Ilmu Silat Sabeni: Kerendahan Hati yang Mengganggu Kuasa Kolonial di Tanah Abang
Wilayah Tanah Abang (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Sabeni tak sama dengan jago lain. Ilmu silatnya melampaui kerendahan hati aliran lain. Di situlah keistimewaan Sabeni dan silatnya. Mengganggu kekuasaan kolonial tanpa pertumpahan darah. 

Dalam sejarah Jakarta, seorang pandai pencak silat atau biasa disebut 'maen pukulan' memiliki peran khusus sebagai penjaga ketertiban tanah Betawi. Mereka kerap disebut 'jago' karena kiprah mereka membela kaum lemah. Dari banyaknya jago Betawi yang menonjol, Sabeni bin Canam adalah salah satunya.

Sabeni yang lahir pada 1860 adalah guru bagi banyak anak muda sekitar Tanah Abang dan kampung-kampung sekitarnya. Ia mengabdikan diri untuk melatih dan mengajari anak-anak muda itu 'maen pukulan'. Meminjam pendapat Margreet Van Till dalam buku Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit, dan Senjata Api (2006), dijelaskan bahwa sebutan jago memiliki konotasi positif.

Mereka bukan golongan preman. Sabeni, misalnya. Ia adalah orang yang kehidupannya begitu dekat dengan agama. Selain di arena latihan 'maen pukulan', waktu Sabeni dihabiskan di masjid dan majelis taklim.

”Jago merupakan pelindung masyarakat. Dalam hal ini jago tidak menggunakan kekuatannya untuk menundukkan wilayahnya sendiri dari otoritas resmi. Tetapi mereka muncul sebagai seorang kampiun dari orang-orang yang tertindas,” tulis Margreet.

Perlahan, aktivitas Sabeni mengajar 'maen pukulan' kepada anak-anak muda mulai mengganggu pemerintah kolonial Belanda. Kompeni sadar, semakin banyak orang yang menguasai ilmu 'maen pukulan' adalah ancaman terhadap hagemoni kekuasaan mereka di Batavia (Jakarta).

Sebagai bentuk kebencian kompeni akan Sabeni, komandan polisi Belanda turut mengutus seorang jawara untuk menghabisi Sabeni. Namun, tiap jawara yang dikirim selalu dengan mudah dikalahkan Sabeni. Kompeni pun tak menyerah. Mereka mencoba berbagai siasat untuk menghentikan kiprah pemilik jurus 'Jalan Cara Cina' itu.

Sabeni belajar silat

Kehebatatan Sabeni dalam 'maen pukulan' tak lepas dari pengaruh dua gurunya, H. Syuhud dan H. Ma’il. Dikutip G. J Nawi dalam buku Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi (2016), untuk melengkapi ilmu silat, Sabeni mempelajari ilmu agama yang dipelajarinya dari Habib Sayid Alwi Al Habsyi.

Berbekal bakat alam dan kecerdasan, Sabeni berhasil mengkreasikan ilmu 'maen pukulan'. Setelahnya, kreasi itu diberi nama Sabeni atas saran dari guru-gurunya. "Kalu ude jadi, aliran ini lu namain ye ... Sabeni, name lu!"

“Didikan maen pukulan Sabeni sarat nilai-nilai agama. Ilmu padi menjadi petuah yang selalu diajarkan, mengutamakan sabar dan pemaaf terhadap musuh yang sudah tidak berdaya. Ajaran lainnya, tidak boleh sembarangan memukul orang, tidak boleh takabur, senantiasa menghormati orang lain, karena dengan menghormati orang lain kita akan dihormati orang lain,” ungkap G.J Nawi.

Berbekal prinsip itu, Sabeni menjadi ahli silat yang jauh dari kesan mematikan. Namun, kemampuannya menaklukkan adalah persoalan lain. Sabeni bahkan disebut-sebut tak pernah membunuh orang. Hal itu memberi perbedaan antara dirinya dan sosok-sosok jago Betawi lain, seperti Jampang atau bahkan Entong Gendut, yang kisahnya telah kita bahas dalam Kala Entong Gendut Mengangkat Keris: Ketika Petani Melawan Polisi dan Ketidakadilan.

Suatu hari, kehebatan Sabeni diuji kala dirinya akan menyunting anak gadis dari jago Betawi Sya’ban. Sya'ban memberi syarat, Sabeni baru bisa maju ke pernikahan jika berhasil mengalahkannya. Sya’ban jatuh tiga kali berturut-turut dan mengakui kehebatan Sabeni. Atas kekalahannya, Sya’ban mengangkat sabeni sebagai mantu sekaligus guru.

Namun, pernikahan tersebut tak membuahkan keturunan. Dalam tradisi Betawi dan pencak silat kala itu, garis keturunan adalah hal penting sebagai pengukuhan kehebatan sang jago di dalam komunitasnya. Kelak Sabeni menikah untuk kali kedua dengan gadis bernama Siti Khadijah, anak dari jagoan Betawi, Murtado, yang kemasyhurannya pernah kami kisahkan dalam Kisah Murtado: Jagoan Betawi di Balik Julukan Persija 'Macan Kemayoran'.

Lewat pernikahan itu, Sabeni memiliki satu anak. Kemudian Sabeni menikah untuk kali ketiga dengan Piah, perempuan asal Bogor dan dianugerahi 12 orang anak: Sofiah, Safe'i, H. Masnan, M. Sani, Fatimah, Mustofa Sabeni, M. Ali Sabeni, Jamani, Rusli, Moch. Arfan, Moch. Tamim, dan Siti Khadijah.

'Ip Man dari Betawi'

Kisah Sabeni mengingatkan kami dengan Ip Man. Seperti Ip Man, Sabeni dikisahkan sebagai jago yang mampu mengalahkan lawan dari segala kalangan. Komandan kepolisian Hindia-Belanda (Hoofd beurau van politie) yang kehabisan akal untuk mengalahkan Sabeni kemudian mengirim orang.

Komandan tersebut mendatangkan seorang petinju dari negerinya plus seorang jago kungfu untuk diadu dengan Sabeni. Pertandingannya diadakan di Prince Park --sekarang Taman Lokasari, Jakarta Barat-- dengan disaksikan ratusan kaum bumiputra yang datang dari Tenabang, warga Belanda, maupun kalangan etnis China.

“Dalam pertandingan tersebut Sabeni berhasil mengalahkan kedua lawannya dengan mudah. Hal ini membuat sang komandan polisi Belanda bertambah kesal dan galau. Sebaliknya warga Betawi semakin menaruh kagum pada Sabeni,” ungkap Abdul Chaer dalam buku Tenabang Tempoe Doeloe (2017).

Pada zaman Jepang, Sabeni juga pernah diadu oleh komandan kempetai Jepang dengan seorang jago karate dan seorang atlet sumo. Hal itu terlaksana karena anak dari Sabeni, Syafei yang ikut dalam barisan heiho --pasukan bantuan tentara Jepang-- melarikan diri dari kesatuannya di Surabaya. Pelarian itu membuat Jepang marah dan mencari Syafei.

Karena Syafei tak kunjung ditemukan, kempetai justru menangkap dan menahan Sabeni, dengan janji jika Syafei tertangkap, Sabeni akan dilepaskan. Semasa Sabeni ditahan, komandan kempetai mendapat informasi bahwa Sabeni merupakan seorang jago 'maen pukulan' dan dirinya bermaksud menguji kemampuan Sabeni. Sang jago pun diadu dengan anak buah si komandan.

Sabeni yang kala itu telah berusia 80 tahun menyanggupi permintaan itu. Komandan kempetai berjanji akan membebaskan Sabeni jika menang dalam pertarungan. Sebaliknya. Jika kalah, Sabeni akan duduk di kurungan dalam waktu yang lebih panjang. Sabeni menyanggupi permintaan itu dengan syarat: keluarga dan rekan-rekannya di Tenabang dapat menyaksikan langsung pertarungan tersebut. Kempetai pun menyanggupi.

“Tiba pada waktunya, ternyata yang harus dihadapi Sabeni ada dua orang, yaitu seorang karateka dan seorang pemain sumo yang berbadan sangat besar. Mula-mula Sabeni harus menghadapi si karateka. Dengan mengucap 'Bismillah,' Sabeni maju ke depan,” Abdul Chaer mengisahkan.

Sabeni memenangi pertarungan tersebut. Kehebatan Sabeni berhasil menghibur setiap penonton, termasuk komandan kempetai. Saking terhiburnya, komandan sampai berdecak kagum. Lalu, sesuai perjanjian, Sabeni dibebaskan dan boleh pulang ke rumahnya.

Dari titik itu Sabeni memulai perjuangan baru. Hingga akhir hayat, Sabeni turut serta mengumpulkan kekuatan untuk mengusir penjajah dari kampung halaman dan negerinya. Sabeni wafat pada Jumat, 15 Agustus 1945 atau dua hari sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI. Ia wafat di usia 85 tahun.

Atas jasanya, Pemerintah DKI Jakarta, pada ulang tahun Jakarta ke-480 lalu mengganti nama Gang Kubur Lama menjadi Jalan Sabeni. Tak hanya itu. Pemerintah Jakarta turut memindahkan makamnya dari kuburan Gang Kubur Lama ke Pemakaman Umum Karet Bivak, yang mana berdekatan dengan makam pejuang kemerdekaan kesohor lain dari tanah Betawi, Mohammad Husni Thamrin.

Kini orang-orang dapat mengenang Sabeni dalam satu lagu berjudul Sabeni Jago Tanah Abang. Lagu tersebut ditulis langsung oleh putra Sabeni yang tumbuh menjadi seniman, M. Ali Sabeni bersama Suhaeri Mufti. Lagu ini diisi dengan irama gambang kromong yang diiringi Naga Mustika yang populer pada 1970-an. Berikut penggalan liriknya:

Kalu ade Sayuti Jago Cengkareng

Eh... ade lagi Sabeni Jago Tenabang

Muridnya banyak, die dikenal orang

Nggak Perne die bikin sale duluan.