Riwayat Tenabang sebagai Tanah Nafkah Para Jawara
Wilayah Tanah Abang (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Walau saat ini Pasar Tanah Abang telah menyandang status sebagai pusat grosir tekstil terbesar di Asia Tenggara, tetap saja, bagi orang yang lahir dan besar sebagai Betawi, keberadaan Tanah Abang erat hubungannya dengan keberadaan para jagoan silat alias jawara. Bagi mereka, Pasar Tanah Abang adalah rumah.

Pasar yang dibangun oleh pejabat VOC kaya raya bernama Justinus Vinck pada 1935 itu awalnya hanya buka pada hari Sabtu. Pun aktivitas jual beli yang dilakukan masih hanya sebatas menjual tekstil dan kelontong.

Meski begitu, aktivitasnya mampu mengundang kehadiran banyak orang, baik itu pedagang keturunan Tionghoa, pedagang pribumi, orang Eropa, hingga jagoan silat yang mencari rezeki di pasar yang berdiri di bekas tanah tuan tanah terkenal di Batavia, Cornelis Chastelein.

Kala itu, kondisi awal dari pasar masih tampak sederhana. Hanya, beratap rumbia dan berdinding gedek atau anyaman bambu. Namun, Pasar Tanah Abang tetap istimewa. Perkembangannya berperan besar dalam terbangunnya peradaban kecil di kampung-kampung sekitarnya.

G.J. Nawi, penulis buku Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi (2016), menjelaskan bagaimana Pasar Tanah Abang menjadi penampung limpahan hasil kebun sekitar, seperti Kebon Kacang, Kebon Melati, Kebon Pala, dan lainnya. Seluruh kebon itu kini menjadi nama kampung.

Bagi 'para jago', Pasar Tanah Abang jadi lahan basah untuk mencari nafkah. Tak cuma satu, melainkan lusinan jawara dengan nuansa keragaman ilmu silat berada di tempat yang pernah luluh lantak akibat peristiwa geger pacinan pada 1749. “Pasar ini juga menjadi tempat jago-jago mencari nafkah. Gang Kubur Lama sebagai daerah pengahasil jago, letaknya tak jauh dari Tanah Abang,” tulisnya.

Kegiatan di Pasar Tanah Abang (Wikimedia Commons)

Sabeni dan jago lainnya

Salah satu nama jago yang paling mashyur berasal dari Tanah Abang atau yang dulu disebut Tenabang adalah Sabeni bin Canam. Dirinya lahir di Kebon Pala, Tenabang pada tahun 1860. Sabeni mulai dikenal orang-orang sejak zaman Hindia Belanda sebagai sosok yang tak hanya jago silat, tetapi karena dirinya terkenal dengan sifat dan watak seorang ksatria.

Seperti yang sering dituturkan dalam berbagai literasi. Sabeni adalah sosok sederhana berperawakan tinggi besar. Namun, jagoan Betawi ini selalu berpenampilan rapi dengan pakaian kesukaan berwarna kuning gading (krim), lengkap dengan cukin di leher dan membawa besi semacam seruling yang dapat berfungsi sebagai senjata.

Disinyalir, kiprah Sabeni semakin populer saat dirinya menjadi seorang sarean, yang dalam pelafalan orang Betawi kala itu berhubungan dengan jabatan kepala keamanan tingkat onderdistrict (kecamatan). Atas jabatan tersebut, Sabeni memiliki dua orang kepercayaan yang menjadi tangan kanannya, yaitu H. Mansyur dan Jaelani.

Nyatanya, sosok Sabeni malah berbeda dengan jago lain yang sering berkonotasi negatif, gemar membuat keributan, dan garang. Bagaiamana tidak, semasa hidupnya, Sabeni telah dikenal sebagai seseorang yang penyabar dan suka menolong rakyat kecil. “Jadi, jago Sabeni bukan bulanan, die suka ngasi ilmu dan pelajaran, bukan tukang bunuh atau jago bayaran, tapi terkenal die punye kesabaran.”

Aktivitas di Pasar Tanah Abanag (Wikimedia Commons)

Begitulah penggalan lirik lagu berjudul Riwayat Maen Pukulan Sabeni, yang khusus diciptakan oleh M. Ali Sabeni untuk mengenang sosok ayahnya yang memiliki sifat ksatria. Lewat lagu yang tenar pada era 1970-an dengan irama gambang kromong dan diiringi Naga Mustika, empunya lagu juga turut menegaskan peran ayahnya sebagai jago tanah Abang.

Kalo ada sayuti jago Cengkareng, eh.. ade Sabeni dari jago Tenabang. Muridnya banyak dan dikenal orang tak pernah bikin perkara.”

Itulah puja-puja sang anak untuk orang tuanya. Namun, jago Tanah Abang tak cuma Sabeni. Salah satu jago yang memiliki rekam jejak mengais rezeki di Tanah Abang adalah Si Pitung, yang juga terkenal sebagai jagoan legendaris Betawi.

Peristiwa itu direkam oleh Rahmat Ali dalam buku berjudul Cerita Rakyat Betawi, Volume I (1993). Dikisahkan, pada suatu hari, ayah Pitung ingin menjual kambing ke Pasar Tanah Abang. Sayangnya, ia berhalangan hadir dan kemudian meminta Pitung untuk menjual kambingnya.

“Tung, bawa dua kambing ini ke Tanah Abang. Jangan berikan kalau harganya masih terlalu murah. Jelas, tung?” tulis Rahmat Ali.

Setelah Pitung, ada jago lain yang pernah mencari rezeki di Pasar Tanah Abang. Seperti diungkap oleh Alwi Shahab dalam buku Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe (2002). Alwi Shahab menyebut jago sliat lain bernama Rachmad dan Mahruf. “Aliran silat mereka bukan saja ditekuni oleh pemuda-pemuda Tanah Abang, tapi juga meluas ke tempat-tempat lain.”

Pun setelahnya. Lusinan jago Tanah Abang lainnya tercatat dalam sejarah. Sebutlah Derachman Djeni, Habib Alwi Alhabsji dan Satiri. “Tiga nama terakhir ini juga banyak memiliki murid. Tapi para jagoan Tanah Abang itu dihormati dan ditakuti bukan karena kepandaiannya dalam ilmu bela diri, melainkan mereka adalah pendekar dan pembela kebenaran, serta ahli ibadah yang tidak mau menonjolkan diri.”

Maka, tak heran bila kebanyakan jago banyak berada di masjid-masjid maupun majelis taklim. Sehingga para jago pada masanya bukan termasuk dalam kategori preman. Kalau meminjam pendapat dari Margreet van till penulis buku Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit, dan Senjata Api (2006). Jago memiliki konotasi positif.

”Jago merupakan pelindung masyarakat. Dalam hal ini jago tidak menggunakan kekuatannya untuk menundukkan wilayahnya sendiri dari otoritas resmi, tetapi mereka muncul sebagai seorang kampiun dari orang-orang yang tertindas,” tutup Margreet.