JAKARTA - “Tercipta sebagai sarung, tubuh ini sudah koyak sebelum dikena kawali (badik Bugis) dari gerak lincah dua manusia kebal. Kau bebal. Percuma saya teriak atau bahkan memberontak. Kau takkan mendengar dan peduli. Menyedihkan menjadi saksi dua pinggul lelaki kekar menegakkan siri’ (harga diri). Kau sengaja menjebak tubuh mereka di tubuh saya yang berongga.”
Sudut pandang unik di atas adalah cara Alfian Dippahatang dalam cerpennya yang berjudul sama dengan buku: Bertarung dalam sarung (2019). Dikatakan unik karena Alfian mencoba mengambil peran sebagai benda mati berupa sebuah sarung yang terlibat dalam suatu tradisi unik nan khas ala masyarakat Bugis (Sulawesi Selatan) bernama Sigajang Laleng Lipa, atau yang lazim dikenal dengan istilah saling tikam dalam sarung.
Ritual ini biasanya digelar sebagai langkah menyelesaikan masalah antara dua orang yang bertikai. Entah apa sebab pertikaiannya. Bisa soal bagi hasil, permasalahan keluarga, hingga perkara perkawinan. Ritual saling tikam dengan badik --senjata khas masyarakat bugis-- itu dilakukan di dalam sebuah sarung sebagai batas arena pertarungan.
“Kau sengaja menjebak tubuh mereka di tubuh saya yang berongga. Semuanya di luar akal. Kau tega menyuruh mereka saling tikam. Kau malas mencari cara yang lebih beradab dan seperti menganggap ini jalan terakhir menyelesaikan persoalan,” tulis Alfian.
Karenanya, tradisi yang disebut Sigajang Laleng Lipa ini jadi sangat menarik. Mereka yang memilki kesempatan menyaksikan, tentu akan mendapat pengalaman yang takkan didapat di tempat-tempat lain di pelosok Bumi Nusantara. Sigajang Laleng Lipa sendiri memiliki arti mendalam bagi masyarakat Bugis. Ia adalah opsi terakhir mempertahankan harga diri (siri’) karena masalah yang sudah dimusyawarahkan mengalami jalan buntu.
Ketika Sigajang Laleng Lipa sudah diucap dan kedua pihak telah bersepakat, maka tak ada kata mundur. Bagi seorang yang memiliki darah bugis, pantang untuk menarik ucapannya karena ucapan adalah representasi dari jati diri seseorang.
Apalagi, masyarakat bugis mengenal tiga filosofi terkait ucapan. Pertama, "sadda mappabati ada" yang berarti bunyi yang mewujudkan kata maupun ucapan. Kedua, "mappabati gau" yang memiliki arti ucapan menandakan kelakuan. Ketiga, "gau mappabati tau" yang tak lain dianggap sebagai kelakuan merepresentasikan manusia atau seseorang. Sehingga, ketika salah satu diantara mereka melanggar filosofi itu, maka sangat memungkinkan Sigajang Laleng Lipa terjadi.
Saking sakralnya tradisi ini, Fariz Alniezar dalam buku berjudul Homo Homini Humor (2019), mengungkap filosofi penggunaan sarung dalam tradisi, bahwa apa semua masalah yang telah "masuk ke dalam sarung" tak boleh lagi dipersoalkan di luar sarung. Segalanya berhenti di dalam sarung. Selain itu, sarung juga simbol dari persatuan.
“Masyarakat Bugis kuno mengenal tradisi Sigajang Laleng Lipa (duel satu sarung). Ketika ada pertikaian antara dua pihak, jika keduanya menemui jalan buntu untuk berdamai, jalan terakhir untuk menyelesaikan masalah adalah dengan cara berduel," tulis Alniezar.
"Duel itu dilakukan di dalam sebuah sarung dengan masing-masing membawa badik (senjata) terbaiknya. Biasanya duel ini menyangkut hal-hal yang paling krusial dalam hidup, seperti harga diri dan kehormatan,” ucapnya.
Dalam kacamata budaya
Budayawan Sulawesi Selatan, Feby Triadi yang dihubungi VOI, Jumat 10 April, mengungkap, secara sejarah tradisi, Sigajang Laleng Lipa sungguh sulit dideteksi awal mulanya. Namun, tradisi ini adalah tradisi yang tak dilakukan sembarang orang, karena Sigajang Laleng Lipa disinyalir produk dari bangsawan pada zaman dahulu.
Buktinya, dalam sepanjang prosesi Siganjang Laleng Lipa biasanya melibatkan bissu --pendeta agama Bugis kuno. “... biasa mereka menggunakan jasa para bissu untuk melindungi salah satu dari mereka yang bertikai, bissu juga sengaja dipanggil untuk mengamankan situasi,” ditulis Alniezar.
Hal itu dilakukan karena seringkali mereka yang bertikai gelap mata. Bissulah yang dipercaya dapat menjadi penenang atau pelerai jika mereka yang tengah bertikai sudah gelap mata. Bahkan, bissu juga berperan membekali mereka yang berangkat ke medan laga dengan doa yang dikenal dengan istilah "Mappanre Lise".
Meski begitu, Sigajang Laleng Lipa sendiri tak bisa dilangsungkan tiap bertikai lalu kemudian memilih berduel. Bukan begitu cara mainnya. Untuk menuju ke tradisi saling tikam, sekiranya ada tiga cara penyelesaian masalah yang lazimnya disebut sebagai "Tellu Cappa".
“Pertama, 'Cappa Lila' (ujung lidah). Cara pertama ini ditempuh untuk menyelesaikan masalah dengan perundingan, negosiasi atau musyawarah. Kedua, 'Cappa Laso' (ujung penis/kemaluan) setelah melalukan penyelesaiaan masalah dengan menempuh ujung yang pertama gagal, maka ditempuh cara menggunakan opsi kedua. Karena bagi masyarakat Bugis, anak perempuan yang masih perawan adalah permata yang sangat mahal harganya,” ujar Feby Triadi.
BACA JUGA:
Oleh sebab itu, lewat ujung kedua (jalur perkawinan) inilah mereka bisa disatukan kembali dengan ikatan keluarga. “Ketiga, 'Cappa Kawali' (ujung badik). Nah dari sini istilah Sigajang Laleng Lipa dikenal. Cappa Kawali ditempuh ketika dua ujung di atas tidak dapat diselesaikan secara arif dan bijaksana. Namun, cara ketiga ini ditempuh untuk menyederhanakan masalah,” tambahnya.
Uniknya, sebelum memulai Sigajang Laleng Lipa, kedua pihak yang bertikai pun melakukan beberapa ritual pribadi. Ada yang berpuasa, ada yang tak melakukan hubungan suami-istri selama 40 hari, bahkan ada juga yang tidak ingin melihat perempuan selama 40 hari.
“Bahkan, biasanya setelah sigajang laleng lipa dilaksanakan, Ia yang keluar dengan bernyawa, akan melaksanakan nazar yang diucapkan sebelum Sigajang Laleng Lipa dilakukan,” tutup Feby Triadi.