JAKARTA - Saat ini, Rumah Ganda atau Toko Merah yang berada di kawasan Oud Batavia --Kota Tua-- tak ubahnya hanya sebuah bangunan tua yang telah dikosongkan. Banyak yang menganggap toko merah angker. Di mata yang lain, Toko Merah amat eksotis. Namun, tak banyak di antara mereka yang mengetahui sejarah Toko Merah. Termasuk pembantaian yang pernah terjadi di sana.
Padahal, jika memutar memori pada era kolonial, Toko Merah sudah sedemikian terkenal karena gaungnya selalu dibicarakan oleh orang-orang yang pernah berkunjung ke Batavia pada abad ke-18. Bagaimana tidak, selain karena berada di kawasan elite dan memiliki keindahan arsitektur, bangunan yang dibangun pada tanah seluas 2.471 meter persegi juga menjadi milik salah seorang pesohor Batavia.
Menurut Thomas B. Ataladjar dalam bukunya berjudul Toko Merah: Saksi Kejayaan Batavia Lama di Tepian Muara Ciliwung (2003),Toko merah merupakan rumah elite dua lantai yang dibangun pada 1730 oleh seorang yang berpangkat saudagar muda atau Onderkoopman Gustaaf Willem Baron van Imhoff, tepat sebelum dirinya menjadi Gubenur Jenderal VOC yang memerintah dari 1743–1750.
Tak hanya itu, Van Imhoff membangun rumah tersebut berkat warisan dari orang tuanya yang terkenal sebagai kalangan atas di Amsterdam. Sayangnya, Van Imhoff dan istrinya menempati rumah tersebut tak begitu lama. Hanya enam tahun saja. Setelahnya, Toko Merah dijual saat Van Imhoff berangkat dan menjadi Gubernur Sri Lanka.
Saksi mata sejarah Batavia
Menariknya, sejak Toko Merah itu pertama kali berdiri dengan kokoh di dekat kali besar. Bersamaan dengan itu, Toko Merah menjadi saksi bisu banyak sejarah penting, mulai dari era kolonial, penjajahan Jepang, hingga selepas Indonesia merdeka. Salah satu sejarah penting yang dirangkum dari kehadiran Toko merah ialah pernah menjadi tempat budak-budak dari pelosok negeri dilelang.
Selain itu, Jurnalis Senior Alwi Shahab dalam bukunya berjudul Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang (2006), turut mengungkap terkait ragam peristiwa yang pernah terjadi di depan Toko Merah. “Setidak-tidaknya di depan gedung yang mengalir sungai Groote Rivier (Kali Besar) ini pernah terjadi suatu kerusuhan besar ketika terjadi pembantaian terhadap orang Tionghoa. Peristiwa ini terjadi 10 tahun setelah gedung ini berdiri (1740).”
Atas peristiwa itulah orang-orang mengenalnya dengan istilah "Chinezenmoord", yang berarti "pembunuhan orang Tionghoa" atau yang lebih dikenal dengan istilah “geger pacinan.”
Rekaman akan geger pacinan sempat digambarkan oleh G.B Schwarzen dalam bukunya berjudul Reise in Oost-Indien (1751). Dirinya menuliskan pengalamannya terjebak dalam peristiwa geger pacinan yang membuat orang Tionghoa ketakutan karena diburu oleh pemerintah kolonial. Sebab, sekalinya orang Tionghoa terlihat oleh serdadu VOC, tak peduli pria, wanita, atau anak-anak, semuanya langsung di bunuh.
Salah satu lokasi pembantaiannya ialah tepat di depan Toko Merah. "Di balai kota –-Museum Sejarah Jakarta sekarang-- terdapat dua ratus orang tahanan. Untuk menghemat peluru, mereka semuanya ditusuk sampai mati. Pada tanggal 13, semua pembakaran berhenti dan tidak tampak seorang Tionghoa pun di kota. Semua jalan dan lorong penuh mayat, kali-kali ditimbuni mayat sehingga orang dapat menyeberang di atas mayat-mayat tanpa kakinya menjadi basah.” tulis G.B Schwarzen.
Berselang beberapa tahun setelah geger pacinan, Van Imhoff yang telah menjabat Gubernur Jenderal VOC kembali membeli Toko Merah. Tak lama kemudian, setelah beberapa bulan saja menempati kembali rumahnya, Toko Merah lagi-lagi dijual kepada kompeni untuk mendirikan Academie de Marine atau Akademi Pelayaran.
Pendirian Akademi Pelayaran sangat beralasan, yaitu supaya para perwira kapal-kapal niaga kompeni dapat dididik dengan lebih baik. Uniknya, selain sebagai kampus, Toko Merah juga didaulat sebagai asrama para kadet kala itu. Sehingga, wajar Akademi Pelayaran yang dibangun oleh kompeni tersebut menjadi yang tertua pada daratan Asia dan dunia.
Perihal untuk membiayai kampus. Pihak kompeni sudah menyiapkan siasat berupa memberi kuasa kepada pengadilan dalam hal menyiapkan hukuman kepada para nahkoda dan pejabat. Bersamaan dengan itu, kala ada yang melakukan kesalahan, mereka harus membayar denda kepada kampus.
Oleh karena biaya tak mencukupi, seperti yang Adolf Heuken tulis dalam buku Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta (2007). Adolf mengungkap Empunya kebijakan lalu memutar otak dengan mengeluarkan sebuah kebijakan baru, “yakni menarik pajak tontonan, misalnya sabung ayam dan wayang potehi. Rupanya, pungutan semi-liar sudah lama dipraktikkan di kota ini.”
BACA JUGA:
Terkait bukti keberadaan akademi pun dapat dilihat dari tiga lubang ventilasi pintu dengan ukiran gadis memegang jangkar, kitab dan pilar yang dapat mengembalikan memori ke zaman tersebut. “Sayangnya, ukiran lubang ventilasi tersebut telah dipindahkan ke Museum Nasional (1901) dan kini masih dapat dilihat dalam ruang bekal Compagnie’s Kamer,” ucap Adolf.
Seiring perjalanan waktu, Toko Merah sempat berganti kepemilikan beberapa kali. Mulai dimiliki oleh janda Gubernur Jenderal VOC --Nyonya De Kler dan Nyonya Van Der Parra-- sampai akhirnya Rumah Ganda mulai digunakan sebagai toko oleh Oey Liauw Kong pada 1890. Sejak itulah nama yang melekat pada Rumah Ganda paripurna menjadi Toko Merah.
“Sejak tahun 1890-an rumah itu disebut Toko Merah, yakni waktu digunakan oleh keluarga Oey sebagai toko. Batu bata merah tembok dicat merah hati lagi. Namun, pada suatu foto dari tahun 1927 tembok (pernah) diplester warna krem. Sedangkan, tampak muka sekarang ini rupanya berasal dari renovasi tahun 1960-an,” tutup Adolf.