Bagikan:

JAKARTA - Dahulu, sejak dibangun oleh pegawai VOC kaya raya Justinus Vinck pada era kolonial tahun 1735, Pasar Senen yang berada di Niew Batavia, Weltevreden --Sekarang Jakarta Pusat-- tak ubahnya sebuah pasar kecil. Bahkan, tiap bangunan di dalamnya hanya terbuat dari bambu dan beratapkan rumbia.

Namun, berbicara perkara perjalanan sejarah pasar yang dahulu sempat bernama Vinckpasser, Pasar Senen tak cuma menampung pedagang dari seluruh pelosok negeri, melainkan ada masanya pasar tersebut menjadi wadah bagi para seniman dalam melenggangkan eksistensinya.

Tercatat, geliat perubahan Pasar Senen yang dikenal sebagai rumah dari Seniman Jakarta bermula dari masa penjajahan Jepang 1942-1945. Saat-saat dimana kawasan Senen telah menjadi jantung dari kota yang tak pernah tidur, Jakarta.

Mengutip budayawan Ajip Roshidi dalam bukunya berjudul Mengenang Hidup Orang Lain: Sejumlah Obituary (2010). Ajip, dalam buku, menerangkan, frasa "Seniman Senen" waktu itu diberikan kepada mereka seniman yang suka berkumpul di Senen.

“Seniman Senen bukanlah organisasi yang pernah didirikan oleh siapa pun. Sebutan itu timbul begitu saja untuk menyebut sekelompok orang yang diasosikan sebagai seniman yang suka berkumpul di Senen, tepatnya di sekitar ujung barat Jalan Kramatbunder,” ujar Ajib Roshidi.

Salah satu tokoh seniman Senen yang sering mangkal pada waktu itu ialah penyair terkenal Chairil Anwar. Hidupnya nomaden, kerap berpindah-pindah dari kawan satu ke kawan lain. Chairil seakan tak pernah ditakdirkan sebagai pekerja kantoran. Saban hari, hobi Chairil kelayapan dan paling sering melakukan kunjungan ke Pasar Senen.

Kemunculan Chairil di Senen guna berjumpa kawan sesama seniman, turut diabadikan oleh Sergius Sutanto dalam novel berjudul Ini Kali Tak Ada yang Mencari Cinta (2017). Dalam buku yang mengulas perjalanan seniman yang dikenal dengan puisi Binatang Jalang itu, empunya buku mencoba merekam kembali masa-masa di mana pelopor angkatan 45 masih mengakrabi Pasar Senen.

“Matahari hampir tenggelam. Jalanan di timur Harmonie sudah mulai lengang. Langkahku menyusuri Waterlooplein (Lapangan Banteng) menuju ke Jalan Gunung Sahari dan akhirnya tiba di Pasar Senen, sebuah kawasan yang cukup kuakrabi semenjak berumah tak jauh dari situ. Daerah ini merupakan hunian kaum pendatang, termasuk dari Sumatra Barat, kampung ibuku. Toko-toko dan deretan rumah bergaya kolonial dan pecinan berjajar di kiri-kanan. Banyak penjual makanan di pinggir jalan,” ditulis Sergius Sutanto.

Tak cuma datang untuk kongko, Chairil pun sering kali mendatangi toko buku loak di Senen yang menjadi rendezvous para intelektual muda maupun pejuang bawah tanah seperti A.K. Gani dan Chairul Saleh.

“Siang itu, aku iseng singgah ke toko buku bekas di Pasar Senen. Sejak kedatangan Jepang, buku-buku berbahasa Belanda banyak yang dimusnahkan. Sebagian dilarikan pasar-pasar loak dan dijual dengan harga yang sangat murah,” sambungnya.

Selain Chairil, nama seniman terkenal lainnya yang sering mangkal di Senen tak lain adalah Sukarno M. Noor, Ismed M. Noor, Wim Umboh, Misbach Yusa Biran, dan Wahid Chan yang sering kali disebut sebagai "Camat Senen" karena saking seringnya kongko di kawasan tersebut.

Lokasi yang menjadi tempat para seniman kongko di Senen pun beragam. Dari pinggir jalan hingga rumah makan Padang sering kali terpilih sebagai tempat untuk berdiskusi seputar buku, film, dan teater. Setali dengan itu, Alwi Shahab penulis buku Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang (2006) mengungkap detailnya.

“Di belakang Toko Avon (kini sudah tergusur) pada 1950-an, terdapat Rumah Makan Padang ‘Merapi’. Di sinilah para seniman berkumpul malam hari hingga jelang subuh. Mereka mendiskusikan kehidupan teater dan film,” tutur Alwi.

Selain itu, ada juga tempat kumpul lain seniman Senen. Beberapa di antaranya adalah tempat tukang kue putu yang mangkal dekat pom bensin. Kalaupun seniman Senen ingin ngobrol secara serius, biasanya mereka mendatangi Kedai Tjau An untuk melangsungkan ritual diskusi.

Ngakunya seniman

Terkenalnya Senen sebagai tempat kumpul seniman membuat orang-orang yang berlagak seperti seorang seniman benaran kemudian bermunculan. Atas dasar itu, kehadiran mereka memiliki imbas kepada para calon seniman potensial. Sebab, calon seniman tersebut menjadi sering dilecehkan, tak jarang pula dianggap gelandangan.

Alasan orang-orang sering melecehkan, tak lain karena kelebihan seniman Senen yang berani mencoba apa saja dan memang terkesan gila-gilaan. Misal, mementaskan sandiwara tanpa modal, mendirikan majalah baru, menggagas sandiriwara monolog yang dimainkan satu orang saja, bahkan mendirikan lembaga pendidikan.

Berbeda dengan orang-orang kebanyakan, Misbach Yusa Biran melihat fenomena tersebut bukanlah suatu masalah besar. Dirinya menyakini hal itu sebagai kelebihan utama seniman Senen. Olehnya, konotasi miring tersebut diramu menjadi cerita seru yang mampu memancing tawa.

Kisah-kisah kegilaan anak Senen --nama lain seniman Senen-- turut terangkum dalam buku berisikan kumpulan anekdot yang sebelumnya terbit di Majalah Aneka --sekitar tahun 1957–1959-- berjudul Keajaiban di Pasar Senen (2007).

Salah satu anekdotnya bercerita tentang seorang yang ‘ngakunya’ seniman bernama Asmar. Dalam anekdot, Asmar digambarkan lebih seniman daripada seniman. Masalahnya, tak banyak yang mengetahui perihal bentuk karya selama dirinya menjadi seniman Senen. Alhasil, penulis penasaran sehingga menarik kesimpulan bahwa Asmar ini adalah "satu-satunya seniman di wilayah Pasar Senen yang paling seniman tulen: 100 persen, 24 karat.”

Hal itu diungkap karena melihat Asmar benar tak mau bekerja apa-apa selain berpikir untuk seni. Hingga mau tak mau, sang penulis mengorbankan rokok sebatang yang dimilikinya untuk berbagi kepada Asmar. Tujuannya, sebagai penyambung lidah agar seniman tersebut mau berterus terang perkara sesuatu yang mengganjal pikiran.

Akhirnya, Asmar mengakui dirinya hanya salah seorang yang memanfaatkan Pasar Senen sebagai medium menanti keajaiban saja. Keajaiban yang dimaksud berupa bala bantuan yang dapat membuatnya bertahan hidup untuk hari-hari berikutnya. 

Biran pun iba. Uang Rp5 yang seharusnya menjadi jatah untuk rokok esok hari diberikan kepada Asmar. Bersamaan dengan itu, air muka Asmar berseri-seri dan dirinya pun berucap, “Nah, kau percaya tidak? Keajaiban toh datang, meskipun baru sebagian. Percaya tidak?”

Begitulah cerita Biran yang mampu memancing tawa siapa pun yang membacanya. Sebab, melalui karyanya, orang-orang mengetahui kehidupan para seniman dan orang-orang yang berlagak seniman pada masa itu.

Sedihnya, eksistensi Senen sebagai rumah seniman harus berakhir. Namun, tak sedikit pula orang yang ingin membangkitkan kembali ruang berkreasi seniman dengan membangun tempat serupa Senen. Sampai-sampai, mantan Gubernur Jakarta Ali Sadikin ikut-ikutan andil dengan menjadikan Taman Ismail Marzuki sebagai rumah baru seniman Senen.

Sayangnya, upaya tersebut tak berhasil. Alasannya dapat ditemukan dalam penggalan kata pengatar dari S.M Ardan dalam buku yang ditulis oleh Misbach Yusa Biran, Keajaiban di Pasar Senen:

Tetapi semua usaha baik itu tidak berhasil. Kenapa? Seniman Senen berkumpul mulai dari tempat 'Tjau An' hingga ke tukang kue putu 'Cirebon' tanpa direncanakan sebelumnya. Terjadi begitu saja. Spontan. Kespontanan inilah yang menggagalkan usaha-usaha menggantinya, Ya, the glory of Senen is over. Dan Misbach telah mengabadikannya dalam buku ini.