JAKARTA - Gereja Katedral adalah ikon dari Kota Jakarta. Tiap menjelang Natal, gereja Katolik ini selalu jadi sorotan. Keindahan arsitektur dengan sejarah pembangunannya jadi daya tarik utama. Gereja Katedral yang awalnya bernama Gereja Santa Maria Pelindung Diangkat Ke Surga (De Kerk van Onze Lieve Vrouwe ten Hemelopneming) begitu istimewa.
Berdasarkan sejarah, pembangunan Gereja Katedral dimulai ketika Paus Pius VII mengangkat Pastor Nelissen sebagai prefek apostik Hindia-Belanda pada 1807. Melansir Indonesiakaya.com, saat itulah kemudian penyebaran misi dan pembangunan gereja Katolik di kawasan Nusantara digalakkan, termasuk di Jakarta.
Pastor Nelissen bersama Pastor Prinsen kala itu tiba di Batavia lewat Pelabuhan Pasar Ikan pada 1808. Kala itu keduanya bertemu dengan Dokter FCH Assmus untuk membicarakan pendirian gereja katolik di Batavia. Akan tetapi, gereja yang ingin dibangun bukan berada di lokasi sekitar Lapangan Banteng.
Gereja yang dibangun berbentuk sebuah rumah bambu yang berlokasi di pojok barat daya Buffelvelt --sekarang Gedung Kementerian gama. Semua bangunan tersebut telah dipinjamkan oleh pemerintah untuk kedua pastor itu.
Setelahnya, perlahan-lahan umat Katolik di Batavia mulai mendapatkan banyak hibah. Salah satunya berbentuk sebidang tanah yang berlokasi di sebelah barat laut Lapangan Banteng. Kendati demikian pembangunan belum dapat dilangsungkan.
Alasannya, pihak gereja belum memiliki dana yang cukup. Dari hasil melobi pemerintah kolonial, gereja yang awalnya rumah bambu kemudian ditanggalkan. Pihak gereja lagi-lagi mendapat bantuan berupa bangunan kecil di Jalan Kenanga di kawasan Senen.
Bangunan itu dulunya sempat dimiliki oleh pejabat Belanda, Cornelis Chastelein pada 1810. Pemerintah Hindia Belanda melalui Gubernur Jenderal Herman Williem Daendles dari Inggris memberikan tempat baru untuk Gereja Katedral, tepatnya di kawasan Senen. Ini juga yang membuat sejarah Gereja Katedral menarik.
Peralihan kekuasaan Belanda ke Inggris
Gereja Katolik mulai diperhatikan saat peralihan kekuasaan Batavia dari Belanda ke Inggris. Seperti diketahui, Belanda pada masa itu menganut agama Kristen Protestan dan Inggris menganut Katolik. Jika dilihat, gereja tua di Jakarta dengan usia ratusan tahun kebanyakan adalah gereja Kristen Protestan.
Karena itu, pada saat Inggris mengusai Batavia, gereja Katolik banyak melakukan renovasi. Gereja-gereja itu lalu dijadikan tempat ibadah yang dapat menampung 200 jemaat. Namun, eksistensi itu tak berlangsung lama.
Pada 1826 kebakaran hebat menghanguskan banyak bangunan di kawasan Senen. Bangunan pastoral ikut menjadi korban. Tetapi bangunan gereja tidak ikut terbakar sekalipun rusak di beberapa bagian.
Pasca-kebakaran, bangunan gereja yang rusak tidak direnovasi. Hal itu karena tanah tersebut bukanlah tanah milik gereja. Pada akhirnya, gereja Katolik kembali pindah lokasi. Rumah dinas para gurbernur jenderal yang telah kosong dipilih menjadi lokasi utama. Hingga hari ini, Gereja Katedral berdiri di lokasi ini.
BACA JUGA:
Meski telah nyaman di lokasi yang baru, Gereja Katedral lagi-lagi harus menghadapi cobaan pada 1890. Tidak ada angin, tidak ada hujan, Katedral ambruk dengan sendirinya. "Kejadian tersebut terjadi tiga hari setelah gereja merayakan Paskah," jelas pegiat wisata Jakarta, Ira, dikutip Kompas.com.
Satu tahun setelahnya, bangunan gereja direnovasi dalam dua tahap. Pengerjaannya berlangsung dalam kurun waktu sepuluh tahun.
Itulah kisah jatuh bangun Gereja Katedral Jakarta yang telah diangkat oleh pemerintah DKI sebagai bangunan cagar budaya nan dilindungi pada 1993. Gereja Katedral pun kemudian menjelma jadi salah satu ikon terkenal dari dari kota yang berjuluk Ratu dari Timur.