sejak sistem yang berkomitmen pada ideologi tunggu China menghancurkan aspirasi warga negara yang menginginkan sesuatu yang lain. Partai tersebut telah menang," kata Harrison dikutip The Sydney Morning Herald

"Mereka menang pada 1989, kemudian 1990-an dan 2000-an dengan menggunakan kekuatan instrumen teknologi baru dari kontrol informasi untuk membungkam dan menghapus memori pada 4 Juni," tambahnya.

Padahal negara-partai tersebut memahami bahwa 4 Juni bukan sekadar krisis bagi otoritas Partai Komunis yang harus dipenuhi, namun juga momentum di mana sebuah sistem baru dapat dibangun.